Hukum berCadar: Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan
Download PDF
Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.” Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keenam belas, ‘Aisyah berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:
خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)
Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
1. Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
2. Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
3. Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point:
1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
2. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
3. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
4. Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
5. Ijma yang mereka nukilkan.
6. Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
7. Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar
Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.
ya allah bimbinglah aku selalu agar senantiasa hidup dijalan yang engkau ridhoi, "yaa ilahi anta maqshudi wa ridlaaka mathlubi"
Senin, 22 Maret 2010
Minggu, 21 Maret 2010
Alienasi Manusia Menurut Karl Marx
Alienasi Manusia Menurut Karl Marx
Minggu, 7 Maret 2010 15:55:44 - oleh : admin
Oleh Satrio Arismunandar
Pengantar
Teori alienasi atau keterasingan, sebagaimana diekspresikan dalam tulisan-tulisan Karl Marx muda (khususnya dalam Manuskrip 1844), merujuk ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam keselarasan.
Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik dari kapitalisme.
Teori-teori Marx ini mengandalkan pada Esensi-esensi Kekristenan (1841) karya Feuerbach, yang berpendapat bahwa gagasan tentang Tuhan telah mengasingkan ciri-ciri makhluk manusia. Stirner akan membawa analisis itu lebih jauh, dengan mendeklarasikan bahwa bahkan “kemanusiaan” itu sendiri merupakan pengasingan dari individu. Marx dan Engels menanggapi pandangan itu dalam Ideologi Jerman (1845).
Empat Jenis Alienasi
Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan, kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan kaum borjuis.
Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidak dimiliki secara sosial, atau secara publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang dimiliki swasta, di mana masing-masing individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial.
Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme. Pertama, manusia teralienasi dari alam. Kedua, manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri. Ketiga, manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya –being—sebagai anggota dari human-species). Kempat, manusia teralienasi dari manusia lain. [1]
Di bawah kapitalisme, pekerja dengan sesama pekerja juga terasing, karena manusia lebih dipandang sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan di pasar, ketimbang melihatnya dalam konteks hubungan sosial. Pekerja terasing dari produk yang dikerjakannya, karena hal ini memang yang dianggap layak oleh kelas kapitalis, yakni produk itu lepas dari kontrol si pekerja. Terakhir, si pekerja juga terasing dari tindakan produksi itu sendiri, karena kerja itu menjadi aktivitas yang tak bermakna, dengan hanya menawarkan sedikit atau tak ada kepuasan sama sekali di dalamnya.
Jika dijabarkan secara sederhana oleh Gerge Ritzer, empat jenis alienasi pekerja dalam sistem kapitalis adalah: a) aktivitas pekerja dipilih oleh pemilik/kapitalis, yang sebagai imbalannya membayar upah mereka; b) kepemilikan produksi/produk berada di tangan pemilik/kapitalis; c) para pekerja tampaknya akan dipisahkan dari rekan-rekannya sesama pekerja; terakhir, d) para pekerja disingkirkan dari potensi-potensinya, dan tugas-tugas menjadi tak berarti atau tak ada maknanya.
Kritik Marx terhadap Hegel
Alienasi adalah sebuah klaim mendasar dalam teori Marxis. Hegel memaparkan pengganti dari tahapan-tahapan bersejarah dalam spirit manusia (Geist), di mana spirit itu bergerak maju ke arah pemahaman-diri sempurna, dan menjauh dari ketidakacuhan.
Dalam reaksi Marx terhadap Hegel, ada dua kutub idealis yang digantikan oleh kategori-kategori materialis. Yakni, ketidakacuhan spiritual menjadi alienasi, dan ujung transenden sejarah menjadi realisasi manusia terhadap species-being-nya.
Marx memiliki pemahaman spesifik terhadap pengalaman yang sangat tajam tentang alienasi, yang ditemukan dalam masyarakat borjuis modern. Marx mengembangkan pemahaman ini melalui kritiknya terhadap Hegel.
Menurut Hegel, melalui aktivitasnya, manusia menciptakan sebuah budaya yang kemudian mengkonfrontasi mereka sebagai sebuah kekuatan yang asing (alien). Namun bagi Hegel, aktivitas manusia itu sendiri tak lain dari ekspresi Spirit (atau Zeitgeist) yang bertindak melalui manusia.
Pertama-tama, Marx menekankan, adalah kerja manusia yang menciptakan kebudayaan dan sejarah, dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, Spirit adalah produk manusia, bukan sebaliknya. Namun kemudian, praktik mengubah dunia material. Praktik dengan demikian adalah obyektif, dan proses kerja (labour process) dengan demikian adalah obyektivikasi kuasa-kuasa manusia.
Tetapi, jika pekerja berhubungan dengan produk mereka sebagai sebuah ekspresi dari esensi mereka sendiri, dan mengenali diri mereka sendiri dalam produk mereka, dan dikenali oleh orang-orang lain dalam kerja mereka, maka ini bukanlah landasan bagi alienasi. Sebaliknya, ini adalah satu-satunya hubungan manusiawi yang asli.
Bacaan teleologis dari Marx, khususnya yang didukung oleh Alexandre Kojève sebelum Perang Dunia II, dikritik oleh Louis Althusser dalam tulisannya tentang “materialisme acak” (matérialisme aléatoire). Althusser mengklaim bahwa bacaan yang disebutkan itu membuat kaum proletariat jadi subjek dari sejarah, tapi ternoda oleh idealisme Hegelian --”filsafat tentang subjek”-- yang telah bertahan kuat selama lima abad, dan yang telah dikritik sebagai ”ideologi borjuis dalam filsafat.”
Hubungan dengan Teori Marx tentang Sejarah
Dalam karyanya Ideologi Jerman, Marx menulis bahwa ”berbagai hal sekarang telah sampai ke perlewatan tertentu di mana individu harus menyesuaikan totalitas kekuatan-kekuatan produktif yang ada, bukan hanya untuk mencapai aktivitas-diri (self-activity), tetapi juga semata-mata untuk menjaga eksistensinya yang paling dasar.”
Dengan kata lain, Marx tampaknya berpikir bahwa sementara manusia memiliki kebutuhan untuk aktivitas-diri (aktualisasi-diri, sebagai lawan dari alienasi), ini hanya memberi relevansi kesejarahan sekunder. Hal ini karena Marx berpikir bahwa kapitalisme akan meningkatkan pemiskinan ekonomi kaum proletariat sebegitu cepat, sehingga mereka akan dipaksa untuk membuat revolusi sosial sekadar untuk tetap hidup.
Dalam kondisi seperti ini, mereka mungkin bahkan tidak akan sempat sampai ke situasi, di mana mereka akan mengkhawatirkan begitu banyak hal tentang aktivitas-diri. Meski begitu, ini tidak berarti kecenderungan melawan alienasi hanya akan mewujudkan dirinya manakala kebutuhan-kebutuhan lain sudah cukup terpenuhi. Tetapi, ini hanya berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan lain itu menjadi berkurang arti pentingnya.
Karya dari Raya Dunayevskaya dan lain-lain, dalam tradisi humanisme Marxis, menarik minat ke arah perwujudan hasrat bagi aktivitas-diri, bahkan di kalangan para pekerja yang sedang berjuang bagi lebih banyak tujuan-tujuan dasar.
Kaitannya dengan Kelas
Marx berpandangan, kaum kapitalis dan proletar sama-sama teralienasi, namun masing-masing mengalami keterasingan (alienasi) mereka dengan cara yang berbeda. Kelas pemilik dan kelas proletar menyajikan keterasingan-diri manusia yang sama. Namun kelas kapitalis merasa tenteram dan diperkuat dalam keterasingan-diri ini. Kelas kapitalis mengenali keterasingan itu sebagai kekuatannya sendiri dan di dalam kekuatan itu terdapat kesamaan eksistensi manusia.
Sebaliknya, kelas proletariat merasa dilenyapkan dalam keterasingan. Mereka melihat dalam keterasingan itu kondisi ketidakberdayaannya sendiri dan realitas dari sebuah eksistensi yang tidak manusiawi.
Hal ini –jika menggunakan ekspresi dari Hegel—dalam kehinaan diri tersebut terdapat kemarahan terhadap kehinaan itu. Yaitu, suatu kemarahan yang digerakkan oleh kontradiksi antara hakikat kemanusiaan dan kondisi kehidupannya, yang bersifat palsu, pasti dan negasi menyeluruh terhadap hakikat tersebut.
Di dalam antitesis ini, pemilik properti swasta karena itu adalah sisi konservatif, sedangkan kaum proletar di sisi destruktif. Dari pihak pemilik properti muncullah tindakan untuk melestarikan antitesis ini, sedangkan dari kaum proletar muncul tindakan untuk menghancurkannya.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa alienasi merupakan proses di mana manusia menjadi asing terhadap dunia tempat mereka hidup. Konsep alienasi ini juga tertanam secara mendalam pada semua agama besar serta teori-teori sosial dan politik zaman peradaban.
Katakanlah, gagasan bahwa suatu saat di masa lalu manusia hidup dalam harmoni, dan ada semacam perpecahan atau keterputusan yang membuat manusia merasa seperti orang asing di dunia. Namun, suatu saat di masa depan, alienasi ini akan teratasi dan kemanusiaan akan kembali hidup dalam harmoni dengan dirinya sendiri dan dengan alam. ***
Referensi:
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche, Menggugat Teodisi & Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy. Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge.
Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York: Routledge.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: George Allen and Unwin Ltd.
[1] Lihat Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche, Menggugat Teodisi & Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 135.
Minggu, 7 Maret 2010 15:55:44 - oleh : admin
Oleh Satrio Arismunandar
Pengantar
Teori alienasi atau keterasingan, sebagaimana diekspresikan dalam tulisan-tulisan Karl Marx muda (khususnya dalam Manuskrip 1844), merujuk ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam keselarasan.
Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik dari kapitalisme.
Teori-teori Marx ini mengandalkan pada Esensi-esensi Kekristenan (1841) karya Feuerbach, yang berpendapat bahwa gagasan tentang Tuhan telah mengasingkan ciri-ciri makhluk manusia. Stirner akan membawa analisis itu lebih jauh, dengan mendeklarasikan bahwa bahkan “kemanusiaan” itu sendiri merupakan pengasingan dari individu. Marx dan Engels menanggapi pandangan itu dalam Ideologi Jerman (1845).
Empat Jenis Alienasi
Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan, kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan kaum borjuis.
Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidak dimiliki secara sosial, atau secara publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang dimiliki swasta, di mana masing-masing individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial.
Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme. Pertama, manusia teralienasi dari alam. Kedua, manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri. Ketiga, manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya –being—sebagai anggota dari human-species). Kempat, manusia teralienasi dari manusia lain. [1]
Di bawah kapitalisme, pekerja dengan sesama pekerja juga terasing, karena manusia lebih dipandang sebagai komoditi yang bisa diperdagangkan di pasar, ketimbang melihatnya dalam konteks hubungan sosial. Pekerja terasing dari produk yang dikerjakannya, karena hal ini memang yang dianggap layak oleh kelas kapitalis, yakni produk itu lepas dari kontrol si pekerja. Terakhir, si pekerja juga terasing dari tindakan produksi itu sendiri, karena kerja itu menjadi aktivitas yang tak bermakna, dengan hanya menawarkan sedikit atau tak ada kepuasan sama sekali di dalamnya.
Jika dijabarkan secara sederhana oleh Gerge Ritzer, empat jenis alienasi pekerja dalam sistem kapitalis adalah: a) aktivitas pekerja dipilih oleh pemilik/kapitalis, yang sebagai imbalannya membayar upah mereka; b) kepemilikan produksi/produk berada di tangan pemilik/kapitalis; c) para pekerja tampaknya akan dipisahkan dari rekan-rekannya sesama pekerja; terakhir, d) para pekerja disingkirkan dari potensi-potensinya, dan tugas-tugas menjadi tak berarti atau tak ada maknanya.
Kritik Marx terhadap Hegel
Alienasi adalah sebuah klaim mendasar dalam teori Marxis. Hegel memaparkan pengganti dari tahapan-tahapan bersejarah dalam spirit manusia (Geist), di mana spirit itu bergerak maju ke arah pemahaman-diri sempurna, dan menjauh dari ketidakacuhan.
Dalam reaksi Marx terhadap Hegel, ada dua kutub idealis yang digantikan oleh kategori-kategori materialis. Yakni, ketidakacuhan spiritual menjadi alienasi, dan ujung transenden sejarah menjadi realisasi manusia terhadap species-being-nya.
Marx memiliki pemahaman spesifik terhadap pengalaman yang sangat tajam tentang alienasi, yang ditemukan dalam masyarakat borjuis modern. Marx mengembangkan pemahaman ini melalui kritiknya terhadap Hegel.
Menurut Hegel, melalui aktivitasnya, manusia menciptakan sebuah budaya yang kemudian mengkonfrontasi mereka sebagai sebuah kekuatan yang asing (alien). Namun bagi Hegel, aktivitas manusia itu sendiri tak lain dari ekspresi Spirit (atau Zeitgeist) yang bertindak melalui manusia.
Pertama-tama, Marx menekankan, adalah kerja manusia yang menciptakan kebudayaan dan sejarah, dan bukan sebaliknya. Dengan kata lain, Spirit adalah produk manusia, bukan sebaliknya. Namun kemudian, praktik mengubah dunia material. Praktik dengan demikian adalah obyektif, dan proses kerja (labour process) dengan demikian adalah obyektivikasi kuasa-kuasa manusia.
Tetapi, jika pekerja berhubungan dengan produk mereka sebagai sebuah ekspresi dari esensi mereka sendiri, dan mengenali diri mereka sendiri dalam produk mereka, dan dikenali oleh orang-orang lain dalam kerja mereka, maka ini bukanlah landasan bagi alienasi. Sebaliknya, ini adalah satu-satunya hubungan manusiawi yang asli.
Bacaan teleologis dari Marx, khususnya yang didukung oleh Alexandre Kojève sebelum Perang Dunia II, dikritik oleh Louis Althusser dalam tulisannya tentang “materialisme acak” (matérialisme aléatoire). Althusser mengklaim bahwa bacaan yang disebutkan itu membuat kaum proletariat jadi subjek dari sejarah, tapi ternoda oleh idealisme Hegelian --”filsafat tentang subjek”-- yang telah bertahan kuat selama lima abad, dan yang telah dikritik sebagai ”ideologi borjuis dalam filsafat.”
Hubungan dengan Teori Marx tentang Sejarah
Dalam karyanya Ideologi Jerman, Marx menulis bahwa ”berbagai hal sekarang telah sampai ke perlewatan tertentu di mana individu harus menyesuaikan totalitas kekuatan-kekuatan produktif yang ada, bukan hanya untuk mencapai aktivitas-diri (self-activity), tetapi juga semata-mata untuk menjaga eksistensinya yang paling dasar.”
Dengan kata lain, Marx tampaknya berpikir bahwa sementara manusia memiliki kebutuhan untuk aktivitas-diri (aktualisasi-diri, sebagai lawan dari alienasi), ini hanya memberi relevansi kesejarahan sekunder. Hal ini karena Marx berpikir bahwa kapitalisme akan meningkatkan pemiskinan ekonomi kaum proletariat sebegitu cepat, sehingga mereka akan dipaksa untuk membuat revolusi sosial sekadar untuk tetap hidup.
Dalam kondisi seperti ini, mereka mungkin bahkan tidak akan sempat sampai ke situasi, di mana mereka akan mengkhawatirkan begitu banyak hal tentang aktivitas-diri. Meski begitu, ini tidak berarti kecenderungan melawan alienasi hanya akan mewujudkan dirinya manakala kebutuhan-kebutuhan lain sudah cukup terpenuhi. Tetapi, ini hanya berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan lain itu menjadi berkurang arti pentingnya.
Karya dari Raya Dunayevskaya dan lain-lain, dalam tradisi humanisme Marxis, menarik minat ke arah perwujudan hasrat bagi aktivitas-diri, bahkan di kalangan para pekerja yang sedang berjuang bagi lebih banyak tujuan-tujuan dasar.
Kaitannya dengan Kelas
Marx berpandangan, kaum kapitalis dan proletar sama-sama teralienasi, namun masing-masing mengalami keterasingan (alienasi) mereka dengan cara yang berbeda. Kelas pemilik dan kelas proletar menyajikan keterasingan-diri manusia yang sama. Namun kelas kapitalis merasa tenteram dan diperkuat dalam keterasingan-diri ini. Kelas kapitalis mengenali keterasingan itu sebagai kekuatannya sendiri dan di dalam kekuatan itu terdapat kesamaan eksistensi manusia.
Sebaliknya, kelas proletariat merasa dilenyapkan dalam keterasingan. Mereka melihat dalam keterasingan itu kondisi ketidakberdayaannya sendiri dan realitas dari sebuah eksistensi yang tidak manusiawi.
Hal ini –jika menggunakan ekspresi dari Hegel—dalam kehinaan diri tersebut terdapat kemarahan terhadap kehinaan itu. Yaitu, suatu kemarahan yang digerakkan oleh kontradiksi antara hakikat kemanusiaan dan kondisi kehidupannya, yang bersifat palsu, pasti dan negasi menyeluruh terhadap hakikat tersebut.
Di dalam antitesis ini, pemilik properti swasta karena itu adalah sisi konservatif, sedangkan kaum proletar di sisi destruktif. Dari pihak pemilik properti muncullah tindakan untuk melestarikan antitesis ini, sedangkan dari kaum proletar muncul tindakan untuk menghancurkannya.
Sebagai penutup, dapat dikatakan bahwa alienasi merupakan proses di mana manusia menjadi asing terhadap dunia tempat mereka hidup. Konsep alienasi ini juga tertanam secara mendalam pada semua agama besar serta teori-teori sosial dan politik zaman peradaban.
Katakanlah, gagasan bahwa suatu saat di masa lalu manusia hidup dalam harmoni, dan ada semacam perpecahan atau keterputusan yang membuat manusia merasa seperti orang asing di dunia. Namun, suatu saat di masa depan, alienasi ini akan teratasi dan kemanusiaan akan kembali hidup dalam harmoni dengan dirinya sendiri dan dengan alam. ***
Referensi:
Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche, Menggugat Teodisi & Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Kearney, Richard (ed.). 2006. Twentieth-Century Continental Philosophy. Knowledge History of Philosophy Volume VIII. New York: Routledge.
Goldstein, Laurence. 1990. The Philosopher’s Habitat: An Introduction to Investigations in, and Applications of, Modern Philosophy. New York: Routledge.
Honderich, Ted. 1995. The Oxford Companion to Philosophy. Oxford/New York: Oxford University Press.
Russell, Bertrand. 1948. History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day. London: George Allen and Unwin Ltd.
[1] Lihat Boangmanalau, Singkop Boas. 2008. Marx, Dostoievsky, Nietzsche, Menggugat Teodisi & Merekonstruksi Antropodisi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hlm. 135.
Biopsikologi
Biopsikologi merupakan pendekatan psikologi dari aspek biologi. Manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik. Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Demikian pula ahli biopsikologi melihat bahawa sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Sebagai contoh sifat pendiam, talkactive, dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia dan tidak dipelajari melalui pengalaman.
learning theory
What is learning? Is it a change in behaviour or understanding? Is it a process? Here we survey some common models.
contents: introduction · learning as a product · task-conscious or acquisition learning, and learning-conscious or formalized learning ·learning as a process · the behaviourist orientation to learning · the cognitive orientation to learning · the humanistic orientation to learning · the social/situational orientation to learning · further reading · how to cite this article
picture - carl rogers public domain - wikipedia commonsI want to talk about learning. But not the lifeless, sterile, futile, quickly forgotten stuff that is crammed in to the mind of the poor helpless individual tied into his seat by ironclad bonds of conformity! I am talking about LEARNING - the insatiable curiosity that drives the adolescent boy to absorb everything he can see or hear or read about gasoline engines in order to improve the efficiency and speed of his 'cruiser'. I am talking about the student who says, "I am discovering, drawing in from the outside, and making that which is drawn in a real part of me." I am talking about any learning in which the experience of the learner progresses along this line: "No, no, that's not what I want"; "Wait! This is closer to what I am interested in, what I need"; "Ah, here it is! Now I'm grasping and comprehending what I need and what I want to know!" Carl Rogers 1983: 18-19
For all the talk of learning amongst educational policymakers and practitioners, there is a surprising lack of attention to what it entails. In Britain and Northern Ireland, for example, theories of learning do not figure strongly in professional education programmes for teachers and those within different arenas of informal education. It is almost as if it is something is unproblematic and that can be taken for granted. Get the instructional regime right, the message seems to be, and learning (as measured by tests and assessment regimes) will follow. This lack of attention to the nature of learning inevitably leads to an impoverishment of education. It isn't simply that the process is less effective as a result, but what passes for education can actually diminish well-being.
Here we begin by examining learning as a product and as a process. The latter takes us into the arena of competing learning theories - ideas about how learning may happen. We also look at Alan Roger's (2003) helpful discussion of task-conscious or acquisition learning, and learning-conscious or formalized learning.
Learning as a product
Pick up a standard psychology textbook - especially from the 1960s and 1970s and you will probably find learning defined as a change in behaviour. In other words, learning is approached as an outcome - the end product of some process. It can be recognized or seen. This approach has the virtue of highlighting a crucial aspect of learning - change. It's apparent clarity may also make some sense when conducting experiments. However, it is rather a blunt instrument. For example:
* Does a person need to perform in order for learning to have happened?
* Are there other factors that may cause behaviour to change?
* Can the change involved include the potential for change? (Merriam and Caffarella 1991: 124)
Questions such as these have led to qualification. Some have looked to identifying relatively permanent changes in behaviour (or potential for change) as a result of experiences (see behaviourism below). However, not all changes in behaviour resulting from experience involve learning. It would seem fair to expect that if we are to say that learning has taken place, experience should have been used in some way. Conditioning may result in a change in behaviour, but the change may not involved drawing upon experience to generate new knowledge. Not surprisingly, many theorists have, thus, been less concerned with overt behaviour but with changes in the ways in which people 'understand, or experience, or conceptualize the world around them' (Ramsden 1992: 4) (see cognitivism below). The focus for them, is gaining knowledge or ability through the use of experience.
The depth or nature of the changes involved are likely to be different. Some years ago Säljö (1979) carried out a simple, but very useful piece of research. He asked a number of adult students what they understood by learning. Their responses fell into five main categories:
1. Learning as a quantitative increase in knowledge. Learning is acquiring information or ‘knowing a lot’.
2. Learning as memorising. Learning is storing information that can be reproduced.
3. Learning as acquiring facts, skills, and methods that can be retained and used as necessary.
4. Learning as making sense or abstracting meaning. Learning involves relating parts of the subject matter to each other and to the real world.
5. Learning as interpreting and understanding reality in a different way. Learning involves comprehending the world by reinterpreting knowledge. (quoted in Ramsden 1992: 26)
As Paul Ramsden comments, we can see immediately that conceptions 4 and 5 in are qualitatively different from the first three. Conceptions 1 to 3 imply a less complex view of learning. Learning is something external to the learner. It may even be something that just happens or is done to you by teachers (as in conception 1). In a way learning becomes a bit like shopping. People go out and buy knowledge - it becomes their possession. The last two conceptions look to the 'internal' or personal aspect of learning. Learning is seen as something that you do in order to understand the real world.
'knowing that' and 'knowing how'
A man knowing little or nothing of medical science could not be a good surgeon, but excellence at surgery is not the same thing as knowledge of medical science; not is it a simple product of it. The surgeon must indeed have learned from instruction, or by his own inductions and observations, a great number of truths; but he must also have learned by practice a great number of aptitudes. (Ryle 1949: 48-49)
Learning how or improving an ability is not like learning that or acquiring information. Truths can be imparted, procedures can only be inculcated, and while inculcation is a gradual process, imparting is relatively sudden. It makes sense to ask at what moment someone became apprised of a truth, but not to ask at what moment someone acquired a skill. (Ryle 1949: 58)
In some ways the difference here involves what Gilbert Ryle (1949) has termed 'knowing that' and 'knowing how'. The first two categories mostly involve 'knowing that'. As we move through the third we see that alongside 'knowing that' there is growing emphasis on 'knowing how'. This system of categories is hierarchical - each higher conception implies all the rest beneath it. 'In other words, students who conceive of learning as understanding reality are also able to see it as increasing their knowledge' (Ramsden 1992: 27).
Learning as a process - task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning
In the five categories that Säljö identified we can see learning appearing as a process - there is a concern with what happens when the learning takes place. In this way, learning could be thought of as 'a process by which behaviour changes as a result of experience' (Maples and Webster 1980 quoted in Merriam and Caffarella 1991: 124). One of the significant questions that arises is the extent to which people are conscious of what is going on. Are they aware that they are engaged in learning - and what significance does it have if they are? Such questions have appeared in various guises over the years - and have surfaced, for example, in debates around the rather confusing notion of 'informal learning'.
One particularly helpful way of approaching the area has been formulated by Alan Rogers (2003). Drawing especially on the work of those who study the learning of language (for example, Krashen 1982), Rogers sets out two contrasting approaches: task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning.
Task-conscious or acquisition learning. Acquisition learning is seen as going on all the time. It is 'concrete, immediate and confined to a specific activity; it is not concerned with general principles' (Rogers 2003: 18). Examples include much of the learning involved in parenting or with running a home. Some have referred to this kind of learning as unconscious or implicit. Rogers (2003: 21), however, suggests that it might be better to speak of it as having a consciousness of the task. In other words, whilst the learner may not be conscious of learning, they are usually aware of the specific task in hand.
Learning-conscious or formalized learning. Formalized learning arises from the process of facilitating learning. It is 'educative learning' rather than the accumulation of experience. To this extent there is a consciousness of learning - people are aware that the task they are engaged in entails learning. 'Learning itself is the task. What formalized learning does is to make learning more conscious in order to enhance it' (Rogers 2003: 27). It involves guided episodes of learning.
When approached in this way it becomes clear that these contrasting ways of learning can appear in the same context. Both are present in schools. Both are present in families. It is possible to think of the mix of acquisition and formalized learning as forming a continuum.
At one extreme lie those unintentional and usually accidental learning events which occur continuously as we walk through life. Next comes incidental learning - unconscious learning through acquisition methods which occurs in the course of some other activity... Then there are various activities in which we are somewhat more more conscious of learning, experiential activities arising from immediate life-related concerns, though even here the focus is still on the task... Then come more purposeful activities - occasions where we set out to learn something in a more systematic way, using whatever comes to hand for that purpose, but often deliberately disregarding engagement with teachers and formal institutions of learning... Further along the continuum lie the self-directed learning projects on which there is so much literature... More formalized and generalized (and consequently less contextualized) forms of learning are the distance and open education programmes, where some elements of acquisition learning are often built into the designed learning programme. Towards the further extreme lie more formalized learning programmes of highly decontextualized learning, using material common to all the learners without paying any regard to their individual preferences, agendas or needs. There are of course no clear boundaries between each of these categories. (Rogers 2003: 41-2)
This distinction is echoed in different ways in the writings of many of those concerned with education - but in particular in key theorists such as Kurt Lewin, Chris Argyris, Donald Schön, or Michael Polanyi.
Learning as a process - learning theory
The focus on process obviously takes us into the realm of learning theories - ideas about how or why change occurs. On these pages we focus on four different orientations (the first three taken from Merriam and Caffarella 1991).
the behaviourist orientation to learning
the cognitive orientation to learning
the humanistic orientation to learning
the social/situational orientation to learning
As with any categorization of this sort the divisions are a bit arbitrary: there could be further additions and sub-divisions to the scheme, and there a various ways in which the orientations overlap and draw upon each other.
The four orientations can be summed up in the following figure:
Four orientations to learning (after Merriam and Caffarella 1991: 138)
Aspect
Behaviourist
Cognitivist
Humanist
Social and situational
Learning theorists Thorndike, Pavlov, Watson, Guthrie, Hull, Tolman, Skinner Koffka, Kohler, Lewin, Piaget, Ausubel, Bruner, Gagne
Maslow, Rogers Bandura, Lave and Wenger, Salomon
View of the learning process Change in behaviour Internal mental process (including insight, information processing, memory, perception
A personal act to fulfil potential. Interaction /observation in social contexts. Movement from the periphery to the centre of a community of practice
Locus of learning Stimuli in external environment Internal cognitive structuring Affective and cognitive needs Learning is in relationship between people and environment.
Purpose in education Produce behavioural change in desired direction
Develop capacity and skills to learn better Become self-actualized, autonomous Full participation in communities of practice and utilization of resources
Educator's role Arranges environment to elicit desired response
Structures content of learning activity Facilitates development of the whole person Works to establish communities of practice in which conversation and participation can occur.
Manifestations in adult learning Behavioural objectives
Competency -based education
Skill development and training
Cognitive development
Intelligence, learning and memory as function of age
Learning how to learn
Andragogy
Self-directed learning
Socialization
Social participation
Associationalism
Conversation
As can seen from the above schematic presentation and the discussion on the linked pages, these approaches involve contrasting ideas as to the purpose and process of learning and education - and the role that educators may take. It is also important to recognize that the theories may apply to different sectors of the acquision-formalized learning continuum outlined above. For example, the work of Lave and Wenger is broadly a form of acquisition learning that can involve some more formal interludes.
Further reading
For this listing I have tried to bring together a selection of books that look to the main themes arising in the literature around learning (and education). For those familiar with Tennant (1997) (which is a set text on a course I teach!), the writers can be grouped as follows:
* humanistic orientations - here I chosen Maslow and Rogers.
* psychoanalytical approaches - Salzberger-Wittenberg et al provide a useful introduction.
* the cognitive orientation - with Piaget, Gagné and Bruner
* learning styles - Witkin on field dependence and independence; and Kolb on experiential learning.
* behaviourism - represented here by Skinner.
* building learning communities - Dewey on group investigation; Lave and Wenger on situated learning.
* critical awareness - Mezirow on the transformative dimensions of learning; Freire on 'conscientization'.
Overviews can be found in Tennant (1997), and Joyce et al (1997).
Overviews
Hartley, J. (1998) Learning and Studying. A research perspective, London: Routledge. 178 + xii pages. A well written and entertaining introduction to studying and learning in higher education. The focus is very much on practice.
Hergenhahn, B. R. and Olson, M. H. (1997) An Introduction to Theories of Learning 5e, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. 502 + x pages. Good, standard psychology text on the subject that takes an approach via ‘thinkers’. Part one contains three short chapters examining the nature of learning, different approaches to study; and early notions of learning. Part two looks at the predominantly functionalist theories of Thorndike, Skinner and Hull. Part three turns to ‘associationalist’ theorists: Pavlov, Guthrie and Estes; and part four looks at predominantly cognitive theorists: Gestalt, Piaget, Tolman, Bandura, Norman. Part five explores Hebb as a neurophysiological theorist. A concluding section examines implications for educators.
Illeris,K. (2002) The Three Dimensions of Learning. Contemporary learning theory in the tension field between the cognitive, the emotional and the social, Frederiksberg: Roskilde University Press. Interesting, but at times debatable exploration.
Joyce, B., Calhoun, E. and Hopkins, D. (1997) Models of Learning - tools for teaching, Buckingham: Open University Press. 205 + viii pages. Slightly quirky, but very useful outline of different models of learning The writers isolate four 'families' of teaching based on the the types of learning they promote: information processing; social/building a learning community; personal; and behavioural. They have chapters on learning: to think inductively, to explore concepts, to think metaphorically; mnemonically, through co-operative disciplined enquiry, to study values, through counselling and through simulations. Concluding chapters exami integrating models, and teaching and learning together.
Merriam, S. and Caffarella (1991, 1998) Learning in Adulthood. A comprehensive guide, San Francisco: Jossey-Bass. 528 pages. Now pretty much the standard text, Merriam and Caffarella provide a good overview of learning theory. In the new edition, part two deals with adult development and learning; and part three with the learning process.
Murphy, P. (ed.) (1999) Learners, Learning and Assessment, London: Paul Chapman. 352 + xiii pages. One of four readers for the Open University MA in Education course Learning, Curriculum and Assessment. This volume has a useful collection of pieces on views of the mind; curriculum implications; and learning and assessment processes. See, also, Leach, J. and Moon, B. (eds.) (1999) Learners and Pedagogy, London: Paul Chapman. 280 + viii pages; and McCormick, R. and Paetcher, C. (eds.) (1999) Learning and Knowledge, London: Paul Chapman. 254 + xiv pages.
Ramsden, P. (1992) Learning to Teach in Higher Education, London: Routledge. 290 + xiv pages. Ramsden's text can be profitably read by those teaching in other arenas. It provides a focused introduction to learning and the implications for programme design and encounters in the classroom.
Rogers, A. (2003) What is the Difference? A new critique of adult learning and teaching, Leicester: NIACE. 85 pages. Short and very helpful exploration of the nature of learning (with particular attention to current debates around informal learning) and the extent to which adult learning and the teaching of adults is the same or different from that of younger persons.
Tennant, M. (1988, 1997) Psychology and Adult Learning, London: Routledge. 182 + xii pages. Good discussion of the relevance of psychological theory to adult education. Includes material on humanistic psychology and the self-directed learner; the psychoanalytical approach; adult development; cognitive developmental psychology; learning styles; behaviourism; group dynamics; critical awareness. New edition includes helpful material on situated learning plus updates on the literature
Tennant, M. and Pogson, P. (1995) Learning and Change in the Adult Years. A developmental perspective, San Francisco: Jossey-Bass. 218 + xvii pages. Examines relationships between development and learning in adulthood; intellectual and cognitive development; practical intelligence and expertise; theories of the life course; autonomy and self-direction; experience; and teacher-learner relationship. Provides a helpful series of insights drawn from a developmental psychology tradition.
Key texts
Bruner, J. (1960, 1977) The Process of Education, Cambridge Ma.: Harvard University Press. 97 + xxvi pages. Argues for 'the spiral curriculum' with a discussion of the importance of structure; readiness for learning; intuitive and analytical thinking; motives for learning; and aids to teaching.
Dewey, J. (1933) How We Think 2e, New York: D. C. Heath. Classic and highly influential discussion of reflective enquiry, with Dewey's famous five elements: suggestion, problem, hypothesis, reasoning, testing. For a discussion that focuses on learning communities see, J. Dewey (1915) The School and Society, 2e., Chicago: University of Chicago Press.
The introduction of active occupations, of nature-study, of elementary science, of art, of history; the relegation of the merely symbolic and formal to a secondary position; the change in the moral school atmosphere, in the relation of pupils and teachers - of discipline; the introduction of more active, expressive, and self-directing factors - all these are not mere accidents, they are necessities of the larger social evolution. It remains to but to organize all these factors, to appreciate them in their fullness of meaning, and to put the ideas and ideals involved into complete, uncompromising possession of our school system. To do this means to make each one of our schools an embryonic community life, active with types of occupations that reflect the life of the larger society and permeated throughout with the spirit of art, history, and science. When the school introduces and trains each child of society into membership within such a little community, saturating him with the spirit of service, and providing him with the instruments of effective self-direction, we shall have the deepest and best guaranty of a larger society which is worthy, lovely, and harmonious.
John Dewey (1915) The School and Society, 2e., Chicago: University of Chicago Press, pages 28-9.
Freire, P. (1972) Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Penguin. Classic account of Freire's position. See, also, P. Freire and A. Faundez (1989) Learning to Question. A pedagogy of liberation, Geneva: World Council of Churches. Gives an account of learning through problem-posing.
Gagné, R. M. (1985) The Conditions of Learning 4e, New York: Holt, Rinehart and Winston. 308 + viii pages. Important study, first published in 1965, that 'attempts to consider the sets of circumstances that obtain when learning occurs, that is, when certain observable changes in human behaviour take place that justify the inference of learning' (p. 5). Basically a systems approach with chapters on varieties of learning (8 types); basic forms of learning (signal, stimulus response); chaining: motor and verbal; concept learning; problem solving; learning structures; the motivation and control of learning; learning decisions.
Jarvis, P. (1987) Adult Learning in the Social Context, London: Routledge. 220 pages. Important attempt to ground thinking about adult learning in a sociological perspective. A useful addition to thinking around reflection and experiential learning.
Kolb, D. A. (1984) Experiential Learning, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall. 256 pages. Learning is approached as a process leading to the production of knowledge. Substantial discussion of the ideas underpinning Kolb's well-known model.
Lave, J. and Wenger, E. (1991) Situated Learning. Legitimate peripheral participation, Cambridge: University of Cambridge Press. 138 pages. Significant exploration of learning as participation in communities of practice. Participation moves from the periphery to the 'centre'. Learning is, thus, not seen as the acquisition of knowledge by individuals so much as a process of social participation. The nature of the situation impacts significantly on the process. Chapters on legitimate peripheral participation; practice, person, social world; specific communities of practice.
Maslow, A. (1968) Towards a Psychology of Being 2e, New York: Van Nostrand. In which he argues for the significance of self-actualization. His 'theory of motivation' moves from low to high level needs (physiological, safety, love and belongingness, self-esteem, self-actualization). See, also, A . Maslow (1970) Motivation and Personality 2e, New York: Harper and Row. for a full discussion of the model.
Mezirow, J. (1991) Transformative Dimensions of Learning, San Francisco: Jossey-Bass. 247 + xix pages. Exploration of some of the processes by which people can free themselves from 'oppressive ideologies, habits of perception, and psychological distractions'. Draws on psycho-analytical, behaviouristic and humanistic theories.
Newman, F. and Holzman, L. (1997) The End of Knowing. A new developmental way of learning, London: Routledge. 185 + viii pages. Looks at learning as performed activity.
Piaget, J. (1926) The Child's Conception of the World, London: Routledge and Kegan Paul. It is difficult to know which of Piaget's 50 or more books to choose here - but this and The Origin of Intelligence in Children are classic starting points. H. E. Gruber and J. J. Voneche (1977) The Essential Piaget: an interpretative reference and guide, London is good collection. See, also, M. A. Boden's (1979) Piaget, London: Fontana for a succinct introduction.
Retallick, J., Cocklin, B. and Coombe, K. (1998) Learning Communities in Education, London: Cassell. 248 pages. Explores the theory and practice of learning communities from an international perspective. Covering primary/elementary, secondary and tertiary levels in a variety of educational contexts, leading researchers discuss: theoretical issues and debate; processes and strategies for creating learning communities; and learning communities in action .
Rogers, A. (2003) What is the difference? a new critique of adult learning and teaching, Leicester: NIACE. Very helpful, short discussion that distinguishes between task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning
Rogers, C. and Freiberg, H. J. (1993) Freedom to Learn (3rd edn.), New York: Merrill. Reworking of the classic Carl Rogers text first published in 1969. Looks at how person-centred learning can be used in schooling and other situations and the nature of facilitation. See, also, H. Kirschenbaum and V. L. Henderson (eds.) (1990) The Carl Rogers Reader, London: Constable. 526 + xvi pages.
Salomon, G. (ed.). Distributed Cognitions, Cambridge: Cambridge University Press. Path-breaking collection of pieces that explore the extent to which learning lies in the resources to which people have access.
Salzberger-Wittenberg, I., Henry, G. and Osborne, E. (1983) The Emotional Experience of Learning and Teaching, London: Routledge and Kegan Paul. 155 + xii pages. While largely focused on adult-child interactions, this book demonstrates the power of psychoanalytical insight into a range of learning relationships.
Skinner, B. F. (1973) Beyond Freedom and Dignity, London: Penguin. Probably the most accessible entry into Skinner's work and provides a classic account of his all embracing vision of behaviourism.
Wenger, E. (1999) Communities of Practice. Learning, meaning and identity, Cambridge: Cambridge University Press. 318 + xv pages. Substantial exploration of situated learning and communities of practice.
Witkin, H. and Goodenough, D. (1981) Cognitive Styles, Essence and Origins: Field dependence and field independence, New York: International Universities Press. Account of Witkin's very influential exploration of the impact of context on perceptual judgements.
Other references
Krashen, S. D. (1982) Principles and Practice in Second Language Acquisition, Oxford: Pergamon.
Säljö, R. (1979) 'Learning in the learner's perspective. I. Some common-sense conceptions', Reports from the Institute of Education, University of Gothenburg, 76.
Links
Explorations in Learning & Instruction: The Theory Into Practice Database - TIP is a tool intended to make learning and instructional theory more accessible to educators. The database contains brief summaries of 50 major theories of learning and instruction. These theories can also be accessed by learning domains and concepts.
Picture - The picture of Carl Rogers is believed to be in the public domain via Wikipedia Commons [http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carl_Ransom_Rogers.jpg]
How to cite this article: Smith, M. K. (1999) 'Learning theory', the encyclopedia of informal education, www.infed.org/biblio/b-learn.htm, Last update: September 03, 2009
terjemah
teori belajar
Apa itu belajar? Apakah perubahan perilaku atau pemahaman? Apakah ini sebuah proses? Di sini kita survei beberapa model umum.
isi: pengantar · belajar sebagai produk · tugas-sadar atau akuisisi belajar, dan belajar-sadar atau diformalkan belajar · pembelajaran sebagai proses · para behavioris orientasi untuk belajar · kognitif orientasi untuk belajar · orientasi humanistik untuk belajar · sosial / situasional orientasi untuk belajar · bahan bacaan lebih lanjut · bagaimana untuk mengutip artikel ini
gambar - Carl Rogers domain publik - wikipedia commonsI ingin bicara tentang belajar. Tapi bukan mati, steril, sia-sia, dengan cepat melupakan hal-hal yang dijejalkan ke pikiran orang miskin tak berdaya diikat di kursinya oleh ikatan ketat sesuai! Saya berbicara tentang BELAJAR - tak terpuaskan rasa ingin tahu yang mendorong anak remaja untuk menyerap segala sesuatu yang dapat melihat atau mendengar atau membaca tentang mesin bensin dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kecepatan dari 'cruiser'. Saya berbicara tentang mahasiswa yang mengatakan, "Saya menemukan, menarik dari luar, dan membuat apa yang digambarkan dalam bagian nyata dari diriku." Saya berbicara tentang pembelajaran di mana pengalaman pelajar berlangsung sepanjang garis ini: "Tidak, tidak, bukan itu yang aku mau"; "Tunggu! Ini adalah lebih dekat kepada apa yang saya minati, apa yang saya butuhkan"; "Ah , ini dia! Sekarang aku menangkap dan memahami apa yang saya butuhkan dan apa yang saya ingin tahu! " Carl Rogers 1983: 18-19
Untuk semua pembicaraan tentang pembelajaran antara pembuat kebijakan dan praktisi pendidikan, ada yang mengejutkan kurangnya perhatian terhadap apa yang menyertainya. Di Britania Raya dan Irlandia Utara, misalnya, teori-teori belajar figur tidak kuat dalam program pendidikan profesional bagi guru dan orang-orang di dalam arena yang berbeda dari pendidikan informal. Ini hampir seolah-olah itu adalah sesuatu yang bermasalah dan yang dapat diterima begitu saja. Dapatkan rezim instruksional yang tepat, pesan tampaknya, dan belajar (yang diukur oleh tes dan penilaian rezim) akan mengikuti. Kurangnya perhatian pada sifat belajar pasti akan mengarah ke pemiskinan pendidikan. Hal ini tidak hanya bahwa proses ini kurang efektif sebagai hasilnya, tapi apa yang diterima untuk pendidikan benar-benar dapat mengurangi kesejahteraan.
Di sini kita mulai dengan memeriksa belajar sebagai produk dan sebagai proses. Yang terakhir ini membawa kita ke dalam arena teori belajar bersaing - ide-ide tentang bagaimana belajar mungkin terjadi. Kami juga melihat Alan Roger's (2003) diskusi membantu tugas-sadar atau akuisisi belajar, dan belajar-sadar atau diformalkan belajar.
Belajar sebagai produk
Mengambil sebuah buku teks psikologi standar - terutama dari tahun 1960-an dan 1970-an dan Anda mungkin akan menemukan belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku. Dengan kata lain, belajar didekati sebagai hasil - hasil akhir dari suatu proses. Hal ini dapat diakui atau dilihat. Pendekatan ini memiliki keutamaan menyoroti aspek penting belajar - berubah. Ini jelas kejelasan mungkin juga masuk akal ketika melakukan eksperimen. Namun, lebih merupakan instrumen tumpul. Contoh:
* Apakah seseorang harus melakukan agar belajar telah terjadi?
* Apakah ada faktor lain yang dapat menyebabkan perubahan perilaku?
* Dapatkah perubahan yang terlibat termasuk potensi untuk berubah? (Merriam dan Caffarella 1991: 124)
Pertanyaan seperti ini telah menyebabkan kualifikasi. Beberapa orang tampak untuk mengidentifikasi perubahan yang relatif permanen dalam perilaku (atau potensial untuk perubahan) sebagai akibat dari pengalaman (lihat behaviorisme di bawah). Namun, tidak semua perubahan perilaku akibat pengalaman melibatkan belajar. Akan adil untuk mengharapkan bahwa jika kita ingin mengatakan bahwa pembelajaran telah terjadi, pengalaman seharusnya sudah digunakan dalam beberapa cara. Penyejuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku, tetapi perubahan mungkin tidak terlibat pada pengalaman menarik untuk menghasilkan pengetahuan baru. Tidak mengherankan, banyak ahli teori, dengan demikian, sudah kurang peduli dengan perilaku terbuka, tetapi dengan perubahan dalam cara-cara di mana orang-orang 'mengerti, atau pengalaman, atau konsep dunia di sekitar mereka "(Ramsden 1992: 4) (lihat cognitivism di bawah). Fokus bagi mereka, adalah memperoleh pengetahuan atau kemampuan melalui penggunaan pengalaman.
Kedalaman atau sifat dari perubahan yang terlibat kemungkinan akan berbeda. Beberapa tahun yang lalu Säljö (1979) yang dilaksanakan sederhana, tetapi sangat berguna sepotong penelitian. Dia meminta sejumlah siswa dewasa apa yang mereka pahami dengan belajar. Tanggapan mereka jatuh ke dalam lima kategori utama:
1. Belajar sebagai peningkatan pengetahuan kuantitatif. Belajar adalah memperoleh informasi atau 'tahu banyak'.
2. Belajar sebagai memorising. Belajar adalah menyimpan informasi yang dapat direproduksi.
3. Belajar sebagai memperoleh fakta, keterampilan, dan metode yang dapat dipertahankan dan digunakan sebagai perlu.
4. Belajar sebagai masuk akal atau makna abstrak. Belajar melibatkan bagian-bagian yang berkaitan materi subjek satu sama lain dan ke dunia nyata.
5. Belajar sebagai menafsirkan dan memahami realitas dengan cara yang berbeda. Belajar melibatkan memahami dunia dengan pengetahuan menafsirkan ulang. (dikutip dalam Ramsden 1992: 26)
Sebagai Paul Ramsden komentar, kita dapat melihat langsung bahwa konsep 4 dan 5 di secara kualitatif berbeda dari tiga. Konsep 1-3 menyiratkan pandangan yang kurang kompleks belajar. Belajar adalah sesuatu yang luar pelajar. Bahkan mungkin menjadi sesuatu yang baru saja terjadi atau dilakukan kepada Anda oleh guru (seperti dalam konsepsi 1). Dalam cara belajar menjadi sedikit suka belanja. Orang-orang pergi dan membeli pengetahuan - itu menjadi milik mereka. Dua konsep-konsep yang terakhir melihat ke 'internal' atau aspek pribadi belajar. Belajar adalah dilihat sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk memahami dunia nyata.
'mengetahui bahwa' dan 'mengetahui bagaimana'
Seorang laki-laki sedikit atau sama sekali tidak tahu ilmu kedokteran tidak mungkin seorang ahli bedah yang baik, tapi keunggulan di operasi tidak sama dengan pengetahuan ilmu kedokteran, bukan itu produk sederhana itu. Dokter bedah harus benar-benar telah belajar dari instruksi, atau dengan induksi sendiri dan pengamatan, sejumlah besar kebenaran, tetapi ia harus juga telah dipelajari dengan praktek sejumlah besar bakat. (Ryle 1949: 48-49)
Belajar bagaimana atau meningkatkan kemampuan belajar tidak seperti itu atau memperoleh informasi. Kebenaran dapat disampaikan, prosedur hanya dapat ditanamkan, dan sementara penanaman adalah proses bertahap, memberikan relatif tiba-tiba. Masuk akal untuk diajukan pada saat apa seseorang menjadi tahu tentang suatu kebenaran, tetapi tidak untuk diajukan pada saat apa seseorang memperoleh keterampilan. (Ryle 1949: 58)
Dalam beberapa hal perbedaan di sini melibatkan apa Gilbert Ryle (1949) telah disebut 'tahu bahwa' dan 'mengetahui bagaimana'. Dua kategori pertama kebanyakan melibatkan 'tahu bahwa'. Ketika kita bergerak melalui ketiga kita melihat bahwa di samping 'tahu bahwa' ada tumbuh penekanan pada 'mengetahui bagaimana'. Sistem ini kategori yang hirarkis - masing-masing konsepsi yang lebih tinggi berarti semua sisanya di bawahnya. 'Dengan kata lain, siswa yang belajar memahami sebagai realitas pemahaman juga dapat melihatnya sebagai meningkatkan pengetahuan mereka' (Ramsden 1992: 27).
Pembelajaran sebagai sebuah proses - tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau belajar formal
Dalam lima kategori yang diidentifikasi Säljö belajar kita dapat melihat muncul sebagai sebuah proses - ada perhatian dengan apa yang terjadi ketika proses belajar berlangsung. Dengan cara ini, belajar bisa dianggap sebagai "sebuah proses di mana perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman '(1980 Webster Maples dan dikutip dalam Merriam dan Caffarella 1991: 124). Salah satu pertanyaan penting yang muncul adalah sejauh mana orang-orang sadar akan apa yang sedang terjadi. Apakah mereka sadar bahwa mereka terlibat dalam pembelajaran - dan apa signifikansi hubungannya ini jika mereka? Pertanyaan seperti itu telah muncul dalam berbagai samaran selama bertahun-tahun - dan telah muncul, misalnya, dalam perdebatan di sekitar yang agak membingungkan konsep 'pembelajaran informal'.
Salah satu cara membantu terutama mendekati daerah telah dirumuskan oleh Alan Rogers (2003). Menggambar terutama pada karya mereka yang mempelajari pembelajaran bahasa (misalnya, Krashen 1982), Rogers menetapkan dua pendekatan yang kontras: tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau diformalkan belajar.
Tugas-sadar atau akuisisi belajar. Akuisisi belajar dipandang sebagai terjadi sepanjang waktu. Ini adalah 'konkret, langsung dan terbatas pada kegiatan tertentu, tetapi tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum' (Rogers 2003: 18). Contohnya meliputi banyak pembelajaran yang terlibat dalam pengasuhan atau dengan menjalankan sebuah rumah. Beberapa dimaksud jenis pembelajaran ini sebagai sadar atau implisit. Rogers (2003: 21), bagaimanapun, menyarankan bahwa mungkin lebih baik untuk berbicara tentang hal itu sebagai memiliki kesadaran tugas. Dengan kata lain, sementara pelajar mungkin tidak sadar belajar, mereka biasanya menyadari tugas tertentu di tangan.
Belajar-sadar atau diformalkan belajar. Belajar formal muncul dari proses memfasilitasi belajar. Ini adalah 'edukatif belajar' daripada akumulasi pengalaman. Sejauh ini ada kesadaran belajar - orang yang sadar bahwa tugas mereka mensyaratkan terlibat dalam pembelajaran. 'Belajar itu sendiri adalah tugas. Apa tidak belajar formal adalah untuk membuat belajar lebih sadar dalam rangka untuk meningkatkan itu "(Rogers 2003: 27). Melibatkan dipandu episode pembelajaran.
Apabila didekati dengan cara ini menjadi jelas bahwa kontras ini cara pembelajaran dapat muncul dalam konteks yang sama. Keduanya hadir di sekolah. Keduanya hadir dalam keluarga. Adalah mungkin untuk memikirkan campuran diformalkan akuisisi dan pembelajaran sebagai pembentukan sebuah kontinum.
Pada satu ekstrem kebohongan yang tidak disengaja dan biasanya tidak disengaja kegiatan pembelajaran yang terjadi terus-menerus ketika kami berjalan melalui hidup. Berikutnya datang belajar insidental - sadarkan diri belajar melalui metode akuisisi yang terjadi dalam perjalanan kegiatan lain ... Kemudian ada berbagai kegiatan di mana kita agak lebih lebih sadar belajar, kegiatan pengalaman langsung yang timbul dari keprihatinan yang berhubungan dengan kehidupan, bahkan meskipun di sini masih fokus pada tugas ... Kemudian datang lebih bermakna kegiatan - kesempatan di mana kami berangkat untuk belajar sesuatu dalam cara yang lebih sistematis, menggunakan apa pun yang datang kepada tangan untuk tujuan itu, tetapi sering sengaja mengabaikan keterlibatan dengan guru dan lembaga-lembaga pendidikan formal ... Lebih lanjut sepanjang kontinum terletak pembelajaran swa-pengarahan proyek-proyek yang ada begitu banyak literatur ... Lebih formal dan umum (dan akibatnya kurang dikontekstualisasikan) bentuk pembelajaran jarak dan program pendidikan terbuka, di mana beberapa unsur-unsur pembelajaran akuisisi sering dibangun dalam program pembelajaran yang dirancang. Menjelang ekstrim lebih lanjut kebohongan lebih formal program-program pembelajaran yang sangat decontextualized belajar, menggunakan material umum bagi semua peserta didik tanpa membayar apapun mengenai preferensi masing-masing, agenda atau kebutuhan. Ada tentu saja tidak ada batas yang jelas antara masing-masing kategori ini. (Rogers 2003: 41-2)
Perbedaan ini bergema dengan cara yang berbeda dalam tulisan-tulisan banyak dari mereka yang peduli dengan pendidikan - tetapi secara khusus dalam teori kunci seperti Kurt Lewin, Chris Argyris, Donald Schön, atau Michael Polanyi.
Pembelajaran sebagai sebuah proses - teori belajar
Fokus pada proses jelas membawa kita ke dalam wilayah teori pembelajaran - ide-ide tentang bagaimana atau mengapa perubahan terjadi. Pada halaman ini kita fokus pada empat orientasi yang berbeda (yang pertama tiga diambil dari Merriam dan Caffarella 1991).
para behavioris orientasi untuk belajar
kognitif orientasi untuk belajar
orientasi humanistik untuk belajar
sosial / situasional orientasi untuk belajar
Seperti halnya kategorisasi semacam ini divisi agak sewenang-wenang: ada yang bisa lebih jauh tambahan dan sub-divisi untuk skema, dan ada berbagai cara di mana orientasi tumpang tindih dan saling memanfaatkan.
Keempat orientasi dapat diringkas dalam gambar berikut:
Empat orientasi belajar (setelah Merriam dan Caffarella 1991: 138)
Aspek
Behaviourist
Cognitivist
Humanis
Sosial dan situasional
Teori belajar Thorndike, Pavlov, Watson, Guthrie, Hull, Tolman, Skinner Koffka, Kohler, Lewin, Piaget, Ausubel, Bruner, Gagne
Maslow, Rogers Bandura, Love dan Wenger, Salomon
Melihat dari proses belajar Internal Perubahan perilaku proses mental (termasuk wawasan, informasi pemrosesan, memori, persepsi
Tindakan pribadi untuk memenuhi potensi. Interaksi / pengamatan dalam konteks sosial. Gerakan dari pinggiran ke pusat komunitas praktek
Locus rangsangan belajar dalam lingkungan eksternal internal strukturisasi kognitif afektif dan kognitif kebutuhan Belajar adalah dalam hubungan antara manusia dan lingkungan.
Tujuan pendidikan Menghasilkan perubahan perilaku dalam arah yang dikehendaki
Mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk belajar lebih baik Menjadi diri yang teraktualisasikan, otonom Kendali partisipasi dalam praktek masyarakat dan pemanfaatan sumber daya
Mengatur Peran pendidik lingkungan untuk memperoleh jawaban yang diinginkan
Struktur isi dari kegiatan belajar Memfasilitasi pembangunan seluruh orang Bekerja untuk membangun praktek masyarakat di mana percakapan dan partisipasi dapat terjadi.
Perwujudannya dalam pembelajaran orang dewasa tujuan Behavioural
Pendidikan berbasis kompetensi
Pengembangan keterampilan dan pelatihan
Perkembangan kognitif
Kecerdasan, pembelajaran dan memori sebagai fungsi dari umur
Belajar bagaimana belajar
Andragogi
Self-directed learning
Sosialisasi
Partisipasi sosial
Asosiasionalisme
Percakapan
Seperti dapat dilihat dari skema di atas presentasi dan diskusi pada halaman-halaman terkait, pendekatan-pendekatan ini melibatkan ide-ide yang kontras dengan tujuan dan proses pembelajaran dan pendidikan - dan peran pendidik yang mungkin memakan waktu. Hal ini juga penting untuk mengenali bahwa teori-teori mungkin berlaku untuk sektor-sektor yang berbeda-formal acquision kontinum pembelajaran diuraikan di atas. Sebagai contoh, karya Love dan Wenger secara luas akuisisi suatu bentuk pembelajaran yang dapat melibatkan beberapa selingan yang lebih formal.
Bacaan lebih lanjut
Untuk listing ini saya telah mencoba untuk menyatukan pilihan buku yang melihat ke tema utama yang timbul dalam sastra sekitar pembelajaran (dan pendidikan). Bagi mereka yang akrab dengan Tennant (1997) (yang merupakan satu set teks pada Tentu saja aku mengajar!), Para penulis dapat dikelompokkan sebagai berikut:
* Orientasi humanistik - di sini aku dipilih Maslow dan Rogers.
* Psikoanalitis pendekatan - Salzberger-Wittenberg et al memberikan pengenalan yang bermanfaat.
* Orientasi kognitif - dengan Piaget, Gagné dan Bruner
* Gaya belajar - Witkin di lapangan ketergantungan dan kemandirian; dan Kolb pada pengalaman pembelajaran.
* Behaviorisme - diwakili di sini oleh Skinner.
* Membangun komunitas pembelajaran - Dewey pada kelompok penyelidikan; Love dan Wenger di terletak belajar.
* Kesadaran kritis - transformatif Mezirow pada dimensi pembelajaran; Freire pada 'penyadaran'.
Tinjauan umum dapat ditemukan di Tennant (1997), dan Joyce et al (1997).
Overviews
Hartley, J. (1998) Belajar dan Belajar. Sebuah penelitian perspektif, London: Routledge. Xii + 178 halaman. Ditulis dengan baik dan menghibur pengenalan untuk belajar dan pembelajaran di pendidikan tinggi. Fokusnya adalah pada praktek sangat banyak.
Hergenhahn, BR dan Olson, MH (1997) An Introduction to Theories of Learning 5e, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. 502 + x halaman. Bagus, teks psikologi standar pada subjek yang mengambil pendekatan melalui 'pemikir'. Bagian pertama berisi tiga bab pendek memeriksa sifat pembelajaran, pendekatan yang berbeda untuk belajar dan gagasan awal belajar. Bagian kedua melihat pada teori-teori fungsionalis didominasi Thorndike, Skinner dan Hull. Bagian tiga beralih ke 'associationalist' teoretisi: Pavlov, Guthrie dan Estes; dan bagian empat kognitif terlihat pada sebagian besar teoretisi: Gestalt, Piaget, Tolman, Bandura, Norman. Bagian lima membahas neurofisiologis Hebb sebagai ahli teori. Sebuah bagian penutup membahas implikasi bagi pendidik.
Illeris, K. (2002) The Three Dimensions of Learning. Teori belajar kontemporer di lapangan ketegangan antara kognitif, emosional dan sosial, Frederiksberg: Roskilde University Press. Menarik, tapi kadang-kadang bisa diperdebatkan eksplorasi.
Joyce, B., Calhoun, E. dan Hopkins, D. (1997) Model of Learning - alat untuk mengajar, Buckingham: Open University Press. 205 + viii halaman. Agak aneh, tapi sangat berguna garis besar model-model yang berbeda dalam belajar penulis mengisolasi empat 'keluarga' mengajar berdasarkan jenis pembelajaran mereka mempromosikan: informasi pengolahan; sosial / membangun komunitas pembelajaran; pribadi; dan perilaku. Mereka mempunyai cabang di belajar: untuk berpikir secara induktif, untuk mengeksplorasi konsep, berpikir metaforis; mnemonically, melalui disiplin koperasi penyelidikan, untuk mempelajari nilai-nilai, melalui konseling dan melalui simulasi. Penutup bab exami mengintegrasikan model, dan mengajar dan belajar bersama.
Merriam, S. dan Caffarella (1991, 1998) Belajar di usia dewasa. Panduan yang komprehensif, San Francisco: Jossey-Bass. Halaman 528. Sekarang cukup banyak teks standar, Merriam dan Caffarella memberikan gambaran yang baik dari teori belajar. Dalam edisi baru, bagian kedua berkaitan dengan pengembangan dan pembelajaran orang dewasa, dan bagian tiga dengan proses belajar.
Murphy, P. (ed.) (1999) Peserta didik, Belajar dan Penilaian, London: Paul Chapman. 352 + xiii halaman. Salah satu dari empat pembaca untuk Universitas Terbuka saja MA dalam Pendidikan Belajar, Kurikulum dan Penilaian. Buku ini memiliki koleksi yang berguna pada pandangan potongan pikiran; implikasi kurikulum dan proses pembelajaran dan penilaian. Lihat, juga, Leach, J. dan Bulan, B. (eds.) (1999) Pelajar dan Pedagogi, London: Paul Chapman. 280 + viii halaman, dan McCormick, R. dan Paetcher, C. (eds.) (1999) Belajar dan Pengetahuan, London: Paul Chapman. Xiv + 254 halaman.
Ramsden, P. (1992) Belajar Mengajar di Pendidikan Tinggi, London: Routledge. Xiv + 290 halaman. Ramsden's teks dapat menguntungkan dibaca oleh orang-mengajar di arena lain. Ini menyediakan pengenalan yang terfokus untuk belajar dan implikasi untuk rancangan program dan pertemuan di kelas.
Rogers, A. (2003) Apa Perbedaan? Kritik baru dewasa belajar dan mengajar, Leicester: NIACE. Halaman 85. Pendek dan sangat membantu eksplorasi mengenai hakikat belajar (dengan perhatian khusus untuk saat ini perdebatan sekitar pembelajaran informal) dan sejauh mana orang dewasa belajar dan mengajar orang dewasa adalah sama atau berbeda dari orang muda.
Tennant, M. (1988, 1997) Psikologi dan Dewasa Learning, London: Routledge. Xii + 182 halaman. Baik diskusi tentang relevansi teori psikologi pendidikan orang dewasa. Termasuk material di psikologi humanistik dan self-directed learner; pendekatan psikoanalitik; pembangunan dewasa; psikologi perkembangan kognitif; gaya belajar; behaviorisme; dinamika kelompok; kesadaran kritis. Edisi baru termasuk membantu materi pembelajaran terletak ditambah pembaruan pada sastra
Tennant, M. dan Pogson, P. (1995) Belajar dan Perubahan di Tahun Dewasa. Sebuah perspektif perkembangan, San Francisco: Jossey-Bass. 218 + xvii halaman. Meneliti hubungan antara pembangunan dan pembelajaran di masa dewasa; intelektual dan perkembangan kognitif; praktis kecerdasan dan keahlian; teori kehidupan saja; otonomi dan self-arah; pengalaman dan hubungan guru-peserta didik. Menyediakan serangkaian membantu wawasan yang diambil dari tradisi psikologi perkembangan.
Key teks
Bruner, J. (1960, 1977) Proses Pendidikan, Cambridge Ma.: Harvard University Press. 97 + xxvi halaman. Berpendapat untuk 'kurikulum spiral' dengan diskusi tentang pentingnya struktur; kesiapan untuk belajar; intuitif dan analitis berpikir; motif untuk belajar; dan alat bantu mengajar.
Dewey, J. (1933) Bagaimana Kita Pikirkan 2e, New York: DC Heath. Klasik dan sangat berpengaruh diskusi reflektif penyelidikan, Dewey yang terkenal dengan lima unsur: saran, masalah, hipotesis, penalaran, pengujian. Untuk diskusi yang berfokus pada komunitas belajar melihat, J. Dewey (1915) Sekolah dan Masyarakat, 2e., Chicago: University of Chicago Press.
Pengenalan pekerjaan aktif, alam belajar, ilmu dasar, seni, sejarah; yang degradasi dari sekadar simbolik dan formal ke posisi sekunder; perubahan suasana sekolah moral, dalam hubungan antara murid dan guru -- disiplin; pengenalan lebih aktif, ekspresif, dan faktor mengarahkan diri - semua ini bukan sekadar kecelakaan, mereka adalah kebutuhan dari evolusi sosial yang lebih luas. Sekarang tinggal, melainkan untuk mengatur semua faktor ini, untuk menghargai mereka dalam kepenuhan makna, dan untuk meletakkan ide-ide dan cita-cita yang terlibat menjadi lengkap, tanpa kompromi memiliki sistem sekolah kami. Untuk melakukan hal ini berarti membuat masing-masing sekolah kami embrio kehidupan masyarakat, aktif dengan jenis-jenis pekerjaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan menyebar di seluruh dengan semangat seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Ketika memperkenalkan sekolah dan kereta api masing-masing anak masyarakat ke dalam keanggotaan dalam komunitas kecil seperti ini, saturating dia dengan semangat pelayanan, dan memberinya dengan instrumen yang efektif arah diri sendiri, kita akan memiliki jaminan terdalam dan terbaik dari masyarakat yang lebih besar yang layak, indah, dan harmonis.
John Dewey (1915) Sekolah dan Masyarakat, 2e., Chicago: University of Chicago Press, halaman 28-9.
Freire, P. (1972) Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Penguin. Klasik tentang posisi Freire. Lihat, juga, P. Freire dan A. Faundez (1989) Belajar ke pertanyaan. Sebuah pedagogi pembebasan, Geneva: World Council of Churches. Memberikan penjelasan tentang masalah belajar melalui berpose.
Gagné, RM (1985) The Conditions of Learning 4e, New York: Holt, Rinehart and Winston. 308 + viii halaman. Penelitian penting, pertama kali diterbitkan pada tahun 1965, bahwa "upaya untuk mempertimbangkan set keadaan yang diperoleh ketika belajar terjadi, yaitu ketika diamati tertentu perubahan dalam perilaku manusia berlangsung membenarkan kesimpulan bahwa belajar '(hal. 5). Pada dasarnya sebuah pendekatan sistem dengan varietas bab mengenai pembelajaran (8 jenis); bentuk dasar pembelajaran (sinyal, respon stimulus); chaining: motor dan verbal; konsep pembelajaran pemecahan masalah; pembelajaran struktur, motivasi dan kontrol belajar; belajar keputusan .
Jarvis, P. (1987) Dewasa Belajar dalam Konteks Sosial, London: Routledge. 220 halaman. Penting upaya untuk tanah berpikir tentang belajar orang dewasa dalam perspektif sosiologis. Selain bermanfaat berpikir sekitar refleksi dan pengalaman belajar.
Kolb, DA (1984) Experiential Learning, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall. 256 halaman. Belajar didekati sebagai suatu proses menuju produksi pengetahuan. Substansial diskusi tentang ide-ide yang mendasari Kolb model terkenal.
Lave, J. dan Wenger, E. (1991) Terletak Learning. Perifer sah partisipasi, Cambridge: Cambridge University Press. 138 halaman. Eksplorasi yang signifikan pembelajaran sebagai masyarakat partisipasi dalam praktek. Partisipasi bergerak dari pinggiran ke 'pusat'. Belajar adalah, dengan demikian, tidak dipandang sebagai perolehan pengetahuan dengan begitu banyak individu-individu sebagai proses partisipasi sosial. Sifat dari situasi dampak signifikan pada proses. Bab-bab tentang partisipasi perifer sah; praktek, orang, dunia sosial; komunitas spesifik praktek.
Maslow, A. (1968) Towards a Psychology of Being 2e, New York: Van Nostrand. Di mana ia mengemukakan pentingnya aktualisasi diri. Nya 'teori motivasi' bergerak dari rendah ke tingkat tinggi kebutuhan (fisiologis, keselamatan, cinta dan kepemilikan, harga diri, aktualisasi diri). Lihat, juga, A. Maslow (1970) Motivation and Personality 2e, New York: Harper and Row. untuk diskusi lengkap dari model.
Mezirow, J. (1991) Transformative Dimensions of Learning, San Francisco: Jossey-Bass. 247 + xix halaman. Eksplorasi dari beberapa proses dengan mana orang dapat membebaskan diri dari 'menindas ideologi, kebiasaan persepsi, dan gangguan psikologis'. Menarik pada psiko-analitis, behaviouristic dan teori humanistik.
Newman, F. dan Holzman, L. (1997) The End of Mengetahui. Sebuah perkembangan baru cara belajar, London: Routledge. 185 + viii halaman. Memandang belajar sebagai aktivitas dilakukan.
Piaget, J. (1926) The Child's Conception of the World, London: Routledge dan Kegan Paul. Sulit untuk mengetahui mana dari Piaget's 50 atau lebih buku untuk memilih di sini - tapi ini dan The Origin of Intelligence in Children klasik titik awal. HE Gruber dan JJ Voneche (1977) The Essential Piaget: sebuah interpretasi referensi dan panduan, London adalah koleksi baik. Lihat, juga, MA Boden's (1979) Piaget, London: Fontana untuk pengenalan ringkas.
Retallick, J., Cocklin, B. dan Coombe, K. (1998) Belajar Masyarakat di Pendidikan, London: Cassell. Halaman 248. Menggali teori dan praktek masyarakat belajar dari perspektif internasional. Meliputi primer / dasar, menengah dan tingkat tersier dalam berbagai konteks pendidikan, peneliti terkemuka membahas: isu-isu teoretis dan perdebatan; proses dan strategi untuk menciptakan masyarakat belajar dan pembelajaran dalam tindakan masyarakat.
Rogers, A. (2003) Apa bedanya? kritik baru dewasa belajar dan mengajar, Leicester: NIACE. Sangat membantu, diskusi pendek yang membedakan antara tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau belajar formal
Rogers, C. dan Freiberg, HJ (1993) Kebebasan untuk Belajar (3rd edn.), New York: Merrill. Pengerjaan ulang dari Carl Rogers teks klasik pertama kali diterbitkan pada tahun 1969. Melihat bagaimana pembelajaran yang berpusat pada seseorang dapat digunakan di sekolah dan situasi lain dan sifat fasilitasi. Lihat, juga, H. Kirschenbaum dan VL Henderson (ed.) (1990) The Carl Rogers Reader, London: Constable. 526 + xvi halaman.
Salomon, G. (ed.). Didistribusikan Cognitions, Cambridge: Cambridge University Press. Path-melanggar koleksi potongan-potongan yang mengeksplorasi sejauh mana pembelajaran terletak pada sumber daya untuk mana orang-orang memiliki akses.
Salzberger-Wittenberg, I., Henry, G. dan Osborne, E. (1983) The Emotional Pengalaman Belajar dan Mengajar, London: Routledge dan Kegan Paul. Xii + 155 halaman. Sementara sebagian besar berfokus pada interaksi orang dewasa-anak, buku ini menunjukkan kekuatan psikoanalitis wawasan tentang berbagai hubungan pembelajaran.
Skinner, BF (1973) Beyond Kebebasan dan Martabat, London: Penguin. Mungkin yang paling mudah masuk ke Skinner kerja dan memberikan rekening klasik dari semua visi merangkul behaviorisme.
Wenger, E. (1999) Communities of Practice. Belajar, makna dan identitas, Cambridge: Cambridge University Press. 318 + xv halaman. Eksplorasi substansial terletak komunitas pembelajaran dan praktek.
Witkin, H. dan Goodenough, D. (1981) Cognitive Styles, Essence dan Origin: Lapangan ketergantungan dan lapangan kemerdekaan, New York: International Universities Press. Rekening Witkin sangat berpengaruh eksplorasi dampak pada persepsi konteks penilaian.
Referensi lain
Krashen, SD (1982) Prinsip-Prinsip dan Praktek di Second Language Acquisition, Oxford: Pergamon.
Säljö, R. (1979) 'Belajar dalam perspektif pelajar. I. Beberapa konsep-konsep akal sehat ', Laporan dari Lembaga Pendidikan, Universitas Gothenburg, 76.
Link
Eksplorasi di Belajar & Instruksi: Teori dalam Praktik Database - TIP adalah alat yang dimaksudkan untuk membuat belajar dan teori instruksional lebih mudah diakses oleh pendidik. Database berisi ringkasan singkat dari 50 besar teori-teori pembelajaran dan pengajaran. Teori-teori ini juga dapat diakses dengan domain dan konsep pembelajaran.
Gambar - Gambar dari Carl Rogers diyakini berada dalam domain publik melalui Wikipedia Commons [http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carl_Ransom_Rogers.jpg]
Bagaimana mengutip artikel ini: Smith, MK (1999) 'Belajar teori', yang bebas dari pendidikan informal, www.infed.org / Biblio / b-learn.htm, Last update: September 03, 2009
contents: introduction · learning as a product · task-conscious or acquisition learning, and learning-conscious or formalized learning ·learning as a process · the behaviourist orientation to learning · the cognitive orientation to learning · the humanistic orientation to learning · the social/situational orientation to learning · further reading · how to cite this article
picture - carl rogers public domain - wikipedia commonsI want to talk about learning. But not the lifeless, sterile, futile, quickly forgotten stuff that is crammed in to the mind of the poor helpless individual tied into his seat by ironclad bonds of conformity! I am talking about LEARNING - the insatiable curiosity that drives the adolescent boy to absorb everything he can see or hear or read about gasoline engines in order to improve the efficiency and speed of his 'cruiser'. I am talking about the student who says, "I am discovering, drawing in from the outside, and making that which is drawn in a real part of me." I am talking about any learning in which the experience of the learner progresses along this line: "No, no, that's not what I want"; "Wait! This is closer to what I am interested in, what I need"; "Ah, here it is! Now I'm grasping and comprehending what I need and what I want to know!" Carl Rogers 1983: 18-19
For all the talk of learning amongst educational policymakers and practitioners, there is a surprising lack of attention to what it entails. In Britain and Northern Ireland, for example, theories of learning do not figure strongly in professional education programmes for teachers and those within different arenas of informal education. It is almost as if it is something is unproblematic and that can be taken for granted. Get the instructional regime right, the message seems to be, and learning (as measured by tests and assessment regimes) will follow. This lack of attention to the nature of learning inevitably leads to an impoverishment of education. It isn't simply that the process is less effective as a result, but what passes for education can actually diminish well-being.
Here we begin by examining learning as a product and as a process. The latter takes us into the arena of competing learning theories - ideas about how learning may happen. We also look at Alan Roger's (2003) helpful discussion of task-conscious or acquisition learning, and learning-conscious or formalized learning.
Learning as a product
Pick up a standard psychology textbook - especially from the 1960s and 1970s and you will probably find learning defined as a change in behaviour. In other words, learning is approached as an outcome - the end product of some process. It can be recognized or seen. This approach has the virtue of highlighting a crucial aspect of learning - change. It's apparent clarity may also make some sense when conducting experiments. However, it is rather a blunt instrument. For example:
* Does a person need to perform in order for learning to have happened?
* Are there other factors that may cause behaviour to change?
* Can the change involved include the potential for change? (Merriam and Caffarella 1991: 124)
Questions such as these have led to qualification. Some have looked to identifying relatively permanent changes in behaviour (or potential for change) as a result of experiences (see behaviourism below). However, not all changes in behaviour resulting from experience involve learning. It would seem fair to expect that if we are to say that learning has taken place, experience should have been used in some way. Conditioning may result in a change in behaviour, but the change may not involved drawing upon experience to generate new knowledge. Not surprisingly, many theorists have, thus, been less concerned with overt behaviour but with changes in the ways in which people 'understand, or experience, or conceptualize the world around them' (Ramsden 1992: 4) (see cognitivism below). The focus for them, is gaining knowledge or ability through the use of experience.
The depth or nature of the changes involved are likely to be different. Some years ago Säljö (1979) carried out a simple, but very useful piece of research. He asked a number of adult students what they understood by learning. Their responses fell into five main categories:
1. Learning as a quantitative increase in knowledge. Learning is acquiring information or ‘knowing a lot’.
2. Learning as memorising. Learning is storing information that can be reproduced.
3. Learning as acquiring facts, skills, and methods that can be retained and used as necessary.
4. Learning as making sense or abstracting meaning. Learning involves relating parts of the subject matter to each other and to the real world.
5. Learning as interpreting and understanding reality in a different way. Learning involves comprehending the world by reinterpreting knowledge. (quoted in Ramsden 1992: 26)
As Paul Ramsden comments, we can see immediately that conceptions 4 and 5 in are qualitatively different from the first three. Conceptions 1 to 3 imply a less complex view of learning. Learning is something external to the learner. It may even be something that just happens or is done to you by teachers (as in conception 1). In a way learning becomes a bit like shopping. People go out and buy knowledge - it becomes their possession. The last two conceptions look to the 'internal' or personal aspect of learning. Learning is seen as something that you do in order to understand the real world.
'knowing that' and 'knowing how'
A man knowing little or nothing of medical science could not be a good surgeon, but excellence at surgery is not the same thing as knowledge of medical science; not is it a simple product of it. The surgeon must indeed have learned from instruction, or by his own inductions and observations, a great number of truths; but he must also have learned by practice a great number of aptitudes. (Ryle 1949: 48-49)
Learning how or improving an ability is not like learning that or acquiring information. Truths can be imparted, procedures can only be inculcated, and while inculcation is a gradual process, imparting is relatively sudden. It makes sense to ask at what moment someone became apprised of a truth, but not to ask at what moment someone acquired a skill. (Ryle 1949: 58)
In some ways the difference here involves what Gilbert Ryle (1949) has termed 'knowing that' and 'knowing how'. The first two categories mostly involve 'knowing that'. As we move through the third we see that alongside 'knowing that' there is growing emphasis on 'knowing how'. This system of categories is hierarchical - each higher conception implies all the rest beneath it. 'In other words, students who conceive of learning as understanding reality are also able to see it as increasing their knowledge' (Ramsden 1992: 27).
Learning as a process - task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning
In the five categories that Säljö identified we can see learning appearing as a process - there is a concern with what happens when the learning takes place. In this way, learning could be thought of as 'a process by which behaviour changes as a result of experience' (Maples and Webster 1980 quoted in Merriam and Caffarella 1991: 124). One of the significant questions that arises is the extent to which people are conscious of what is going on. Are they aware that they are engaged in learning - and what significance does it have if they are? Such questions have appeared in various guises over the years - and have surfaced, for example, in debates around the rather confusing notion of 'informal learning'.
One particularly helpful way of approaching the area has been formulated by Alan Rogers (2003). Drawing especially on the work of those who study the learning of language (for example, Krashen 1982), Rogers sets out two contrasting approaches: task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning.
Task-conscious or acquisition learning. Acquisition learning is seen as going on all the time. It is 'concrete, immediate and confined to a specific activity; it is not concerned with general principles' (Rogers 2003: 18). Examples include much of the learning involved in parenting or with running a home. Some have referred to this kind of learning as unconscious or implicit. Rogers (2003: 21), however, suggests that it might be better to speak of it as having a consciousness of the task. In other words, whilst the learner may not be conscious of learning, they are usually aware of the specific task in hand.
Learning-conscious or formalized learning. Formalized learning arises from the process of facilitating learning. It is 'educative learning' rather than the accumulation of experience. To this extent there is a consciousness of learning - people are aware that the task they are engaged in entails learning. 'Learning itself is the task. What formalized learning does is to make learning more conscious in order to enhance it' (Rogers 2003: 27). It involves guided episodes of learning.
When approached in this way it becomes clear that these contrasting ways of learning can appear in the same context. Both are present in schools. Both are present in families. It is possible to think of the mix of acquisition and formalized learning as forming a continuum.
At one extreme lie those unintentional and usually accidental learning events which occur continuously as we walk through life. Next comes incidental learning - unconscious learning through acquisition methods which occurs in the course of some other activity... Then there are various activities in which we are somewhat more more conscious of learning, experiential activities arising from immediate life-related concerns, though even here the focus is still on the task... Then come more purposeful activities - occasions where we set out to learn something in a more systematic way, using whatever comes to hand for that purpose, but often deliberately disregarding engagement with teachers and formal institutions of learning... Further along the continuum lie the self-directed learning projects on which there is so much literature... More formalized and generalized (and consequently less contextualized) forms of learning are the distance and open education programmes, where some elements of acquisition learning are often built into the designed learning programme. Towards the further extreme lie more formalized learning programmes of highly decontextualized learning, using material common to all the learners without paying any regard to their individual preferences, agendas or needs. There are of course no clear boundaries between each of these categories. (Rogers 2003: 41-2)
This distinction is echoed in different ways in the writings of many of those concerned with education - but in particular in key theorists such as Kurt Lewin, Chris Argyris, Donald Schön, or Michael Polanyi.
Learning as a process - learning theory
The focus on process obviously takes us into the realm of learning theories - ideas about how or why change occurs. On these pages we focus on four different orientations (the first three taken from Merriam and Caffarella 1991).
the behaviourist orientation to learning
the cognitive orientation to learning
the humanistic orientation to learning
the social/situational orientation to learning
As with any categorization of this sort the divisions are a bit arbitrary: there could be further additions and sub-divisions to the scheme, and there a various ways in which the orientations overlap and draw upon each other.
The four orientations can be summed up in the following figure:
Four orientations to learning (after Merriam and Caffarella 1991: 138)
Aspect
Behaviourist
Cognitivist
Humanist
Social and situational
Learning theorists Thorndike, Pavlov, Watson, Guthrie, Hull, Tolman, Skinner Koffka, Kohler, Lewin, Piaget, Ausubel, Bruner, Gagne
Maslow, Rogers Bandura, Lave and Wenger, Salomon
View of the learning process Change in behaviour Internal mental process (including insight, information processing, memory, perception
A personal act to fulfil potential. Interaction /observation in social contexts. Movement from the periphery to the centre of a community of practice
Locus of learning Stimuli in external environment Internal cognitive structuring Affective and cognitive needs Learning is in relationship between people and environment.
Purpose in education Produce behavioural change in desired direction
Develop capacity and skills to learn better Become self-actualized, autonomous Full participation in communities of practice and utilization of resources
Educator's role Arranges environment to elicit desired response
Structures content of learning activity Facilitates development of the whole person Works to establish communities of practice in which conversation and participation can occur.
Manifestations in adult learning Behavioural objectives
Competency -based education
Skill development and training
Cognitive development
Intelligence, learning and memory as function of age
Learning how to learn
Andragogy
Self-directed learning
Socialization
Social participation
Associationalism
Conversation
As can seen from the above schematic presentation and the discussion on the linked pages, these approaches involve contrasting ideas as to the purpose and process of learning and education - and the role that educators may take. It is also important to recognize that the theories may apply to different sectors of the acquision-formalized learning continuum outlined above. For example, the work of Lave and Wenger is broadly a form of acquisition learning that can involve some more formal interludes.
Further reading
For this listing I have tried to bring together a selection of books that look to the main themes arising in the literature around learning (and education). For those familiar with Tennant (1997) (which is a set text on a course I teach!), the writers can be grouped as follows:
* humanistic orientations - here I chosen Maslow and Rogers.
* psychoanalytical approaches - Salzberger-Wittenberg et al provide a useful introduction.
* the cognitive orientation - with Piaget, Gagné and Bruner
* learning styles - Witkin on field dependence and independence; and Kolb on experiential learning.
* behaviourism - represented here by Skinner.
* building learning communities - Dewey on group investigation; Lave and Wenger on situated learning.
* critical awareness - Mezirow on the transformative dimensions of learning; Freire on 'conscientization'.
Overviews can be found in Tennant (1997), and Joyce et al (1997).
Overviews
Hartley, J. (1998) Learning and Studying. A research perspective, London: Routledge. 178 + xii pages. A well written and entertaining introduction to studying and learning in higher education. The focus is very much on practice.
Hergenhahn, B. R. and Olson, M. H. (1997) An Introduction to Theories of Learning 5e, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. 502 + x pages. Good, standard psychology text on the subject that takes an approach via ‘thinkers’. Part one contains three short chapters examining the nature of learning, different approaches to study; and early notions of learning. Part two looks at the predominantly functionalist theories of Thorndike, Skinner and Hull. Part three turns to ‘associationalist’ theorists: Pavlov, Guthrie and Estes; and part four looks at predominantly cognitive theorists: Gestalt, Piaget, Tolman, Bandura, Norman. Part five explores Hebb as a neurophysiological theorist. A concluding section examines implications for educators.
Illeris,K. (2002) The Three Dimensions of Learning. Contemporary learning theory in the tension field between the cognitive, the emotional and the social, Frederiksberg: Roskilde University Press. Interesting, but at times debatable exploration.
Joyce, B., Calhoun, E. and Hopkins, D. (1997) Models of Learning - tools for teaching, Buckingham: Open University Press. 205 + viii pages. Slightly quirky, but very useful outline of different models of learning The writers isolate four 'families' of teaching based on the the types of learning they promote: information processing; social/building a learning community; personal; and behavioural. They have chapters on learning: to think inductively, to explore concepts, to think metaphorically; mnemonically, through co-operative disciplined enquiry, to study values, through counselling and through simulations. Concluding chapters exami integrating models, and teaching and learning together.
Merriam, S. and Caffarella (1991, 1998) Learning in Adulthood. A comprehensive guide, San Francisco: Jossey-Bass. 528 pages. Now pretty much the standard text, Merriam and Caffarella provide a good overview of learning theory. In the new edition, part two deals with adult development and learning; and part three with the learning process.
Murphy, P. (ed.) (1999) Learners, Learning and Assessment, London: Paul Chapman. 352 + xiii pages. One of four readers for the Open University MA in Education course Learning, Curriculum and Assessment. This volume has a useful collection of pieces on views of the mind; curriculum implications; and learning and assessment processes. See, also, Leach, J. and Moon, B. (eds.) (1999) Learners and Pedagogy, London: Paul Chapman. 280 + viii pages; and McCormick, R. and Paetcher, C. (eds.) (1999) Learning and Knowledge, London: Paul Chapman. 254 + xiv pages.
Ramsden, P. (1992) Learning to Teach in Higher Education, London: Routledge. 290 + xiv pages. Ramsden's text can be profitably read by those teaching in other arenas. It provides a focused introduction to learning and the implications for programme design and encounters in the classroom.
Rogers, A. (2003) What is the Difference? A new critique of adult learning and teaching, Leicester: NIACE. 85 pages. Short and very helpful exploration of the nature of learning (with particular attention to current debates around informal learning) and the extent to which adult learning and the teaching of adults is the same or different from that of younger persons.
Tennant, M. (1988, 1997) Psychology and Adult Learning, London: Routledge. 182 + xii pages. Good discussion of the relevance of psychological theory to adult education. Includes material on humanistic psychology and the self-directed learner; the psychoanalytical approach; adult development; cognitive developmental psychology; learning styles; behaviourism; group dynamics; critical awareness. New edition includes helpful material on situated learning plus updates on the literature
Tennant, M. and Pogson, P. (1995) Learning and Change in the Adult Years. A developmental perspective, San Francisco: Jossey-Bass. 218 + xvii pages. Examines relationships between development and learning in adulthood; intellectual and cognitive development; practical intelligence and expertise; theories of the life course; autonomy and self-direction; experience; and teacher-learner relationship. Provides a helpful series of insights drawn from a developmental psychology tradition.
Key texts
Bruner, J. (1960, 1977) The Process of Education, Cambridge Ma.: Harvard University Press. 97 + xxvi pages. Argues for 'the spiral curriculum' with a discussion of the importance of structure; readiness for learning; intuitive and analytical thinking; motives for learning; and aids to teaching.
Dewey, J. (1933) How We Think 2e, New York: D. C. Heath. Classic and highly influential discussion of reflective enquiry, with Dewey's famous five elements: suggestion, problem, hypothesis, reasoning, testing. For a discussion that focuses on learning communities see, J. Dewey (1915) The School and Society, 2e., Chicago: University of Chicago Press.
The introduction of active occupations, of nature-study, of elementary science, of art, of history; the relegation of the merely symbolic and formal to a secondary position; the change in the moral school atmosphere, in the relation of pupils and teachers - of discipline; the introduction of more active, expressive, and self-directing factors - all these are not mere accidents, they are necessities of the larger social evolution. It remains to but to organize all these factors, to appreciate them in their fullness of meaning, and to put the ideas and ideals involved into complete, uncompromising possession of our school system. To do this means to make each one of our schools an embryonic community life, active with types of occupations that reflect the life of the larger society and permeated throughout with the spirit of art, history, and science. When the school introduces and trains each child of society into membership within such a little community, saturating him with the spirit of service, and providing him with the instruments of effective self-direction, we shall have the deepest and best guaranty of a larger society which is worthy, lovely, and harmonious.
John Dewey (1915) The School and Society, 2e., Chicago: University of Chicago Press, pages 28-9.
Freire, P. (1972) Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Penguin. Classic account of Freire's position. See, also, P. Freire and A. Faundez (1989) Learning to Question. A pedagogy of liberation, Geneva: World Council of Churches. Gives an account of learning through problem-posing.
Gagné, R. M. (1985) The Conditions of Learning 4e, New York: Holt, Rinehart and Winston. 308 + viii pages. Important study, first published in 1965, that 'attempts to consider the sets of circumstances that obtain when learning occurs, that is, when certain observable changes in human behaviour take place that justify the inference of learning' (p. 5). Basically a systems approach with chapters on varieties of learning (8 types); basic forms of learning (signal, stimulus response); chaining: motor and verbal; concept learning; problem solving; learning structures; the motivation and control of learning; learning decisions.
Jarvis, P. (1987) Adult Learning in the Social Context, London: Routledge. 220 pages. Important attempt to ground thinking about adult learning in a sociological perspective. A useful addition to thinking around reflection and experiential learning.
Kolb, D. A. (1984) Experiential Learning, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall. 256 pages. Learning is approached as a process leading to the production of knowledge. Substantial discussion of the ideas underpinning Kolb's well-known model.
Lave, J. and Wenger, E. (1991) Situated Learning. Legitimate peripheral participation, Cambridge: University of Cambridge Press. 138 pages. Significant exploration of learning as participation in communities of practice. Participation moves from the periphery to the 'centre'. Learning is, thus, not seen as the acquisition of knowledge by individuals so much as a process of social participation. The nature of the situation impacts significantly on the process. Chapters on legitimate peripheral participation; practice, person, social world; specific communities of practice.
Maslow, A. (1968) Towards a Psychology of Being 2e, New York: Van Nostrand. In which he argues for the significance of self-actualization. His 'theory of motivation' moves from low to high level needs (physiological, safety, love and belongingness, self-esteem, self-actualization). See, also, A . Maslow (1970) Motivation and Personality 2e, New York: Harper and Row. for a full discussion of the model.
Mezirow, J. (1991) Transformative Dimensions of Learning, San Francisco: Jossey-Bass. 247 + xix pages. Exploration of some of the processes by which people can free themselves from 'oppressive ideologies, habits of perception, and psychological distractions'. Draws on psycho-analytical, behaviouristic and humanistic theories.
Newman, F. and Holzman, L. (1997) The End of Knowing. A new developmental way of learning, London: Routledge. 185 + viii pages. Looks at learning as performed activity.
Piaget, J. (1926) The Child's Conception of the World, London: Routledge and Kegan Paul. It is difficult to know which of Piaget's 50 or more books to choose here - but this and The Origin of Intelligence in Children are classic starting points. H. E. Gruber and J. J. Voneche (1977) The Essential Piaget: an interpretative reference and guide, London is good collection. See, also, M. A. Boden's (1979) Piaget, London: Fontana for a succinct introduction.
Retallick, J., Cocklin, B. and Coombe, K. (1998) Learning Communities in Education, London: Cassell. 248 pages. Explores the theory and practice of learning communities from an international perspective. Covering primary/elementary, secondary and tertiary levels in a variety of educational contexts, leading researchers discuss: theoretical issues and debate; processes and strategies for creating learning communities; and learning communities in action .
Rogers, A. (2003) What is the difference? a new critique of adult learning and teaching, Leicester: NIACE. Very helpful, short discussion that distinguishes between task-conscious or acquisition learning and learning-conscious or formalized learning
Rogers, C. and Freiberg, H. J. (1993) Freedom to Learn (3rd edn.), New York: Merrill. Reworking of the classic Carl Rogers text first published in 1969. Looks at how person-centred learning can be used in schooling and other situations and the nature of facilitation. See, also, H. Kirschenbaum and V. L. Henderson (eds.) (1990) The Carl Rogers Reader, London: Constable. 526 + xvi pages.
Salomon, G. (ed.). Distributed Cognitions, Cambridge: Cambridge University Press. Path-breaking collection of pieces that explore the extent to which learning lies in the resources to which people have access.
Salzberger-Wittenberg, I., Henry, G. and Osborne, E. (1983) The Emotional Experience of Learning and Teaching, London: Routledge and Kegan Paul. 155 + xii pages. While largely focused on adult-child interactions, this book demonstrates the power of psychoanalytical insight into a range of learning relationships.
Skinner, B. F. (1973) Beyond Freedom and Dignity, London: Penguin. Probably the most accessible entry into Skinner's work and provides a classic account of his all embracing vision of behaviourism.
Wenger, E. (1999) Communities of Practice. Learning, meaning and identity, Cambridge: Cambridge University Press. 318 + xv pages. Substantial exploration of situated learning and communities of practice.
Witkin, H. and Goodenough, D. (1981) Cognitive Styles, Essence and Origins: Field dependence and field independence, New York: International Universities Press. Account of Witkin's very influential exploration of the impact of context on perceptual judgements.
Other references
Krashen, S. D. (1982) Principles and Practice in Second Language Acquisition, Oxford: Pergamon.
Säljö, R. (1979) 'Learning in the learner's perspective. I. Some common-sense conceptions', Reports from the Institute of Education, University of Gothenburg, 76.
Links
Explorations in Learning & Instruction: The Theory Into Practice Database - TIP is a tool intended to make learning and instructional theory more accessible to educators. The database contains brief summaries of 50 major theories of learning and instruction. These theories can also be accessed by learning domains and concepts.
Picture - The picture of Carl Rogers is believed to be in the public domain via Wikipedia Commons [http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carl_Ransom_Rogers.jpg]
How to cite this article: Smith, M. K. (1999) 'Learning theory', the encyclopedia of informal education, www.infed.org/biblio/b-learn.htm, Last update: September 03, 2009
terjemah
teori belajar
Apa itu belajar? Apakah perubahan perilaku atau pemahaman? Apakah ini sebuah proses? Di sini kita survei beberapa model umum.
isi: pengantar · belajar sebagai produk · tugas-sadar atau akuisisi belajar, dan belajar-sadar atau diformalkan belajar · pembelajaran sebagai proses · para behavioris orientasi untuk belajar · kognitif orientasi untuk belajar · orientasi humanistik untuk belajar · sosial / situasional orientasi untuk belajar · bahan bacaan lebih lanjut · bagaimana untuk mengutip artikel ini
gambar - Carl Rogers domain publik - wikipedia commonsI ingin bicara tentang belajar. Tapi bukan mati, steril, sia-sia, dengan cepat melupakan hal-hal yang dijejalkan ke pikiran orang miskin tak berdaya diikat di kursinya oleh ikatan ketat sesuai! Saya berbicara tentang BELAJAR - tak terpuaskan rasa ingin tahu yang mendorong anak remaja untuk menyerap segala sesuatu yang dapat melihat atau mendengar atau membaca tentang mesin bensin dalam rangka meningkatkan efisiensi dan kecepatan dari 'cruiser'. Saya berbicara tentang mahasiswa yang mengatakan, "Saya menemukan, menarik dari luar, dan membuat apa yang digambarkan dalam bagian nyata dari diriku." Saya berbicara tentang pembelajaran di mana pengalaman pelajar berlangsung sepanjang garis ini: "Tidak, tidak, bukan itu yang aku mau"; "Tunggu! Ini adalah lebih dekat kepada apa yang saya minati, apa yang saya butuhkan"; "Ah , ini dia! Sekarang aku menangkap dan memahami apa yang saya butuhkan dan apa yang saya ingin tahu! " Carl Rogers 1983: 18-19
Untuk semua pembicaraan tentang pembelajaran antara pembuat kebijakan dan praktisi pendidikan, ada yang mengejutkan kurangnya perhatian terhadap apa yang menyertainya. Di Britania Raya dan Irlandia Utara, misalnya, teori-teori belajar figur tidak kuat dalam program pendidikan profesional bagi guru dan orang-orang di dalam arena yang berbeda dari pendidikan informal. Ini hampir seolah-olah itu adalah sesuatu yang bermasalah dan yang dapat diterima begitu saja. Dapatkan rezim instruksional yang tepat, pesan tampaknya, dan belajar (yang diukur oleh tes dan penilaian rezim) akan mengikuti. Kurangnya perhatian pada sifat belajar pasti akan mengarah ke pemiskinan pendidikan. Hal ini tidak hanya bahwa proses ini kurang efektif sebagai hasilnya, tapi apa yang diterima untuk pendidikan benar-benar dapat mengurangi kesejahteraan.
Di sini kita mulai dengan memeriksa belajar sebagai produk dan sebagai proses. Yang terakhir ini membawa kita ke dalam arena teori belajar bersaing - ide-ide tentang bagaimana belajar mungkin terjadi. Kami juga melihat Alan Roger's (2003) diskusi membantu tugas-sadar atau akuisisi belajar, dan belajar-sadar atau diformalkan belajar.
Belajar sebagai produk
Mengambil sebuah buku teks psikologi standar - terutama dari tahun 1960-an dan 1970-an dan Anda mungkin akan menemukan belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku. Dengan kata lain, belajar didekati sebagai hasil - hasil akhir dari suatu proses. Hal ini dapat diakui atau dilihat. Pendekatan ini memiliki keutamaan menyoroti aspek penting belajar - berubah. Ini jelas kejelasan mungkin juga masuk akal ketika melakukan eksperimen. Namun, lebih merupakan instrumen tumpul. Contoh:
* Apakah seseorang harus melakukan agar belajar telah terjadi?
* Apakah ada faktor lain yang dapat menyebabkan perubahan perilaku?
* Dapatkah perubahan yang terlibat termasuk potensi untuk berubah? (Merriam dan Caffarella 1991: 124)
Pertanyaan seperti ini telah menyebabkan kualifikasi. Beberapa orang tampak untuk mengidentifikasi perubahan yang relatif permanen dalam perilaku (atau potensial untuk perubahan) sebagai akibat dari pengalaman (lihat behaviorisme di bawah). Namun, tidak semua perubahan perilaku akibat pengalaman melibatkan belajar. Akan adil untuk mengharapkan bahwa jika kita ingin mengatakan bahwa pembelajaran telah terjadi, pengalaman seharusnya sudah digunakan dalam beberapa cara. Penyejuk dapat mengakibatkan perubahan perilaku, tetapi perubahan mungkin tidak terlibat pada pengalaman menarik untuk menghasilkan pengetahuan baru. Tidak mengherankan, banyak ahli teori, dengan demikian, sudah kurang peduli dengan perilaku terbuka, tetapi dengan perubahan dalam cara-cara di mana orang-orang 'mengerti, atau pengalaman, atau konsep dunia di sekitar mereka "(Ramsden 1992: 4) (lihat cognitivism di bawah). Fokus bagi mereka, adalah memperoleh pengetahuan atau kemampuan melalui penggunaan pengalaman.
Kedalaman atau sifat dari perubahan yang terlibat kemungkinan akan berbeda. Beberapa tahun yang lalu Säljö (1979) yang dilaksanakan sederhana, tetapi sangat berguna sepotong penelitian. Dia meminta sejumlah siswa dewasa apa yang mereka pahami dengan belajar. Tanggapan mereka jatuh ke dalam lima kategori utama:
1. Belajar sebagai peningkatan pengetahuan kuantitatif. Belajar adalah memperoleh informasi atau 'tahu banyak'.
2. Belajar sebagai memorising. Belajar adalah menyimpan informasi yang dapat direproduksi.
3. Belajar sebagai memperoleh fakta, keterampilan, dan metode yang dapat dipertahankan dan digunakan sebagai perlu.
4. Belajar sebagai masuk akal atau makna abstrak. Belajar melibatkan bagian-bagian yang berkaitan materi subjek satu sama lain dan ke dunia nyata.
5. Belajar sebagai menafsirkan dan memahami realitas dengan cara yang berbeda. Belajar melibatkan memahami dunia dengan pengetahuan menafsirkan ulang. (dikutip dalam Ramsden 1992: 26)
Sebagai Paul Ramsden komentar, kita dapat melihat langsung bahwa konsep 4 dan 5 di secara kualitatif berbeda dari tiga. Konsep 1-3 menyiratkan pandangan yang kurang kompleks belajar. Belajar adalah sesuatu yang luar pelajar. Bahkan mungkin menjadi sesuatu yang baru saja terjadi atau dilakukan kepada Anda oleh guru (seperti dalam konsepsi 1). Dalam cara belajar menjadi sedikit suka belanja. Orang-orang pergi dan membeli pengetahuan - itu menjadi milik mereka. Dua konsep-konsep yang terakhir melihat ke 'internal' atau aspek pribadi belajar. Belajar adalah dilihat sebagai sesuatu yang Anda lakukan untuk memahami dunia nyata.
'mengetahui bahwa' dan 'mengetahui bagaimana'
Seorang laki-laki sedikit atau sama sekali tidak tahu ilmu kedokteran tidak mungkin seorang ahli bedah yang baik, tapi keunggulan di operasi tidak sama dengan pengetahuan ilmu kedokteran, bukan itu produk sederhana itu. Dokter bedah harus benar-benar telah belajar dari instruksi, atau dengan induksi sendiri dan pengamatan, sejumlah besar kebenaran, tetapi ia harus juga telah dipelajari dengan praktek sejumlah besar bakat. (Ryle 1949: 48-49)
Belajar bagaimana atau meningkatkan kemampuan belajar tidak seperti itu atau memperoleh informasi. Kebenaran dapat disampaikan, prosedur hanya dapat ditanamkan, dan sementara penanaman adalah proses bertahap, memberikan relatif tiba-tiba. Masuk akal untuk diajukan pada saat apa seseorang menjadi tahu tentang suatu kebenaran, tetapi tidak untuk diajukan pada saat apa seseorang memperoleh keterampilan. (Ryle 1949: 58)
Dalam beberapa hal perbedaan di sini melibatkan apa Gilbert Ryle (1949) telah disebut 'tahu bahwa' dan 'mengetahui bagaimana'. Dua kategori pertama kebanyakan melibatkan 'tahu bahwa'. Ketika kita bergerak melalui ketiga kita melihat bahwa di samping 'tahu bahwa' ada tumbuh penekanan pada 'mengetahui bagaimana'. Sistem ini kategori yang hirarkis - masing-masing konsepsi yang lebih tinggi berarti semua sisanya di bawahnya. 'Dengan kata lain, siswa yang belajar memahami sebagai realitas pemahaman juga dapat melihatnya sebagai meningkatkan pengetahuan mereka' (Ramsden 1992: 27).
Pembelajaran sebagai sebuah proses - tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau belajar formal
Dalam lima kategori yang diidentifikasi Säljö belajar kita dapat melihat muncul sebagai sebuah proses - ada perhatian dengan apa yang terjadi ketika proses belajar berlangsung. Dengan cara ini, belajar bisa dianggap sebagai "sebuah proses di mana perubahan perilaku sebagai hasil dari pengalaman '(1980 Webster Maples dan dikutip dalam Merriam dan Caffarella 1991: 124). Salah satu pertanyaan penting yang muncul adalah sejauh mana orang-orang sadar akan apa yang sedang terjadi. Apakah mereka sadar bahwa mereka terlibat dalam pembelajaran - dan apa signifikansi hubungannya ini jika mereka? Pertanyaan seperti itu telah muncul dalam berbagai samaran selama bertahun-tahun - dan telah muncul, misalnya, dalam perdebatan di sekitar yang agak membingungkan konsep 'pembelajaran informal'.
Salah satu cara membantu terutama mendekati daerah telah dirumuskan oleh Alan Rogers (2003). Menggambar terutama pada karya mereka yang mempelajari pembelajaran bahasa (misalnya, Krashen 1982), Rogers menetapkan dua pendekatan yang kontras: tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau diformalkan belajar.
Tugas-sadar atau akuisisi belajar. Akuisisi belajar dipandang sebagai terjadi sepanjang waktu. Ini adalah 'konkret, langsung dan terbatas pada kegiatan tertentu, tetapi tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum' (Rogers 2003: 18). Contohnya meliputi banyak pembelajaran yang terlibat dalam pengasuhan atau dengan menjalankan sebuah rumah. Beberapa dimaksud jenis pembelajaran ini sebagai sadar atau implisit. Rogers (2003: 21), bagaimanapun, menyarankan bahwa mungkin lebih baik untuk berbicara tentang hal itu sebagai memiliki kesadaran tugas. Dengan kata lain, sementara pelajar mungkin tidak sadar belajar, mereka biasanya menyadari tugas tertentu di tangan.
Belajar-sadar atau diformalkan belajar. Belajar formal muncul dari proses memfasilitasi belajar. Ini adalah 'edukatif belajar' daripada akumulasi pengalaman. Sejauh ini ada kesadaran belajar - orang yang sadar bahwa tugas mereka mensyaratkan terlibat dalam pembelajaran. 'Belajar itu sendiri adalah tugas. Apa tidak belajar formal adalah untuk membuat belajar lebih sadar dalam rangka untuk meningkatkan itu "(Rogers 2003: 27). Melibatkan dipandu episode pembelajaran.
Apabila didekati dengan cara ini menjadi jelas bahwa kontras ini cara pembelajaran dapat muncul dalam konteks yang sama. Keduanya hadir di sekolah. Keduanya hadir dalam keluarga. Adalah mungkin untuk memikirkan campuran diformalkan akuisisi dan pembelajaran sebagai pembentukan sebuah kontinum.
Pada satu ekstrem kebohongan yang tidak disengaja dan biasanya tidak disengaja kegiatan pembelajaran yang terjadi terus-menerus ketika kami berjalan melalui hidup. Berikutnya datang belajar insidental - sadarkan diri belajar melalui metode akuisisi yang terjadi dalam perjalanan kegiatan lain ... Kemudian ada berbagai kegiatan di mana kita agak lebih lebih sadar belajar, kegiatan pengalaman langsung yang timbul dari keprihatinan yang berhubungan dengan kehidupan, bahkan meskipun di sini masih fokus pada tugas ... Kemudian datang lebih bermakna kegiatan - kesempatan di mana kami berangkat untuk belajar sesuatu dalam cara yang lebih sistematis, menggunakan apa pun yang datang kepada tangan untuk tujuan itu, tetapi sering sengaja mengabaikan keterlibatan dengan guru dan lembaga-lembaga pendidikan formal ... Lebih lanjut sepanjang kontinum terletak pembelajaran swa-pengarahan proyek-proyek yang ada begitu banyak literatur ... Lebih formal dan umum (dan akibatnya kurang dikontekstualisasikan) bentuk pembelajaran jarak dan program pendidikan terbuka, di mana beberapa unsur-unsur pembelajaran akuisisi sering dibangun dalam program pembelajaran yang dirancang. Menjelang ekstrim lebih lanjut kebohongan lebih formal program-program pembelajaran yang sangat decontextualized belajar, menggunakan material umum bagi semua peserta didik tanpa membayar apapun mengenai preferensi masing-masing, agenda atau kebutuhan. Ada tentu saja tidak ada batas yang jelas antara masing-masing kategori ini. (Rogers 2003: 41-2)
Perbedaan ini bergema dengan cara yang berbeda dalam tulisan-tulisan banyak dari mereka yang peduli dengan pendidikan - tetapi secara khusus dalam teori kunci seperti Kurt Lewin, Chris Argyris, Donald Schön, atau Michael Polanyi.
Pembelajaran sebagai sebuah proses - teori belajar
Fokus pada proses jelas membawa kita ke dalam wilayah teori pembelajaran - ide-ide tentang bagaimana atau mengapa perubahan terjadi. Pada halaman ini kita fokus pada empat orientasi yang berbeda (yang pertama tiga diambil dari Merriam dan Caffarella 1991).
para behavioris orientasi untuk belajar
kognitif orientasi untuk belajar
orientasi humanistik untuk belajar
sosial / situasional orientasi untuk belajar
Seperti halnya kategorisasi semacam ini divisi agak sewenang-wenang: ada yang bisa lebih jauh tambahan dan sub-divisi untuk skema, dan ada berbagai cara di mana orientasi tumpang tindih dan saling memanfaatkan.
Keempat orientasi dapat diringkas dalam gambar berikut:
Empat orientasi belajar (setelah Merriam dan Caffarella 1991: 138)
Aspek
Behaviourist
Cognitivist
Humanis
Sosial dan situasional
Teori belajar Thorndike, Pavlov, Watson, Guthrie, Hull, Tolman, Skinner Koffka, Kohler, Lewin, Piaget, Ausubel, Bruner, Gagne
Maslow, Rogers Bandura, Love dan Wenger, Salomon
Melihat dari proses belajar Internal Perubahan perilaku proses mental (termasuk wawasan, informasi pemrosesan, memori, persepsi
Tindakan pribadi untuk memenuhi potensi. Interaksi / pengamatan dalam konteks sosial. Gerakan dari pinggiran ke pusat komunitas praktek
Locus rangsangan belajar dalam lingkungan eksternal internal strukturisasi kognitif afektif dan kognitif kebutuhan Belajar adalah dalam hubungan antara manusia dan lingkungan.
Tujuan pendidikan Menghasilkan perubahan perilaku dalam arah yang dikehendaki
Mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk belajar lebih baik Menjadi diri yang teraktualisasikan, otonom Kendali partisipasi dalam praktek masyarakat dan pemanfaatan sumber daya
Mengatur Peran pendidik lingkungan untuk memperoleh jawaban yang diinginkan
Struktur isi dari kegiatan belajar Memfasilitasi pembangunan seluruh orang Bekerja untuk membangun praktek masyarakat di mana percakapan dan partisipasi dapat terjadi.
Perwujudannya dalam pembelajaran orang dewasa tujuan Behavioural
Pendidikan berbasis kompetensi
Pengembangan keterampilan dan pelatihan
Perkembangan kognitif
Kecerdasan, pembelajaran dan memori sebagai fungsi dari umur
Belajar bagaimana belajar
Andragogi
Self-directed learning
Sosialisasi
Partisipasi sosial
Asosiasionalisme
Percakapan
Seperti dapat dilihat dari skema di atas presentasi dan diskusi pada halaman-halaman terkait, pendekatan-pendekatan ini melibatkan ide-ide yang kontras dengan tujuan dan proses pembelajaran dan pendidikan - dan peran pendidik yang mungkin memakan waktu. Hal ini juga penting untuk mengenali bahwa teori-teori mungkin berlaku untuk sektor-sektor yang berbeda-formal acquision kontinum pembelajaran diuraikan di atas. Sebagai contoh, karya Love dan Wenger secara luas akuisisi suatu bentuk pembelajaran yang dapat melibatkan beberapa selingan yang lebih formal.
Bacaan lebih lanjut
Untuk listing ini saya telah mencoba untuk menyatukan pilihan buku yang melihat ke tema utama yang timbul dalam sastra sekitar pembelajaran (dan pendidikan). Bagi mereka yang akrab dengan Tennant (1997) (yang merupakan satu set teks pada Tentu saja aku mengajar!), Para penulis dapat dikelompokkan sebagai berikut:
* Orientasi humanistik - di sini aku dipilih Maslow dan Rogers.
* Psikoanalitis pendekatan - Salzberger-Wittenberg et al memberikan pengenalan yang bermanfaat.
* Orientasi kognitif - dengan Piaget, Gagné dan Bruner
* Gaya belajar - Witkin di lapangan ketergantungan dan kemandirian; dan Kolb pada pengalaman pembelajaran.
* Behaviorisme - diwakili di sini oleh Skinner.
* Membangun komunitas pembelajaran - Dewey pada kelompok penyelidikan; Love dan Wenger di terletak belajar.
* Kesadaran kritis - transformatif Mezirow pada dimensi pembelajaran; Freire pada 'penyadaran'.
Tinjauan umum dapat ditemukan di Tennant (1997), dan Joyce et al (1997).
Overviews
Hartley, J. (1998) Belajar dan Belajar. Sebuah penelitian perspektif, London: Routledge. Xii + 178 halaman. Ditulis dengan baik dan menghibur pengenalan untuk belajar dan pembelajaran di pendidikan tinggi. Fokusnya adalah pada praktek sangat banyak.
Hergenhahn, BR dan Olson, MH (1997) An Introduction to Theories of Learning 5e, Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall. 502 + x halaman. Bagus, teks psikologi standar pada subjek yang mengambil pendekatan melalui 'pemikir'. Bagian pertama berisi tiga bab pendek memeriksa sifat pembelajaran, pendekatan yang berbeda untuk belajar dan gagasan awal belajar. Bagian kedua melihat pada teori-teori fungsionalis didominasi Thorndike, Skinner dan Hull. Bagian tiga beralih ke 'associationalist' teoretisi: Pavlov, Guthrie dan Estes; dan bagian empat kognitif terlihat pada sebagian besar teoretisi: Gestalt, Piaget, Tolman, Bandura, Norman. Bagian lima membahas neurofisiologis Hebb sebagai ahli teori. Sebuah bagian penutup membahas implikasi bagi pendidik.
Illeris, K. (2002) The Three Dimensions of Learning. Teori belajar kontemporer di lapangan ketegangan antara kognitif, emosional dan sosial, Frederiksberg: Roskilde University Press. Menarik, tapi kadang-kadang bisa diperdebatkan eksplorasi.
Joyce, B., Calhoun, E. dan Hopkins, D. (1997) Model of Learning - alat untuk mengajar, Buckingham: Open University Press. 205 + viii halaman. Agak aneh, tapi sangat berguna garis besar model-model yang berbeda dalam belajar penulis mengisolasi empat 'keluarga' mengajar berdasarkan jenis pembelajaran mereka mempromosikan: informasi pengolahan; sosial / membangun komunitas pembelajaran; pribadi; dan perilaku. Mereka mempunyai cabang di belajar: untuk berpikir secara induktif, untuk mengeksplorasi konsep, berpikir metaforis; mnemonically, melalui disiplin koperasi penyelidikan, untuk mempelajari nilai-nilai, melalui konseling dan melalui simulasi. Penutup bab exami mengintegrasikan model, dan mengajar dan belajar bersama.
Merriam, S. dan Caffarella (1991, 1998) Belajar di usia dewasa. Panduan yang komprehensif, San Francisco: Jossey-Bass. Halaman 528. Sekarang cukup banyak teks standar, Merriam dan Caffarella memberikan gambaran yang baik dari teori belajar. Dalam edisi baru, bagian kedua berkaitan dengan pengembangan dan pembelajaran orang dewasa, dan bagian tiga dengan proses belajar.
Murphy, P. (ed.) (1999) Peserta didik, Belajar dan Penilaian, London: Paul Chapman. 352 + xiii halaman. Salah satu dari empat pembaca untuk Universitas Terbuka saja MA dalam Pendidikan Belajar, Kurikulum dan Penilaian. Buku ini memiliki koleksi yang berguna pada pandangan potongan pikiran; implikasi kurikulum dan proses pembelajaran dan penilaian. Lihat, juga, Leach, J. dan Bulan, B. (eds.) (1999) Pelajar dan Pedagogi, London: Paul Chapman. 280 + viii halaman, dan McCormick, R. dan Paetcher, C. (eds.) (1999) Belajar dan Pengetahuan, London: Paul Chapman. Xiv + 254 halaman.
Ramsden, P. (1992) Belajar Mengajar di Pendidikan Tinggi, London: Routledge. Xiv + 290 halaman. Ramsden's teks dapat menguntungkan dibaca oleh orang-mengajar di arena lain. Ini menyediakan pengenalan yang terfokus untuk belajar dan implikasi untuk rancangan program dan pertemuan di kelas.
Rogers, A. (2003) Apa Perbedaan? Kritik baru dewasa belajar dan mengajar, Leicester: NIACE. Halaman 85. Pendek dan sangat membantu eksplorasi mengenai hakikat belajar (dengan perhatian khusus untuk saat ini perdebatan sekitar pembelajaran informal) dan sejauh mana orang dewasa belajar dan mengajar orang dewasa adalah sama atau berbeda dari orang muda.
Tennant, M. (1988, 1997) Psikologi dan Dewasa Learning, London: Routledge. Xii + 182 halaman. Baik diskusi tentang relevansi teori psikologi pendidikan orang dewasa. Termasuk material di psikologi humanistik dan self-directed learner; pendekatan psikoanalitik; pembangunan dewasa; psikologi perkembangan kognitif; gaya belajar; behaviorisme; dinamika kelompok; kesadaran kritis. Edisi baru termasuk membantu materi pembelajaran terletak ditambah pembaruan pada sastra
Tennant, M. dan Pogson, P. (1995) Belajar dan Perubahan di Tahun Dewasa. Sebuah perspektif perkembangan, San Francisco: Jossey-Bass. 218 + xvii halaman. Meneliti hubungan antara pembangunan dan pembelajaran di masa dewasa; intelektual dan perkembangan kognitif; praktis kecerdasan dan keahlian; teori kehidupan saja; otonomi dan self-arah; pengalaman dan hubungan guru-peserta didik. Menyediakan serangkaian membantu wawasan yang diambil dari tradisi psikologi perkembangan.
Key teks
Bruner, J. (1960, 1977) Proses Pendidikan, Cambridge Ma.: Harvard University Press. 97 + xxvi halaman. Berpendapat untuk 'kurikulum spiral' dengan diskusi tentang pentingnya struktur; kesiapan untuk belajar; intuitif dan analitis berpikir; motif untuk belajar; dan alat bantu mengajar.
Dewey, J. (1933) Bagaimana Kita Pikirkan 2e, New York: DC Heath. Klasik dan sangat berpengaruh diskusi reflektif penyelidikan, Dewey yang terkenal dengan lima unsur: saran, masalah, hipotesis, penalaran, pengujian. Untuk diskusi yang berfokus pada komunitas belajar melihat, J. Dewey (1915) Sekolah dan Masyarakat, 2e., Chicago: University of Chicago Press.
Pengenalan pekerjaan aktif, alam belajar, ilmu dasar, seni, sejarah; yang degradasi dari sekadar simbolik dan formal ke posisi sekunder; perubahan suasana sekolah moral, dalam hubungan antara murid dan guru -- disiplin; pengenalan lebih aktif, ekspresif, dan faktor mengarahkan diri - semua ini bukan sekadar kecelakaan, mereka adalah kebutuhan dari evolusi sosial yang lebih luas. Sekarang tinggal, melainkan untuk mengatur semua faktor ini, untuk menghargai mereka dalam kepenuhan makna, dan untuk meletakkan ide-ide dan cita-cita yang terlibat menjadi lengkap, tanpa kompromi memiliki sistem sekolah kami. Untuk melakukan hal ini berarti membuat masing-masing sekolah kami embrio kehidupan masyarakat, aktif dengan jenis-jenis pekerjaan yang mencerminkan kehidupan masyarakat yang lebih luas dan menyebar di seluruh dengan semangat seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Ketika memperkenalkan sekolah dan kereta api masing-masing anak masyarakat ke dalam keanggotaan dalam komunitas kecil seperti ini, saturating dia dengan semangat pelayanan, dan memberinya dengan instrumen yang efektif arah diri sendiri, kita akan memiliki jaminan terdalam dan terbaik dari masyarakat yang lebih besar yang layak, indah, dan harmonis.
John Dewey (1915) Sekolah dan Masyarakat, 2e., Chicago: University of Chicago Press, halaman 28-9.
Freire, P. (1972) Pedagogy of the Oppressed, Harmondsworth: Penguin. Klasik tentang posisi Freire. Lihat, juga, P. Freire dan A. Faundez (1989) Belajar ke pertanyaan. Sebuah pedagogi pembebasan, Geneva: World Council of Churches. Memberikan penjelasan tentang masalah belajar melalui berpose.
Gagné, RM (1985) The Conditions of Learning 4e, New York: Holt, Rinehart and Winston. 308 + viii halaman. Penelitian penting, pertama kali diterbitkan pada tahun 1965, bahwa "upaya untuk mempertimbangkan set keadaan yang diperoleh ketika belajar terjadi, yaitu ketika diamati tertentu perubahan dalam perilaku manusia berlangsung membenarkan kesimpulan bahwa belajar '(hal. 5). Pada dasarnya sebuah pendekatan sistem dengan varietas bab mengenai pembelajaran (8 jenis); bentuk dasar pembelajaran (sinyal, respon stimulus); chaining: motor dan verbal; konsep pembelajaran pemecahan masalah; pembelajaran struktur, motivasi dan kontrol belajar; belajar keputusan .
Jarvis, P. (1987) Dewasa Belajar dalam Konteks Sosial, London: Routledge. 220 halaman. Penting upaya untuk tanah berpikir tentang belajar orang dewasa dalam perspektif sosiologis. Selain bermanfaat berpikir sekitar refleksi dan pengalaman belajar.
Kolb, DA (1984) Experiential Learning, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall. 256 halaman. Belajar didekati sebagai suatu proses menuju produksi pengetahuan. Substansial diskusi tentang ide-ide yang mendasari Kolb model terkenal.
Lave, J. dan Wenger, E. (1991) Terletak Learning. Perifer sah partisipasi, Cambridge: Cambridge University Press. 138 halaman. Eksplorasi yang signifikan pembelajaran sebagai masyarakat partisipasi dalam praktek. Partisipasi bergerak dari pinggiran ke 'pusat'. Belajar adalah, dengan demikian, tidak dipandang sebagai perolehan pengetahuan dengan begitu banyak individu-individu sebagai proses partisipasi sosial. Sifat dari situasi dampak signifikan pada proses. Bab-bab tentang partisipasi perifer sah; praktek, orang, dunia sosial; komunitas spesifik praktek.
Maslow, A. (1968) Towards a Psychology of Being 2e, New York: Van Nostrand. Di mana ia mengemukakan pentingnya aktualisasi diri. Nya 'teori motivasi' bergerak dari rendah ke tingkat tinggi kebutuhan (fisiologis, keselamatan, cinta dan kepemilikan, harga diri, aktualisasi diri). Lihat, juga, A. Maslow (1970) Motivation and Personality 2e, New York: Harper and Row. untuk diskusi lengkap dari model.
Mezirow, J. (1991) Transformative Dimensions of Learning, San Francisco: Jossey-Bass. 247 + xix halaman. Eksplorasi dari beberapa proses dengan mana orang dapat membebaskan diri dari 'menindas ideologi, kebiasaan persepsi, dan gangguan psikologis'. Menarik pada psiko-analitis, behaviouristic dan teori humanistik.
Newman, F. dan Holzman, L. (1997) The End of Mengetahui. Sebuah perkembangan baru cara belajar, London: Routledge. 185 + viii halaman. Memandang belajar sebagai aktivitas dilakukan.
Piaget, J. (1926) The Child's Conception of the World, London: Routledge dan Kegan Paul. Sulit untuk mengetahui mana dari Piaget's 50 atau lebih buku untuk memilih di sini - tapi ini dan The Origin of Intelligence in Children klasik titik awal. HE Gruber dan JJ Voneche (1977) The Essential Piaget: sebuah interpretasi referensi dan panduan, London adalah koleksi baik. Lihat, juga, MA Boden's (1979) Piaget, London: Fontana untuk pengenalan ringkas.
Retallick, J., Cocklin, B. dan Coombe, K. (1998) Belajar Masyarakat di Pendidikan, London: Cassell. Halaman 248. Menggali teori dan praktek masyarakat belajar dari perspektif internasional. Meliputi primer / dasar, menengah dan tingkat tersier dalam berbagai konteks pendidikan, peneliti terkemuka membahas: isu-isu teoretis dan perdebatan; proses dan strategi untuk menciptakan masyarakat belajar dan pembelajaran dalam tindakan masyarakat.
Rogers, A. (2003) Apa bedanya? kritik baru dewasa belajar dan mengajar, Leicester: NIACE. Sangat membantu, diskusi pendek yang membedakan antara tugas-sadar atau akuisisi belajar dan belajar-sadar atau belajar formal
Rogers, C. dan Freiberg, HJ (1993) Kebebasan untuk Belajar (3rd edn.), New York: Merrill. Pengerjaan ulang dari Carl Rogers teks klasik pertama kali diterbitkan pada tahun 1969. Melihat bagaimana pembelajaran yang berpusat pada seseorang dapat digunakan di sekolah dan situasi lain dan sifat fasilitasi. Lihat, juga, H. Kirschenbaum dan VL Henderson (ed.) (1990) The Carl Rogers Reader, London: Constable. 526 + xvi halaman.
Salomon, G. (ed.). Didistribusikan Cognitions, Cambridge: Cambridge University Press. Path-melanggar koleksi potongan-potongan yang mengeksplorasi sejauh mana pembelajaran terletak pada sumber daya untuk mana orang-orang memiliki akses.
Salzberger-Wittenberg, I., Henry, G. dan Osborne, E. (1983) The Emotional Pengalaman Belajar dan Mengajar, London: Routledge dan Kegan Paul. Xii + 155 halaman. Sementara sebagian besar berfokus pada interaksi orang dewasa-anak, buku ini menunjukkan kekuatan psikoanalitis wawasan tentang berbagai hubungan pembelajaran.
Skinner, BF (1973) Beyond Kebebasan dan Martabat, London: Penguin. Mungkin yang paling mudah masuk ke Skinner kerja dan memberikan rekening klasik dari semua visi merangkul behaviorisme.
Wenger, E. (1999) Communities of Practice. Belajar, makna dan identitas, Cambridge: Cambridge University Press. 318 + xv halaman. Eksplorasi substansial terletak komunitas pembelajaran dan praktek.
Witkin, H. dan Goodenough, D. (1981) Cognitive Styles, Essence dan Origin: Lapangan ketergantungan dan lapangan kemerdekaan, New York: International Universities Press. Rekening Witkin sangat berpengaruh eksplorasi dampak pada persepsi konteks penilaian.
Referensi lain
Krashen, SD (1982) Prinsip-Prinsip dan Praktek di Second Language Acquisition, Oxford: Pergamon.
Säljö, R. (1979) 'Belajar dalam perspektif pelajar. I. Beberapa konsep-konsep akal sehat ', Laporan dari Lembaga Pendidikan, Universitas Gothenburg, 76.
Link
Eksplorasi di Belajar & Instruksi: Teori dalam Praktik Database - TIP adalah alat yang dimaksudkan untuk membuat belajar dan teori instruksional lebih mudah diakses oleh pendidik. Database berisi ringkasan singkat dari 50 besar teori-teori pembelajaran dan pengajaran. Teori-teori ini juga dapat diakses dengan domain dan konsep pembelajaran.
Gambar - Gambar dari Carl Rogers diyakini berada dalam domain publik melalui Wikipedia Commons [http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carl_Ransom_Rogers.jpg]
Bagaimana mengutip artikel ini: Smith, MK (1999) 'Belajar teori', yang bebas dari pendidikan informal, www.infed.org / Biblio / b-learn.htm, Last update: September 03, 2009
Sabtu, 20 Maret 2010
Hukum Mempelajari Tasawuf
Manusia, seperti disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh/panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting.
Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).
Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf memiliki makna sikap menal yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut.
Selama ini, ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.
Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.” Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain.
Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain.
Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad).
Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern.
Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah. Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah).
Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.
Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia.
Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik.
Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk 67:23).
Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf memiliki makna sikap menal yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut.
Selama ini, ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt.
Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan.
Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya.” Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in inibisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain.
Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain.
Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad).
Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern.
Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah. Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah).
Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Wallahu a’lam.
Poligami Itu Berbasis Nir-Nilai Kejujuran
Bukti lain berkaitan bahwa para Urafa’ pun masih tetap menjadikan hukum fikih sebagai landasannya, hatta buat mereka yang telah sampai pada derajat Hakekat sekalipun. Imam Khumaini dalam kitab “Sirrus-Shalat au mi’rajus-Salikin” (Rahasia Shalat atau Mi’raj-nya kaum pesalik) telah menjelaskan bahwa “Semua bentuk ibadah harus sesuai dengan undang-undang hukum syariat (fikih). hatta ibadah para Arif yang telah sampai pada tujuan (washil). Secara bentuk dan cara sebelum dan sesudah sampai (ke Allah) maka tetap sama, harus seuai dengan hukum fikih. Argumennya adalah karena Muhammad saww adalah Nabi terakhir, maka tiada penyingkapan (kasyf) yang paling sempurna melainkan kasyf beliau….Atas dasar itu, tiada hukum syariatpun yang dapat merubahnya….Bentuk zahir Shalat, Haji, Puasa terbentuk bukan secara tiba-tiba dan kebetulan, apalagi tanpa dasar. Walaupun hal-hal itu memiliki bentuk zahir, namun memiliki kesan batin yang amat dalam…Secara umum, tiada penyingkapan (kasyf) yang lebih sempurna (atam) dari penyingkapan Rasul terakhir. Dan tiada suluk yang lebih benar (ashoh wa ash’wab) dari apa yang diajarkannya. Maka, susunan (penemuan) tak berarti yang dihasilkan dari otak-otak tanpa ilmu (bodoh) yang mengaku sebagai mursyid dan (ahli) Irfan harus disirnakan”. Itu perkataan imam Khumaini ra, salah seorang Arif besar di zamannya. Beliau dalam kitab tersebut jelas menggunakan “fikih” sebagai landasannya. Fikih yang mana? Mari kita hubungkan dengan pembahasan terdahulu yang pernah saya postingkan.
Masih kurang bukti?
Anda pasti kenal dengan orang yang bernama Ibnu Arabi bukan? Ini saya nukilkan sedikit dari ungkapan beliau dalam kitab Futuhaatul-Makkiyah (masalah jilid, halaman dan cetakannya saya siap menunjukkan, jika benar diperlukan). Dalam kitab tersebut dia mengatakan: “Setiap hukum dan kejadian yang terjadi di alam Hakekat tanpa ada penguat (ta’yiid) hukum syariat, maka dihukumi ilegal”. Ungkapan inipun bisa anda temukan dalam kitab beliau lain yang berjudul Rasa’il Ibnu Arabi dalam Risalah laa yu’awwalu ‘alaihi (Risalah; Yang tidak dapat dita’wil). Sehingga dari situ dalam jilid yang lain dari kitab Futuhaatul-Makiyah disebutkan: “Dasar utama melaksanakan syariat adalah harus sesuai dengan apa yang telah ditentukan (tauqifiyyah), dimana dilarang untuk menambahi maupun mengurangi”. Saya kira dua orang (Imam Khumaini dan Ibnu Arabi) itu cukup untuk mewakili para Urafa’ yang pernah kita dengar…
Sekarang pertanyaan yang bisa dilontarkan adalah; Jika hukum tersebut belum ada pada zaman dahulu sehingga tercantum dalam ayat dan hadis secara jelas, lantas apa yang harus kita lakukan? Diam dan bersifat seperti orang agnostisisme yang berarti meliburkan akal dan intelektual manusia (Ta’thiilul-‘Aql) yang secara rasional dan tekstual Islam dihukumi buruk. Padahal agama Islam melarang segala macam bentuk keburukan semacam itu. Tidak ada jalan lain melainkan; “Berijtihad”. Lantas muncul pertanyaan; Bukankah ijtihad hasil karya manusia yang bersifat manusiawi dan bukan Ilahi? Taruhlah Ijtihad diperbolehkan walau bersifat manusiawi, jika kita belum sampai derajat mujtahid sehingga mempunyai otoritas untuk berijtihad bagaimana? Bertaqlid. Apakah legalitas taklid (mengikuti seseorang tanpa meminta dalil)? Ujung-ujungnya seperti apa yang dikatakan oleh Ayatullah Jawadi Amuli seorang filsuf, fakih dan pakar tafsir kontemporer dan beberapa ayatollah yang Arif lainnya tentang pentingnya kembali kepada hukum fikih dalam ber-sair wa suluk, apalagi bagi kita-kita yang awam dimana akhlak Islami saja masih sangat belepotan…Jadi jangan sekali-kali kita-kita ini –dan juga mereka-mereka yang sudah “merasa tahu” (bukan merasa mengamalkan) apa itu Irfan dan Tasawuf- berkhayal-ria untuk mendahulukan Akhlak di atas Fikih dengan berbagai alasan, termasuk alasan Fikih sebagai sarana penyempurna Akhlak. Taruhlah hal itu dapat dibenarkan -walaupun saya pribadi dengan argument yang ada sama sekali tidak dapat meyakini kebenarannya- maka jika kita konsis dan komit dengan Fikih sebagai penyempurna Akhlak, dikarenakan Akhlak kita masih sangat belepotan, maka seharusnya marilah kita memakai Fikih -tentunya juga tetap memakai dan tidak meninggalkan akhlak (bukan adab). Tetapi, bukan berarti mendahulukan Fikih di atas akhlak, akan tetapi menyejajarkannya, kalau boleh pinjam perkataan mas Jhovo dulu- agar Akhlak kita menjadi sempurna. Bukankah fikih sekedar sarana untuk kesempurnaan akhlak, sebagaimana yang didakwahkan oleh beberapa orang itu? Mana konsistensi orang-orang itu terhadap segala omongannya…Jika mereka tidak konsisten, lantas bagaimana mungkin mereka mengajarkan sesuatu yang tidak dikonsisteni dan tidak diamalkannya? Mana Tasawuf dan mana Irfan yang konon diajarkannya? Mana akhlak yang universal yang konon sebagai syiarnya? Bukankah ada satu ayat yang berbunyi: Kabura maqtan ‘indallahi taquluuna maa laa taf’aluun (Murka Allah akan tertuju kepada kalian yang berbicara namun tidak mengamalkannya). Hal ini semua (konsis terhadap apa yang diomongkan) adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi, sebagai manusia berakal dan beragama, karena akal dan agama yang memerintahkannya. Kecuali jikalau kita semua ini mau menjadi kaum Hedonis yang berkedok agamis, dengan istilah sederhananya; menjual agama untuk kepentingan pribadi. Sekali lagi, jangan kita berkhayal telah masuk Irfan yang sair wa suluk sebagai esensinya. Kita masih belum berakhlak, lantas bagaimana mungkin akan masuk kawasan sair wa suluk irfani, hatta bagi yang pemula sekalipun? Jika itu yang terjadi, maka jangankan masuk pintu gerbang sair wa suluk, melihat bentuk gerbangnya saja belum sehingga hendak berkhayal masuk ke sana pun kesulitan, apalagi mengintip dari gerbang hakiki Irfan tersebut. Untuk sementara waktu, jauhkanlah khayalan ber-sair wa suluk dan ber-irfan ria selama kita masih belum dapat menunaikan pelajaran akhlak sesuai ajaran ahli zahir pada tingkatan syariat yang masuk kategori awam jika dibanding dengan tingkatan tharekat dan hakekat. Namun, jika ada yang menghendaki untuk “sekedar diskusi”, maka saya yakin, teman-teman member ISLAT banyak yang mampu untuk “sekedar memberi informasi yang hanya sekedar informasi”.
Sekarang pertanyaan ini khusus tertuju kepada mas Sumantho; Apakah semua ini bukti kedengkian sebagian orang terhadap bapak Jaluddin Rahmat beserta murid-muridnya (yang mereka semua adalah saudara kita seiman dan seakidah), ataukah kenyataan yang harus segera diungkap? Siapapun –termasuk saya, anda, dia, kita anggota member dan mereka yang di sana- tidak akan lepas dari kritik jika dianggap “tidak benar”. Inilah seruan fitrah suci manusia pencari kesempurnaan, dan ajaran akal sehat manusia sebagai salah satu sarana universal penyaring kebenaran selain sarana tertinggi yaitu Agama Muhammad yang Agung. Ini semua sebagai bukti bahwa dengan fitrah, akal dan agama manusia akan selalu mencari dan mencari hakekat kebenaran. Dan kebenaran itu tidak akan secara murni didapat melainkan dari sumbernya. Dengan kedatangan Messiah Agung dari keluarga Muhammad, kebenaran hakiki akan nampak semakin jelas dan terwujud secara nyata…Allahumma ‘ajjil lidhuhuuril Hujjah min Aali Bayti Nabiyik
Sekarang tugas kita masing-masing adalah menilai sendiri kebenaran dengan kapasitas kejernihan akal dan kebersihan hati yang kita miliki masing-masing, sehingga mampu menghantarkan cara menghukumi yang obyektif sesuai dengan ajaran akal dan agama yang kita miliki!? Ingat pesan imam Ali al-Haidar as murid utama Rasulullah saww yang agung, beliau mewasiatkan kepada segenap umat manusia sebagai hamba Tuhan, terkhusus kepada para Syiah-nya: “Kebenaran tidak akan dikenal melalui seorang figure, namun kenalilah kebenaran, niscaya kalian mengetahui dimana kebenaran itu berada”. Mari kita pegang teguh wasiat imam Ali as ini, walaupun konsekuensinya teramat berat, termasuk dituduh dengki (hasud) terhadap saudara sendiri oleh saudara sendiri. Namun kita harus optimis, bukankah Allah berfirman: Faqul i’maluu fasayarallu ‘amalakum walladziina aamanuu [Maka katakan (wahai Muhammad): bekerjalah kalian maka Allah dan orang-orang beriman akan menyaksikan pekerjaan kalian]. Bentuk konkrit dari “Manusia Beriman” dari ayat tersebut adalah empat manusia suci dari keluarga Muhammad as.
Menimbang kebenaran konsep “Dahulukan akhlak di atas fikih” dari kaca mata Irfan dan Tasawuf Islami. Sebelumnya dan seharusnya, kita terlebih dahulu harus mendefinisikan apa itu akhlak dan apa itu fikih, sehingga sewaktu terdapat persamaan persepsi dalam pendefinisian akan mempermudah kita dalam mencari titik temu, sekaligus menyulitkan pihak-pihak tertentu dalam melakukan aksi pencampuradukan (fallacy) fakta dengan lari ke sana dan kemari dalam beristilah. Memang, mendefinsikan itu tidak semudah membalik tangan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi –sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu logika- sehingga istilah “mencakup” (jami’) (semua ekstensi riil) dan “menahan” (mani’) (semua ekstensi konsep lain) akan trpenuhi. Dengan begitu, definisi yang ilmiah untuk diskusi ilmiah pun akan terwujud. Cuman terkadang, ada oknum-oknum yang sengaja ingin menyamarkan sebuah definisi obyek pembahasan. Entah karena ketidakmampuannya dalam mendefinisikan, atau sengaja untuk mengaburkan permasalahan. Itu saja sebagai mukadimah postingan saya kali ini.
Setelah memperhatikan penjelasan mas Samantho, saya jadinya lebih tertarik fenomena akhlak-fikih ini dari sisi Irfan dan Tasawuf, bukan dari tinjauan fikih itu sendiri. Selain bang Saleh telah meninjaunya dari sisi kaca mata fikih itu sendiri, lagian, di Indonesia sekarang ini orang lagi “demam tasawuf”. Saking membludaknya kajian tasawuf, sampai-sampai lupa apa beda antara tasawuf (baca: Irfan) dan apa itu akhlak. Saya teringat buku karya Ayatullah syahid Muthahhari menyebutkan tentang empat atau lima perbedaan antara ilmu Akhlak dan Tasawuf (Irfan). (Maaf, saya selalu menyebut Irfan dalam sebutan tasawuf, karena dalam “budaya Syiah” kita kurang akrab dengan istilah tasawuf dan sufi, karena banyak hal). Atas dasar itu, harus dibedakan antara kajian tasawuf (Irfan) dengan kajian akhlak. Ini nanti akan kita jadikan patokan pembahasan kita berkaitan dengan mengkritisi pandangan mas Samantho yang mengatakan bahwa fikih sebagai sarana untuk kesempurnaan akhlak dengan mengadopsi pandangan ulama tasawuf (Irfan) tentang relasi Syariat, Tharekat dan Hakekat.
Secara ringkas bisa saya jelaskan (detailnya bisa didiskusikan nantinya), bahwa akhlak bersifat pasif sedang Irfan bersifat pro-aktif. Ini mengutip pandangan Ayatullah Muthahhari dalam menyebut salah satu perbedaan ilmu akhlak dengan ilomu Irfan. Apa maksudnya? Dalam akhlak, kita hanya diajarkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat merobah tabiat kita yang buruk (hewani) menjadi baik (manusiawi). Dan menjauhi hal-hal yang menjadi penghalang untuk memiliki sifat-sifat baik manusiawi. Dengan penjelasan yang lebih mudah, akhlak hanya mengajarkan kita untuk melakukan hal-hal wajib dan menghindari hal-hal haram, walaupun boleh melakukan yang hal yang makruh apalagi mubah. Wajib dan haram di sini adalah berkaitan dengan hukum fikih yang nanti penjelasannya akan disinggung. Sedang Irfan tidak semacam itu. Irfan mengajarkan apa yang disebut sair wa suluk (pejalanan pendakian menuju Allah). Tentu, sebelum ia memasuki gerbang Irfan (sair wa suluk), terlebih dahulu harus menyelesaikan secara baik ujian teori dan praktiknya dalam berakhlak. Dalam tingkatan pertama sair wa suluk, seorang pemula diperintahkan oleh seorang mursyid untuk meninggalkan semua hal-hal makruh (dalam hukum fikih) yang tentunya ia telah berhasil menjadikan dirinya malakah (terbiasa sehingga seakan telah menyatu) dalam meninggalkan haram dan melakukan wajib yang dibahas dalam akhlak. Bukan hanya meninggalkan hal-hal makruh, ia pun diperintah untuk melaksanakan hal-hal yang sunah (mustahab). Tentu, semua pelaksanaan ini dilakukan oleh seorang pelaku sair wa suluk secara bertahap dengan bimbingan seorang mursyid yang telah ‘sampai’ (al-mursyid al-washil). Bimbingan itu terangkum dalam apa yang disebut dengan dasturul-‘amal (mirip kitab fatwa kalau kita contohkan dalam kajian fikih). Dan dastur-amal yang dikeluarkan oleh seorang mursyid yang manusia sempurna dan menyempurnakan (kaamil al-mukammil) –insan kamil pun memiliki gradasi- yang mengetahui dengan jelas ‘ilmu jiwa’ selain disiplin ilmu yang lain; teology, filsafat (sebagai mukadimah Irfan), Irfan teoritis (mukadimah Irfan Praktis), fikih (untuk mengetahui hukum halal(mubah)-haram-makruh-wajib-sunah (mustahab) dsb. Oleh karena itu, dalam budaya Syiah seorang Arif sejati adalah selain dia seorang teolog, filsuf, pakar irfan nazari (teoritis) dan fakih. Ini syarat minimnya, syarat lazim bukan syarat sempurna. Kenapa harus demikian? Melalui diskusi, nanti akan kita bahas lagi secara detail, insyaAllah. Setelah seorang pesalik pemula sudah malakah dalam melakukan sunah dan meninggalkan makruh, maka sang musyid akan memulai untuk mengajarkannya tarkul-mubaahaat (meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan (mubah)). Saya sengaja gak memberi contoh-contoh dalam kasus ini, karena; pertama, saya malu dengan diri saya sendiri. Kedua, saya melihat, belum ada bentuk luarannya di negeri Indonesia, siapapun individunya, hatta ustadz-ustadz kita –dengan tidak mengurangi hormat saya kepada mereka- yang terkenal guru Irfan dan tasawuf sekalipun. Itu contoh konkrit dari ilmu dan amal yang disesuaikan dengan konsep Syariat, Tarekat dan Hakekat. Jadi, yang dimaksud dengan syariat adalah pelaku akhlak + pelaku hukum fikih dalam melakukan kewajiban dan meninggalkan haram. Sedang tarekat adalah pelaku Irfan (tasawuf) pemula + hukum fikih dalam melaksanakan mustahab (sunah) dan meninggalkan makruh. Sedang hakekat adalah pelaku Irfan (pesalik) + pelaku hukum fikih yang hanya berkaitan dengan meninggalkan mubah saja. Lantasapa hukum perbuatannya? Disini akhirnya muncul pembahasan raf’ut-taklif (hilangnya ‘kesengsaraan’) dalam Irfan yang sering diartikan salah oleh para manusia sok sufi dan sok Arif dengan meninggalkan hukum-hukum fikih zahir. Bagaimana hakekatnya? Nanti dapat kita diskusikan lebih lanjut. Sabar itu katanya kekasih Tuhan!?
Di atas tadi adalah bukti konkrit dari tingkatan ilmu dan amal manusia dalam menuju Allah yang terangkum dalam gradasi Syariat, tharekat dan hakakat. Dan itu pun mas Samantho…memiliki efek yang berbeda-beda dalam tingkat ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah). Bagi manusia yang derajat ilmu dan amal-nya hanya pada tingkatan syariat, maka ia hanya sampai pada pen-tauhid-an dari sisi A’alullah (prilaku) al-Haq (Allah) saja. Atas dasar itu, tauhid mereka hanya sampai tauhid fil af’al (pentauhidan prilaku Tuhan) saja yang terangkum dalam kalimat “laa haula wa laa quwwata illa billah”. tok. Akhirnya yang mereka lihat hanya wahdatul af’al (kesatuan prilaku) al-Haq. Ini tauhid Ahli Syariat atau Ahli Zahir “dari” (min bima’na at-tab’idh) para teolog (mutakallim), filsuf, pakar hadis dan pakar fikih. Jadi ahli syariat bukan hanya identik dengan ahli fikih saja. Sedang para pelaku amal dengan didukung ilmu pada tahapan tharekat, hal itu akan menghasilkan tauhid pada nama (asma’) dan sifat (aushaf) al-Haq. Sehingga tauhidnya adalah tauhid fil asma’ was shifat (tauhid dalam penamaan dan pensifatan) yang terangkum dalam ayat huwal awwalu wal akhiru wadz dzahiru wal bathin. Efek dari tauhid ahjli tarekat ini mas Samantho…wahdatus-syuhud (kesatuan dalam menyasikan) yang imam Ali –imam para urafa’- dalam ungkapannya menjelaskan peringkat ini dengan mengatakan “maa raitu syaian illa raitullaha fiihi, qoblahu, ba’dahu” (aku tidak melihat sesuatu (apapun) kecuali aku melihat Allah pada-nya, sebelum dan sesudahnya). Sedang pada tingkatan terakhir yaitu pesalik sejati yang amal dan ilmunya telah sampai pada derajat hakekat (pesalik + pelaku hukum fikih untuk meninggalkan mubah), maka ia telah bertauhid fidz-Dzat al-Haq (tauhid dzat al-Haq). Ia tidak menamai apapun, tidak menunjuk apapun dan mensifati apapun Dzat al-Haq, juga tidak melihat apapun melainkan al-Haq. Imbasnya mas Samantho…ia telah sampai apa yang dimaksud dengan wahdatul-wujud (kesatuan wujud). Dan tentu, akidah memiliki peran yang besar dalam ketiga tingkatan –syariat, tarekat dan hakekat- sebagai pondasi semua ilmu dan amalnya.
Enak membahasnya (dalam berteori) namun terlampau sulit mengamalkannya (dalam praktik). Selama ini di Indonesia kita hanya mendengar teori-teori dalam masalah ini, namun pengajarnya sendiri masih suka mengumpat (ghibah) saudaranya, mengadu-domba (namimah), dengki (hasad) dan masih abnyak lagi prilaku haram lain yang terlontar dari guru-guru yang “konon” pakar tasawuf dan Irfan tersebut. Prilaku sunah seperti shalat malam, sedekah kepada kaum fakir-miskin dsb tiada lagi mereka indahkan. Dalam kamus irfan, tidak ada yang namanya malamatiyah dan semisalnya. Sehingga mungkin pernah antum dengar prilaku para sok sufi (mutashawwifah) yang konon guru dan mursyid tasawuf namun suka duduk di diskotik, atau ungkapan para sok sufi lain yang mengatakan “jika sudah sampai ke tingkat hakekat buat apa lagi shalat. Melaksanakan shalat hanya buat kaum awam yang masih pada tingkatan syariat saja”. Itulah kebodohan mereka tentang tasawuf (Irfan). Padahal Abu Nasr as-Saraj at-Thusi seorang sufi dan pakar tasawuf yang meninggal tahun 378 Hijriyah dalam kitab “al-Luma’ fi at-Tasawuf”, setelah menjelaskan apa hakekat tasawuf dan siapakah sufi hakiki lantas beliau mengatakan: “Para sufi akan tetap memerlukan ulama zahir dalam hal hadis, fikih….”. sedang fikih dan hadis melarang orang melakukan apa yang diyakini kaum malamatiyah tadi. Atas dasar itu, dalam hadis imam-imam Syiah yang tercantu dalamkitab safinatul-bihar disebutkan beberapa hadis tentnag pelaknatan para imam suci Ahlul Bayt as terhadap kaum sufi, yang dimaksud adalah kaum mutasawwifah tadi. Sayang Irfan dan tasawuf hanya jadi obyek ketenaran saja. Kok khayal berirfan, berakhlak yang baik sesuai dengan ajaran ahli zahir (ahli syariat) saja belum mampu. Alhasil, kita tidak tidak membahas hal ini bukan karena tidak mampu secara keilmuan, namun malu secara moral…itu harus antum camkan. Al-ilmu bilaa ‘amal kassyajari bilaa tsamar (ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah) atau berkaitan dengan hadis lain kallimuuhum bi qodri uquulihim (ajak bicara mereka sesuai kadar kemampuan akalnya). Dalam kasus ini saya tidak bermaksud menyinggung siappun. Saya hanya melihat realita. Dan kalau merasa ada yang tersinggung, berarti dia pelakunya atau pendukung pelakunya. Kalau bukan pelaku, kenapa mesti tersinggung? Saya jadi teringat ungkapan Abu Nasr as-Sarraj at-Thusi seorang pakar tasawuf dalam kitab al-Luma’. Dalam karyanya itu beliau mengatakan: “Saat ini, tasawuf hanya tinggal nama. Ajarannya hanya menjadi legenda…”. Dalam halaman lain beliau mengatakan: “Sekarang ini, harus diketahui dan dipisahkan antara para ahli tasawuf yang asli dan yang mengaku-ngaku sebagai sufi yang berjubah tasawuf”. Saya tidak segan-segan mengkritisi semacam ini karena tidak ada tendensi apa-apa. Dalam Syiah, tidak ada yang namanya “bukan kapasitas saya untuk mengkritisi ustadz”. Imam Ali mengajarkan “Ketahuilah kebenaran niscaya kalian tahu dimana kebenaran itu berada”. Jika siapapun yang dekat dekat kita –termasuk ustadz kita- salah, kenapa mesti diam. Toch kita sudah tahu tolok ukur kebenaran kok…mazhab Syiah mengajarkan kita kritis, kepada siapapun termasuk kritis kepada “sebagian” para sahabat Nabi yang dianggap telah menyimpang...apalagi yang namanya ustadz atau kyai. Tentu, kritisinya tetap dalam bingkai etika Islami dan tolok ukur kebenaran yang benar dan jelas (al-Quran, hadis Nabi dan Ahlul Bayt dan akal sehat). Jadi gak pilih-pilih dalam mengkritisi. Berani mengkritik ustadz fulan yang bukan ustadznya, dan tidak berani ustadz yang lain karenannya ustadznya.
Adapun kaitan fikih, akidah dan akhlak dengan konsep syariat, tarekat dan hakekat, maka saya kira sudah jelas dari penjelasan di atas tadi. Jika anda masih masuk kategori ahli zahir atau ahli syariat, maka amal dan ilmu anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak pun masih sebatas pemahaman zahir saja, tidak masuk sir (rahasia)-nya yang terangkum dalam tahapan tarekat, apalagi sirus-sir (puncak rahasia) yang masuk dalam tahapan hakekat. Begitu juga pemahaman anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak dalam tahapan tarekat, maupun hakekat sekalipun. Oleh karena itu, muatan akidah, akhlak dan fikih dalam tiga tahapan dan gradasi ilmu dan amal –yaitu syariat, tarekat dan hakekat- pun masih tetap ada dan tetap terjaga.
Banyak hal yang dapat didiskusikan dalam penjelasan tadi, dan masih abnyak masalah yang masih perlu disinggung. Di sela-sela diskusi nanti kita bisa terapkan. Cuman yang jelas, dari penjelasan tadi dapat diambil konklusi bahwa wacana “Dahulukan akhlak di atas fikih” sama sekali tidak dapat diterapkan disesuaikan dengan konsep gradasi ilmu dan amal dalam dunia Irfan (tasawuf) yang terangkum dalam istilah “syariat, tarekat dan hakekat”
Masih kurang bukti?
Anda pasti kenal dengan orang yang bernama Ibnu Arabi bukan? Ini saya nukilkan sedikit dari ungkapan beliau dalam kitab Futuhaatul-Makkiyah (masalah jilid, halaman dan cetakannya saya siap menunjukkan, jika benar diperlukan). Dalam kitab tersebut dia mengatakan: “Setiap hukum dan kejadian yang terjadi di alam Hakekat tanpa ada penguat (ta’yiid) hukum syariat, maka dihukumi ilegal”. Ungkapan inipun bisa anda temukan dalam kitab beliau lain yang berjudul Rasa’il Ibnu Arabi dalam Risalah laa yu’awwalu ‘alaihi (Risalah; Yang tidak dapat dita’wil). Sehingga dari situ dalam jilid yang lain dari kitab Futuhaatul-Makiyah disebutkan: “Dasar utama melaksanakan syariat adalah harus sesuai dengan apa yang telah ditentukan (tauqifiyyah), dimana dilarang untuk menambahi maupun mengurangi”. Saya kira dua orang (Imam Khumaini dan Ibnu Arabi) itu cukup untuk mewakili para Urafa’ yang pernah kita dengar…
Sekarang pertanyaan yang bisa dilontarkan adalah; Jika hukum tersebut belum ada pada zaman dahulu sehingga tercantum dalam ayat dan hadis secara jelas, lantas apa yang harus kita lakukan? Diam dan bersifat seperti orang agnostisisme yang berarti meliburkan akal dan intelektual manusia (Ta’thiilul-‘Aql) yang secara rasional dan tekstual Islam dihukumi buruk. Padahal agama Islam melarang segala macam bentuk keburukan semacam itu. Tidak ada jalan lain melainkan; “Berijtihad”. Lantas muncul pertanyaan; Bukankah ijtihad hasil karya manusia yang bersifat manusiawi dan bukan Ilahi? Taruhlah Ijtihad diperbolehkan walau bersifat manusiawi, jika kita belum sampai derajat mujtahid sehingga mempunyai otoritas untuk berijtihad bagaimana? Bertaqlid. Apakah legalitas taklid (mengikuti seseorang tanpa meminta dalil)? Ujung-ujungnya seperti apa yang dikatakan oleh Ayatullah Jawadi Amuli seorang filsuf, fakih dan pakar tafsir kontemporer dan beberapa ayatollah yang Arif lainnya tentang pentingnya kembali kepada hukum fikih dalam ber-sair wa suluk, apalagi bagi kita-kita yang awam dimana akhlak Islami saja masih sangat belepotan…Jadi jangan sekali-kali kita-kita ini –dan juga mereka-mereka yang sudah “merasa tahu” (bukan merasa mengamalkan) apa itu Irfan dan Tasawuf- berkhayal-ria untuk mendahulukan Akhlak di atas Fikih dengan berbagai alasan, termasuk alasan Fikih sebagai sarana penyempurna Akhlak. Taruhlah hal itu dapat dibenarkan -walaupun saya pribadi dengan argument yang ada sama sekali tidak dapat meyakini kebenarannya- maka jika kita konsis dan komit dengan Fikih sebagai penyempurna Akhlak, dikarenakan Akhlak kita masih sangat belepotan, maka seharusnya marilah kita memakai Fikih -tentunya juga tetap memakai dan tidak meninggalkan akhlak (bukan adab). Tetapi, bukan berarti mendahulukan Fikih di atas akhlak, akan tetapi menyejajarkannya, kalau boleh pinjam perkataan mas Jhovo dulu- agar Akhlak kita menjadi sempurna. Bukankah fikih sekedar sarana untuk kesempurnaan akhlak, sebagaimana yang didakwahkan oleh beberapa orang itu? Mana konsistensi orang-orang itu terhadap segala omongannya…Jika mereka tidak konsisten, lantas bagaimana mungkin mereka mengajarkan sesuatu yang tidak dikonsisteni dan tidak diamalkannya? Mana Tasawuf dan mana Irfan yang konon diajarkannya? Mana akhlak yang universal yang konon sebagai syiarnya? Bukankah ada satu ayat yang berbunyi: Kabura maqtan ‘indallahi taquluuna maa laa taf’aluun (Murka Allah akan tertuju kepada kalian yang berbicara namun tidak mengamalkannya). Hal ini semua (konsis terhadap apa yang diomongkan) adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi, sebagai manusia berakal dan beragama, karena akal dan agama yang memerintahkannya. Kecuali jikalau kita semua ini mau menjadi kaum Hedonis yang berkedok agamis, dengan istilah sederhananya; menjual agama untuk kepentingan pribadi. Sekali lagi, jangan kita berkhayal telah masuk Irfan yang sair wa suluk sebagai esensinya. Kita masih belum berakhlak, lantas bagaimana mungkin akan masuk kawasan sair wa suluk irfani, hatta bagi yang pemula sekalipun? Jika itu yang terjadi, maka jangankan masuk pintu gerbang sair wa suluk, melihat bentuk gerbangnya saja belum sehingga hendak berkhayal masuk ke sana pun kesulitan, apalagi mengintip dari gerbang hakiki Irfan tersebut. Untuk sementara waktu, jauhkanlah khayalan ber-sair wa suluk dan ber-irfan ria selama kita masih belum dapat menunaikan pelajaran akhlak sesuai ajaran ahli zahir pada tingkatan syariat yang masuk kategori awam jika dibanding dengan tingkatan tharekat dan hakekat. Namun, jika ada yang menghendaki untuk “sekedar diskusi”, maka saya yakin, teman-teman member ISLAT banyak yang mampu untuk “sekedar memberi informasi yang hanya sekedar informasi”.
Sekarang pertanyaan ini khusus tertuju kepada mas Sumantho; Apakah semua ini bukti kedengkian sebagian orang terhadap bapak Jaluddin Rahmat beserta murid-muridnya (yang mereka semua adalah saudara kita seiman dan seakidah), ataukah kenyataan yang harus segera diungkap? Siapapun –termasuk saya, anda, dia, kita anggota member dan mereka yang di sana- tidak akan lepas dari kritik jika dianggap “tidak benar”. Inilah seruan fitrah suci manusia pencari kesempurnaan, dan ajaran akal sehat manusia sebagai salah satu sarana universal penyaring kebenaran selain sarana tertinggi yaitu Agama Muhammad yang Agung. Ini semua sebagai bukti bahwa dengan fitrah, akal dan agama manusia akan selalu mencari dan mencari hakekat kebenaran. Dan kebenaran itu tidak akan secara murni didapat melainkan dari sumbernya. Dengan kedatangan Messiah Agung dari keluarga Muhammad, kebenaran hakiki akan nampak semakin jelas dan terwujud secara nyata…Allahumma ‘ajjil lidhuhuuril Hujjah min Aali Bayti Nabiyik
Sekarang tugas kita masing-masing adalah menilai sendiri kebenaran dengan kapasitas kejernihan akal dan kebersihan hati yang kita miliki masing-masing, sehingga mampu menghantarkan cara menghukumi yang obyektif sesuai dengan ajaran akal dan agama yang kita miliki!? Ingat pesan imam Ali al-Haidar as murid utama Rasulullah saww yang agung, beliau mewasiatkan kepada segenap umat manusia sebagai hamba Tuhan, terkhusus kepada para Syiah-nya: “Kebenaran tidak akan dikenal melalui seorang figure, namun kenalilah kebenaran, niscaya kalian mengetahui dimana kebenaran itu berada”. Mari kita pegang teguh wasiat imam Ali as ini, walaupun konsekuensinya teramat berat, termasuk dituduh dengki (hasud) terhadap saudara sendiri oleh saudara sendiri. Namun kita harus optimis, bukankah Allah berfirman: Faqul i’maluu fasayarallu ‘amalakum walladziina aamanuu [Maka katakan (wahai Muhammad): bekerjalah kalian maka Allah dan orang-orang beriman akan menyaksikan pekerjaan kalian]. Bentuk konkrit dari “Manusia Beriman” dari ayat tersebut adalah empat manusia suci dari keluarga Muhammad as.
Menimbang kebenaran konsep “Dahulukan akhlak di atas fikih” dari kaca mata Irfan dan Tasawuf Islami. Sebelumnya dan seharusnya, kita terlebih dahulu harus mendefinisikan apa itu akhlak dan apa itu fikih, sehingga sewaktu terdapat persamaan persepsi dalam pendefinisian akan mempermudah kita dalam mencari titik temu, sekaligus menyulitkan pihak-pihak tertentu dalam melakukan aksi pencampuradukan (fallacy) fakta dengan lari ke sana dan kemari dalam beristilah. Memang, mendefinsikan itu tidak semudah membalik tangan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi –sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu logika- sehingga istilah “mencakup” (jami’) (semua ekstensi riil) dan “menahan” (mani’) (semua ekstensi konsep lain) akan trpenuhi. Dengan begitu, definisi yang ilmiah untuk diskusi ilmiah pun akan terwujud. Cuman terkadang, ada oknum-oknum yang sengaja ingin menyamarkan sebuah definisi obyek pembahasan. Entah karena ketidakmampuannya dalam mendefinisikan, atau sengaja untuk mengaburkan permasalahan. Itu saja sebagai mukadimah postingan saya kali ini.
Setelah memperhatikan penjelasan mas Samantho, saya jadinya lebih tertarik fenomena akhlak-fikih ini dari sisi Irfan dan Tasawuf, bukan dari tinjauan fikih itu sendiri. Selain bang Saleh telah meninjaunya dari sisi kaca mata fikih itu sendiri, lagian, di Indonesia sekarang ini orang lagi “demam tasawuf”. Saking membludaknya kajian tasawuf, sampai-sampai lupa apa beda antara tasawuf (baca: Irfan) dan apa itu akhlak. Saya teringat buku karya Ayatullah syahid Muthahhari menyebutkan tentang empat atau lima perbedaan antara ilmu Akhlak dan Tasawuf (Irfan). (Maaf, saya selalu menyebut Irfan dalam sebutan tasawuf, karena dalam “budaya Syiah” kita kurang akrab dengan istilah tasawuf dan sufi, karena banyak hal). Atas dasar itu, harus dibedakan antara kajian tasawuf (Irfan) dengan kajian akhlak. Ini nanti akan kita jadikan patokan pembahasan kita berkaitan dengan mengkritisi pandangan mas Samantho yang mengatakan bahwa fikih sebagai sarana untuk kesempurnaan akhlak dengan mengadopsi pandangan ulama tasawuf (Irfan) tentang relasi Syariat, Tharekat dan Hakekat.
Secara ringkas bisa saya jelaskan (detailnya bisa didiskusikan nantinya), bahwa akhlak bersifat pasif sedang Irfan bersifat pro-aktif. Ini mengutip pandangan Ayatullah Muthahhari dalam menyebut salah satu perbedaan ilmu akhlak dengan ilomu Irfan. Apa maksudnya? Dalam akhlak, kita hanya diajarkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat merobah tabiat kita yang buruk (hewani) menjadi baik (manusiawi). Dan menjauhi hal-hal yang menjadi penghalang untuk memiliki sifat-sifat baik manusiawi. Dengan penjelasan yang lebih mudah, akhlak hanya mengajarkan kita untuk melakukan hal-hal wajib dan menghindari hal-hal haram, walaupun boleh melakukan yang hal yang makruh apalagi mubah. Wajib dan haram di sini adalah berkaitan dengan hukum fikih yang nanti penjelasannya akan disinggung. Sedang Irfan tidak semacam itu. Irfan mengajarkan apa yang disebut sair wa suluk (pejalanan pendakian menuju Allah). Tentu, sebelum ia memasuki gerbang Irfan (sair wa suluk), terlebih dahulu harus menyelesaikan secara baik ujian teori dan praktiknya dalam berakhlak. Dalam tingkatan pertama sair wa suluk, seorang pemula diperintahkan oleh seorang mursyid untuk meninggalkan semua hal-hal makruh (dalam hukum fikih) yang tentunya ia telah berhasil menjadikan dirinya malakah (terbiasa sehingga seakan telah menyatu) dalam meninggalkan haram dan melakukan wajib yang dibahas dalam akhlak. Bukan hanya meninggalkan hal-hal makruh, ia pun diperintah untuk melaksanakan hal-hal yang sunah (mustahab). Tentu, semua pelaksanaan ini dilakukan oleh seorang pelaku sair wa suluk secara bertahap dengan bimbingan seorang mursyid yang telah ‘sampai’ (al-mursyid al-washil). Bimbingan itu terangkum dalam apa yang disebut dengan dasturul-‘amal (mirip kitab fatwa kalau kita contohkan dalam kajian fikih). Dan dastur-amal yang dikeluarkan oleh seorang mursyid yang manusia sempurna dan menyempurnakan (kaamil al-mukammil) –insan kamil pun memiliki gradasi- yang mengetahui dengan jelas ‘ilmu jiwa’ selain disiplin ilmu yang lain; teology, filsafat (sebagai mukadimah Irfan), Irfan teoritis (mukadimah Irfan Praktis), fikih (untuk mengetahui hukum halal(mubah)-haram-makruh-wajib-sunah (mustahab) dsb. Oleh karena itu, dalam budaya Syiah seorang Arif sejati adalah selain dia seorang teolog, filsuf, pakar irfan nazari (teoritis) dan fakih. Ini syarat minimnya, syarat lazim bukan syarat sempurna. Kenapa harus demikian? Melalui diskusi, nanti akan kita bahas lagi secara detail, insyaAllah. Setelah seorang pesalik pemula sudah malakah dalam melakukan sunah dan meninggalkan makruh, maka sang musyid akan memulai untuk mengajarkannya tarkul-mubaahaat (meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan (mubah)). Saya sengaja gak memberi contoh-contoh dalam kasus ini, karena; pertama, saya malu dengan diri saya sendiri. Kedua, saya melihat, belum ada bentuk luarannya di negeri Indonesia, siapapun individunya, hatta ustadz-ustadz kita –dengan tidak mengurangi hormat saya kepada mereka- yang terkenal guru Irfan dan tasawuf sekalipun. Itu contoh konkrit dari ilmu dan amal yang disesuaikan dengan konsep Syariat, Tarekat dan Hakekat. Jadi, yang dimaksud dengan syariat adalah pelaku akhlak + pelaku hukum fikih dalam melakukan kewajiban dan meninggalkan haram. Sedang tarekat adalah pelaku Irfan (tasawuf) pemula + hukum fikih dalam melaksanakan mustahab (sunah) dan meninggalkan makruh. Sedang hakekat adalah pelaku Irfan (pesalik) + pelaku hukum fikih yang hanya berkaitan dengan meninggalkan mubah saja. Lantasapa hukum perbuatannya? Disini akhirnya muncul pembahasan raf’ut-taklif (hilangnya ‘kesengsaraan’) dalam Irfan yang sering diartikan salah oleh para manusia sok sufi dan sok Arif dengan meninggalkan hukum-hukum fikih zahir. Bagaimana hakekatnya? Nanti dapat kita diskusikan lebih lanjut. Sabar itu katanya kekasih Tuhan!?
Di atas tadi adalah bukti konkrit dari tingkatan ilmu dan amal manusia dalam menuju Allah yang terangkum dalam gradasi Syariat, tharekat dan hakakat. Dan itu pun mas Samantho…memiliki efek yang berbeda-beda dalam tingkat ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah). Bagi manusia yang derajat ilmu dan amal-nya hanya pada tingkatan syariat, maka ia hanya sampai pada pen-tauhid-an dari sisi A’alullah (prilaku) al-Haq (Allah) saja. Atas dasar itu, tauhid mereka hanya sampai tauhid fil af’al (pentauhidan prilaku Tuhan) saja yang terangkum dalam kalimat “laa haula wa laa quwwata illa billah”. tok. Akhirnya yang mereka lihat hanya wahdatul af’al (kesatuan prilaku) al-Haq. Ini tauhid Ahli Syariat atau Ahli Zahir “dari” (min bima’na at-tab’idh) para teolog (mutakallim), filsuf, pakar hadis dan pakar fikih. Jadi ahli syariat bukan hanya identik dengan ahli fikih saja. Sedang para pelaku amal dengan didukung ilmu pada tahapan tharekat, hal itu akan menghasilkan tauhid pada nama (asma’) dan sifat (aushaf) al-Haq. Sehingga tauhidnya adalah tauhid fil asma’ was shifat (tauhid dalam penamaan dan pensifatan) yang terangkum dalam ayat huwal awwalu wal akhiru wadz dzahiru wal bathin. Efek dari tauhid ahjli tarekat ini mas Samantho…wahdatus-syuhud (kesatuan dalam menyasikan) yang imam Ali –imam para urafa’- dalam ungkapannya menjelaskan peringkat ini dengan mengatakan “maa raitu syaian illa raitullaha fiihi, qoblahu, ba’dahu” (aku tidak melihat sesuatu (apapun) kecuali aku melihat Allah pada-nya, sebelum dan sesudahnya). Sedang pada tingkatan terakhir yaitu pesalik sejati yang amal dan ilmunya telah sampai pada derajat hakekat (pesalik + pelaku hukum fikih untuk meninggalkan mubah), maka ia telah bertauhid fidz-Dzat al-Haq (tauhid dzat al-Haq). Ia tidak menamai apapun, tidak menunjuk apapun dan mensifati apapun Dzat al-Haq, juga tidak melihat apapun melainkan al-Haq. Imbasnya mas Samantho…ia telah sampai apa yang dimaksud dengan wahdatul-wujud (kesatuan wujud). Dan tentu, akidah memiliki peran yang besar dalam ketiga tingkatan –syariat, tarekat dan hakekat- sebagai pondasi semua ilmu dan amalnya.
Enak membahasnya (dalam berteori) namun terlampau sulit mengamalkannya (dalam praktik). Selama ini di Indonesia kita hanya mendengar teori-teori dalam masalah ini, namun pengajarnya sendiri masih suka mengumpat (ghibah) saudaranya, mengadu-domba (namimah), dengki (hasad) dan masih abnyak lagi prilaku haram lain yang terlontar dari guru-guru yang “konon” pakar tasawuf dan Irfan tersebut. Prilaku sunah seperti shalat malam, sedekah kepada kaum fakir-miskin dsb tiada lagi mereka indahkan. Dalam kamus irfan, tidak ada yang namanya malamatiyah dan semisalnya. Sehingga mungkin pernah antum dengar prilaku para sok sufi (mutashawwifah) yang konon guru dan mursyid tasawuf namun suka duduk di diskotik, atau ungkapan para sok sufi lain yang mengatakan “jika sudah sampai ke tingkat hakekat buat apa lagi shalat. Melaksanakan shalat hanya buat kaum awam yang masih pada tingkatan syariat saja”. Itulah kebodohan mereka tentang tasawuf (Irfan). Padahal Abu Nasr as-Saraj at-Thusi seorang sufi dan pakar tasawuf yang meninggal tahun 378 Hijriyah dalam kitab “al-Luma’ fi at-Tasawuf”, setelah menjelaskan apa hakekat tasawuf dan siapakah sufi hakiki lantas beliau mengatakan: “Para sufi akan tetap memerlukan ulama zahir dalam hal hadis, fikih….”. sedang fikih dan hadis melarang orang melakukan apa yang diyakini kaum malamatiyah tadi. Atas dasar itu, dalam hadis imam-imam Syiah yang tercantu dalamkitab safinatul-bihar disebutkan beberapa hadis tentnag pelaknatan para imam suci Ahlul Bayt as terhadap kaum sufi, yang dimaksud adalah kaum mutasawwifah tadi. Sayang Irfan dan tasawuf hanya jadi obyek ketenaran saja. Kok khayal berirfan, berakhlak yang baik sesuai dengan ajaran ahli zahir (ahli syariat) saja belum mampu. Alhasil, kita tidak tidak membahas hal ini bukan karena tidak mampu secara keilmuan, namun malu secara moral…itu harus antum camkan. Al-ilmu bilaa ‘amal kassyajari bilaa tsamar (ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah) atau berkaitan dengan hadis lain kallimuuhum bi qodri uquulihim (ajak bicara mereka sesuai kadar kemampuan akalnya). Dalam kasus ini saya tidak bermaksud menyinggung siappun. Saya hanya melihat realita. Dan kalau merasa ada yang tersinggung, berarti dia pelakunya atau pendukung pelakunya. Kalau bukan pelaku, kenapa mesti tersinggung? Saya jadi teringat ungkapan Abu Nasr as-Sarraj at-Thusi seorang pakar tasawuf dalam kitab al-Luma’. Dalam karyanya itu beliau mengatakan: “Saat ini, tasawuf hanya tinggal nama. Ajarannya hanya menjadi legenda…”. Dalam halaman lain beliau mengatakan: “Sekarang ini, harus diketahui dan dipisahkan antara para ahli tasawuf yang asli dan yang mengaku-ngaku sebagai sufi yang berjubah tasawuf”. Saya tidak segan-segan mengkritisi semacam ini karena tidak ada tendensi apa-apa. Dalam Syiah, tidak ada yang namanya “bukan kapasitas saya untuk mengkritisi ustadz”. Imam Ali mengajarkan “Ketahuilah kebenaran niscaya kalian tahu dimana kebenaran itu berada”. Jika siapapun yang dekat dekat kita –termasuk ustadz kita- salah, kenapa mesti diam. Toch kita sudah tahu tolok ukur kebenaran kok…mazhab Syiah mengajarkan kita kritis, kepada siapapun termasuk kritis kepada “sebagian” para sahabat Nabi yang dianggap telah menyimpang...apalagi yang namanya ustadz atau kyai. Tentu, kritisinya tetap dalam bingkai etika Islami dan tolok ukur kebenaran yang benar dan jelas (al-Quran, hadis Nabi dan Ahlul Bayt dan akal sehat). Jadi gak pilih-pilih dalam mengkritisi. Berani mengkritik ustadz fulan yang bukan ustadznya, dan tidak berani ustadz yang lain karenannya ustadznya.
Adapun kaitan fikih, akidah dan akhlak dengan konsep syariat, tarekat dan hakekat, maka saya kira sudah jelas dari penjelasan di atas tadi. Jika anda masih masuk kategori ahli zahir atau ahli syariat, maka amal dan ilmu anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak pun masih sebatas pemahaman zahir saja, tidak masuk sir (rahasia)-nya yang terangkum dalam tahapan tarekat, apalagi sirus-sir (puncak rahasia) yang masuk dalam tahapan hakekat. Begitu juga pemahaman anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak dalam tahapan tarekat, maupun hakekat sekalipun. Oleh karena itu, muatan akidah, akhlak dan fikih dalam tiga tahapan dan gradasi ilmu dan amal –yaitu syariat, tarekat dan hakekat- pun masih tetap ada dan tetap terjaga.
Banyak hal yang dapat didiskusikan dalam penjelasan tadi, dan masih abnyak masalah yang masih perlu disinggung. Di sela-sela diskusi nanti kita bisa terapkan. Cuman yang jelas, dari penjelasan tadi dapat diambil konklusi bahwa wacana “Dahulukan akhlak di atas fikih” sama sekali tidak dapat diterapkan disesuaikan dengan konsep gradasi ilmu dan amal dalam dunia Irfan (tasawuf) yang terangkum dalam istilah “syariat, tarekat dan hakekat”
Langganan:
Postingan (Atom)