Bukti lain berkaitan bahwa para Urafa’ pun masih tetap menjadikan hukum fikih sebagai landasannya, hatta buat mereka yang telah sampai pada derajat Hakekat sekalipun. Imam Khumaini dalam kitab “Sirrus-Shalat au mi’rajus-Salikin” (Rahasia Shalat atau Mi’raj-nya kaum pesalik) telah menjelaskan bahwa “Semua bentuk ibadah harus sesuai dengan undang-undang hukum syariat (fikih). hatta ibadah para Arif yang telah sampai pada tujuan (washil). Secara bentuk dan cara sebelum dan sesudah sampai (ke Allah) maka tetap sama, harus seuai dengan hukum fikih. Argumennya adalah karena Muhammad saww adalah Nabi terakhir, maka tiada penyingkapan (kasyf) yang paling sempurna melainkan kasyf beliau….Atas dasar itu, tiada hukum syariatpun yang dapat merubahnya….Bentuk zahir Shalat, Haji, Puasa terbentuk bukan secara tiba-tiba dan kebetulan, apalagi tanpa dasar. Walaupun hal-hal itu memiliki bentuk zahir, namun memiliki kesan batin yang amat dalam…Secara umum, tiada penyingkapan (kasyf) yang lebih sempurna (atam) dari penyingkapan Rasul terakhir. Dan tiada suluk yang lebih benar (ashoh wa ash’wab) dari apa yang diajarkannya. Maka, susunan (penemuan) tak berarti yang dihasilkan dari otak-otak tanpa ilmu (bodoh) yang mengaku sebagai mursyid dan (ahli) Irfan harus disirnakan”. Itu perkataan imam Khumaini ra, salah seorang Arif besar di zamannya. Beliau dalam kitab tersebut jelas menggunakan “fikih” sebagai landasannya. Fikih yang mana? Mari kita hubungkan dengan pembahasan terdahulu yang pernah saya postingkan.
Masih kurang bukti?
Anda pasti kenal dengan orang yang bernama Ibnu Arabi bukan? Ini saya nukilkan sedikit dari ungkapan beliau dalam kitab Futuhaatul-Makkiyah (masalah jilid, halaman dan cetakannya saya siap menunjukkan, jika benar diperlukan). Dalam kitab tersebut dia mengatakan: “Setiap hukum dan kejadian yang terjadi di alam Hakekat tanpa ada penguat (ta’yiid) hukum syariat, maka dihukumi ilegal”. Ungkapan inipun bisa anda temukan dalam kitab beliau lain yang berjudul Rasa’il Ibnu Arabi dalam Risalah laa yu’awwalu ‘alaihi (Risalah; Yang tidak dapat dita’wil). Sehingga dari situ dalam jilid yang lain dari kitab Futuhaatul-Makiyah disebutkan: “Dasar utama melaksanakan syariat adalah harus sesuai dengan apa yang telah ditentukan (tauqifiyyah), dimana dilarang untuk menambahi maupun mengurangi”. Saya kira dua orang (Imam Khumaini dan Ibnu Arabi) itu cukup untuk mewakili para Urafa’ yang pernah kita dengar…
Sekarang pertanyaan yang bisa dilontarkan adalah; Jika hukum tersebut belum ada pada zaman dahulu sehingga tercantum dalam ayat dan hadis secara jelas, lantas apa yang harus kita lakukan? Diam dan bersifat seperti orang agnostisisme yang berarti meliburkan akal dan intelektual manusia (Ta’thiilul-‘Aql) yang secara rasional dan tekstual Islam dihukumi buruk. Padahal agama Islam melarang segala macam bentuk keburukan semacam itu. Tidak ada jalan lain melainkan; “Berijtihad”. Lantas muncul pertanyaan; Bukankah ijtihad hasil karya manusia yang bersifat manusiawi dan bukan Ilahi? Taruhlah Ijtihad diperbolehkan walau bersifat manusiawi, jika kita belum sampai derajat mujtahid sehingga mempunyai otoritas untuk berijtihad bagaimana? Bertaqlid. Apakah legalitas taklid (mengikuti seseorang tanpa meminta dalil)? Ujung-ujungnya seperti apa yang dikatakan oleh Ayatullah Jawadi Amuli seorang filsuf, fakih dan pakar tafsir kontemporer dan beberapa ayatollah yang Arif lainnya tentang pentingnya kembali kepada hukum fikih dalam ber-sair wa suluk, apalagi bagi kita-kita yang awam dimana akhlak Islami saja masih sangat belepotan…Jadi jangan sekali-kali kita-kita ini –dan juga mereka-mereka yang sudah “merasa tahu” (bukan merasa mengamalkan) apa itu Irfan dan Tasawuf- berkhayal-ria untuk mendahulukan Akhlak di atas Fikih dengan berbagai alasan, termasuk alasan Fikih sebagai sarana penyempurna Akhlak. Taruhlah hal itu dapat dibenarkan -walaupun saya pribadi dengan argument yang ada sama sekali tidak dapat meyakini kebenarannya- maka jika kita konsis dan komit dengan Fikih sebagai penyempurna Akhlak, dikarenakan Akhlak kita masih sangat belepotan, maka seharusnya marilah kita memakai Fikih -tentunya juga tetap memakai dan tidak meninggalkan akhlak (bukan adab). Tetapi, bukan berarti mendahulukan Fikih di atas akhlak, akan tetapi menyejajarkannya, kalau boleh pinjam perkataan mas Jhovo dulu- agar Akhlak kita menjadi sempurna. Bukankah fikih sekedar sarana untuk kesempurnaan akhlak, sebagaimana yang didakwahkan oleh beberapa orang itu? Mana konsistensi orang-orang itu terhadap segala omongannya…Jika mereka tidak konsisten, lantas bagaimana mungkin mereka mengajarkan sesuatu yang tidak dikonsisteni dan tidak diamalkannya? Mana Tasawuf dan mana Irfan yang konon diajarkannya? Mana akhlak yang universal yang konon sebagai syiarnya? Bukankah ada satu ayat yang berbunyi: Kabura maqtan ‘indallahi taquluuna maa laa taf’aluun (Murka Allah akan tertuju kepada kalian yang berbicara namun tidak mengamalkannya). Hal ini semua (konsis terhadap apa yang diomongkan) adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi, sebagai manusia berakal dan beragama, karena akal dan agama yang memerintahkannya. Kecuali jikalau kita semua ini mau menjadi kaum Hedonis yang berkedok agamis, dengan istilah sederhananya; menjual agama untuk kepentingan pribadi. Sekali lagi, jangan kita berkhayal telah masuk Irfan yang sair wa suluk sebagai esensinya. Kita masih belum berakhlak, lantas bagaimana mungkin akan masuk kawasan sair wa suluk irfani, hatta bagi yang pemula sekalipun? Jika itu yang terjadi, maka jangankan masuk pintu gerbang sair wa suluk, melihat bentuk gerbangnya saja belum sehingga hendak berkhayal masuk ke sana pun kesulitan, apalagi mengintip dari gerbang hakiki Irfan tersebut. Untuk sementara waktu, jauhkanlah khayalan ber-sair wa suluk dan ber-irfan ria selama kita masih belum dapat menunaikan pelajaran akhlak sesuai ajaran ahli zahir pada tingkatan syariat yang masuk kategori awam jika dibanding dengan tingkatan tharekat dan hakekat. Namun, jika ada yang menghendaki untuk “sekedar diskusi”, maka saya yakin, teman-teman member ISLAT banyak yang mampu untuk “sekedar memberi informasi yang hanya sekedar informasi”.
Sekarang pertanyaan ini khusus tertuju kepada mas Sumantho; Apakah semua ini bukti kedengkian sebagian orang terhadap bapak Jaluddin Rahmat beserta murid-muridnya (yang mereka semua adalah saudara kita seiman dan seakidah), ataukah kenyataan yang harus segera diungkap? Siapapun –termasuk saya, anda, dia, kita anggota member dan mereka yang di sana- tidak akan lepas dari kritik jika dianggap “tidak benar”. Inilah seruan fitrah suci manusia pencari kesempurnaan, dan ajaran akal sehat manusia sebagai salah satu sarana universal penyaring kebenaran selain sarana tertinggi yaitu Agama Muhammad yang Agung. Ini semua sebagai bukti bahwa dengan fitrah, akal dan agama manusia akan selalu mencari dan mencari hakekat kebenaran. Dan kebenaran itu tidak akan secara murni didapat melainkan dari sumbernya. Dengan kedatangan Messiah Agung dari keluarga Muhammad, kebenaran hakiki akan nampak semakin jelas dan terwujud secara nyata…Allahumma ‘ajjil lidhuhuuril Hujjah min Aali Bayti Nabiyik
Sekarang tugas kita masing-masing adalah menilai sendiri kebenaran dengan kapasitas kejernihan akal dan kebersihan hati yang kita miliki masing-masing, sehingga mampu menghantarkan cara menghukumi yang obyektif sesuai dengan ajaran akal dan agama yang kita miliki!? Ingat pesan imam Ali al-Haidar as murid utama Rasulullah saww yang agung, beliau mewasiatkan kepada segenap umat manusia sebagai hamba Tuhan, terkhusus kepada para Syiah-nya: “Kebenaran tidak akan dikenal melalui seorang figure, namun kenalilah kebenaran, niscaya kalian mengetahui dimana kebenaran itu berada”. Mari kita pegang teguh wasiat imam Ali as ini, walaupun konsekuensinya teramat berat, termasuk dituduh dengki (hasud) terhadap saudara sendiri oleh saudara sendiri. Namun kita harus optimis, bukankah Allah berfirman: Faqul i’maluu fasayarallu ‘amalakum walladziina aamanuu [Maka katakan (wahai Muhammad): bekerjalah kalian maka Allah dan orang-orang beriman akan menyaksikan pekerjaan kalian]. Bentuk konkrit dari “Manusia Beriman” dari ayat tersebut adalah empat manusia suci dari keluarga Muhammad as.
Menimbang kebenaran konsep “Dahulukan akhlak di atas fikih” dari kaca mata Irfan dan Tasawuf Islami. Sebelumnya dan seharusnya, kita terlebih dahulu harus mendefinisikan apa itu akhlak dan apa itu fikih, sehingga sewaktu terdapat persamaan persepsi dalam pendefinisian akan mempermudah kita dalam mencari titik temu, sekaligus menyulitkan pihak-pihak tertentu dalam melakukan aksi pencampuradukan (fallacy) fakta dengan lari ke sana dan kemari dalam beristilah. Memang, mendefinsikan itu tidak semudah membalik tangan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi –sebagaimana yang telah diajarkan dalam ilmu logika- sehingga istilah “mencakup” (jami’) (semua ekstensi riil) dan “menahan” (mani’) (semua ekstensi konsep lain) akan trpenuhi. Dengan begitu, definisi yang ilmiah untuk diskusi ilmiah pun akan terwujud. Cuman terkadang, ada oknum-oknum yang sengaja ingin menyamarkan sebuah definisi obyek pembahasan. Entah karena ketidakmampuannya dalam mendefinisikan, atau sengaja untuk mengaburkan permasalahan. Itu saja sebagai mukadimah postingan saya kali ini.
Setelah memperhatikan penjelasan mas Samantho, saya jadinya lebih tertarik fenomena akhlak-fikih ini dari sisi Irfan dan Tasawuf, bukan dari tinjauan fikih itu sendiri. Selain bang Saleh telah meninjaunya dari sisi kaca mata fikih itu sendiri, lagian, di Indonesia sekarang ini orang lagi “demam tasawuf”. Saking membludaknya kajian tasawuf, sampai-sampai lupa apa beda antara tasawuf (baca: Irfan) dan apa itu akhlak. Saya teringat buku karya Ayatullah syahid Muthahhari menyebutkan tentang empat atau lima perbedaan antara ilmu Akhlak dan Tasawuf (Irfan). (Maaf, saya selalu menyebut Irfan dalam sebutan tasawuf, karena dalam “budaya Syiah” kita kurang akrab dengan istilah tasawuf dan sufi, karena banyak hal). Atas dasar itu, harus dibedakan antara kajian tasawuf (Irfan) dengan kajian akhlak. Ini nanti akan kita jadikan patokan pembahasan kita berkaitan dengan mengkritisi pandangan mas Samantho yang mengatakan bahwa fikih sebagai sarana untuk kesempurnaan akhlak dengan mengadopsi pandangan ulama tasawuf (Irfan) tentang relasi Syariat, Tharekat dan Hakekat.
Secara ringkas bisa saya jelaskan (detailnya bisa didiskusikan nantinya), bahwa akhlak bersifat pasif sedang Irfan bersifat pro-aktif. Ini mengutip pandangan Ayatullah Muthahhari dalam menyebut salah satu perbedaan ilmu akhlak dengan ilomu Irfan. Apa maksudnya? Dalam akhlak, kita hanya diajarkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat merobah tabiat kita yang buruk (hewani) menjadi baik (manusiawi). Dan menjauhi hal-hal yang menjadi penghalang untuk memiliki sifat-sifat baik manusiawi. Dengan penjelasan yang lebih mudah, akhlak hanya mengajarkan kita untuk melakukan hal-hal wajib dan menghindari hal-hal haram, walaupun boleh melakukan yang hal yang makruh apalagi mubah. Wajib dan haram di sini adalah berkaitan dengan hukum fikih yang nanti penjelasannya akan disinggung. Sedang Irfan tidak semacam itu. Irfan mengajarkan apa yang disebut sair wa suluk (pejalanan pendakian menuju Allah). Tentu, sebelum ia memasuki gerbang Irfan (sair wa suluk), terlebih dahulu harus menyelesaikan secara baik ujian teori dan praktiknya dalam berakhlak. Dalam tingkatan pertama sair wa suluk, seorang pemula diperintahkan oleh seorang mursyid untuk meninggalkan semua hal-hal makruh (dalam hukum fikih) yang tentunya ia telah berhasil menjadikan dirinya malakah (terbiasa sehingga seakan telah menyatu) dalam meninggalkan haram dan melakukan wajib yang dibahas dalam akhlak. Bukan hanya meninggalkan hal-hal makruh, ia pun diperintah untuk melaksanakan hal-hal yang sunah (mustahab). Tentu, semua pelaksanaan ini dilakukan oleh seorang pelaku sair wa suluk secara bertahap dengan bimbingan seorang mursyid yang telah ‘sampai’ (al-mursyid al-washil). Bimbingan itu terangkum dalam apa yang disebut dengan dasturul-‘amal (mirip kitab fatwa kalau kita contohkan dalam kajian fikih). Dan dastur-amal yang dikeluarkan oleh seorang mursyid yang manusia sempurna dan menyempurnakan (kaamil al-mukammil) –insan kamil pun memiliki gradasi- yang mengetahui dengan jelas ‘ilmu jiwa’ selain disiplin ilmu yang lain; teology, filsafat (sebagai mukadimah Irfan), Irfan teoritis (mukadimah Irfan Praktis), fikih (untuk mengetahui hukum halal(mubah)-haram-makruh-wajib-sunah (mustahab) dsb. Oleh karena itu, dalam budaya Syiah seorang Arif sejati adalah selain dia seorang teolog, filsuf, pakar irfan nazari (teoritis) dan fakih. Ini syarat minimnya, syarat lazim bukan syarat sempurna. Kenapa harus demikian? Melalui diskusi, nanti akan kita bahas lagi secara detail, insyaAllah. Setelah seorang pesalik pemula sudah malakah dalam melakukan sunah dan meninggalkan makruh, maka sang musyid akan memulai untuk mengajarkannya tarkul-mubaahaat (meninggalkan hal-hal yang diperbolehkan (mubah)). Saya sengaja gak memberi contoh-contoh dalam kasus ini, karena; pertama, saya malu dengan diri saya sendiri. Kedua, saya melihat, belum ada bentuk luarannya di negeri Indonesia, siapapun individunya, hatta ustadz-ustadz kita –dengan tidak mengurangi hormat saya kepada mereka- yang terkenal guru Irfan dan tasawuf sekalipun. Itu contoh konkrit dari ilmu dan amal yang disesuaikan dengan konsep Syariat, Tarekat dan Hakekat. Jadi, yang dimaksud dengan syariat adalah pelaku akhlak + pelaku hukum fikih dalam melakukan kewajiban dan meninggalkan haram. Sedang tarekat adalah pelaku Irfan (tasawuf) pemula + hukum fikih dalam melaksanakan mustahab (sunah) dan meninggalkan makruh. Sedang hakekat adalah pelaku Irfan (pesalik) + pelaku hukum fikih yang hanya berkaitan dengan meninggalkan mubah saja. Lantasapa hukum perbuatannya? Disini akhirnya muncul pembahasan raf’ut-taklif (hilangnya ‘kesengsaraan’) dalam Irfan yang sering diartikan salah oleh para manusia sok sufi dan sok Arif dengan meninggalkan hukum-hukum fikih zahir. Bagaimana hakekatnya? Nanti dapat kita diskusikan lebih lanjut. Sabar itu katanya kekasih Tuhan!?
Di atas tadi adalah bukti konkrit dari tingkatan ilmu dan amal manusia dalam menuju Allah yang terangkum dalam gradasi Syariat, tharekat dan hakakat. Dan itu pun mas Samantho…memiliki efek yang berbeda-beda dalam tingkat ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah). Bagi manusia yang derajat ilmu dan amal-nya hanya pada tingkatan syariat, maka ia hanya sampai pada pen-tauhid-an dari sisi A’alullah (prilaku) al-Haq (Allah) saja. Atas dasar itu, tauhid mereka hanya sampai tauhid fil af’al (pentauhidan prilaku Tuhan) saja yang terangkum dalam kalimat “laa haula wa laa quwwata illa billah”. tok. Akhirnya yang mereka lihat hanya wahdatul af’al (kesatuan prilaku) al-Haq. Ini tauhid Ahli Syariat atau Ahli Zahir “dari” (min bima’na at-tab’idh) para teolog (mutakallim), filsuf, pakar hadis dan pakar fikih. Jadi ahli syariat bukan hanya identik dengan ahli fikih saja. Sedang para pelaku amal dengan didukung ilmu pada tahapan tharekat, hal itu akan menghasilkan tauhid pada nama (asma’) dan sifat (aushaf) al-Haq. Sehingga tauhidnya adalah tauhid fil asma’ was shifat (tauhid dalam penamaan dan pensifatan) yang terangkum dalam ayat huwal awwalu wal akhiru wadz dzahiru wal bathin. Efek dari tauhid ahjli tarekat ini mas Samantho…wahdatus-syuhud (kesatuan dalam menyasikan) yang imam Ali –imam para urafa’- dalam ungkapannya menjelaskan peringkat ini dengan mengatakan “maa raitu syaian illa raitullaha fiihi, qoblahu, ba’dahu” (aku tidak melihat sesuatu (apapun) kecuali aku melihat Allah pada-nya, sebelum dan sesudahnya). Sedang pada tingkatan terakhir yaitu pesalik sejati yang amal dan ilmunya telah sampai pada derajat hakekat (pesalik + pelaku hukum fikih untuk meninggalkan mubah), maka ia telah bertauhid fidz-Dzat al-Haq (tauhid dzat al-Haq). Ia tidak menamai apapun, tidak menunjuk apapun dan mensifati apapun Dzat al-Haq, juga tidak melihat apapun melainkan al-Haq. Imbasnya mas Samantho…ia telah sampai apa yang dimaksud dengan wahdatul-wujud (kesatuan wujud). Dan tentu, akidah memiliki peran yang besar dalam ketiga tingkatan –syariat, tarekat dan hakekat- sebagai pondasi semua ilmu dan amalnya.
Enak membahasnya (dalam berteori) namun terlampau sulit mengamalkannya (dalam praktik). Selama ini di Indonesia kita hanya mendengar teori-teori dalam masalah ini, namun pengajarnya sendiri masih suka mengumpat (ghibah) saudaranya, mengadu-domba (namimah), dengki (hasad) dan masih abnyak lagi prilaku haram lain yang terlontar dari guru-guru yang “konon” pakar tasawuf dan Irfan tersebut. Prilaku sunah seperti shalat malam, sedekah kepada kaum fakir-miskin dsb tiada lagi mereka indahkan. Dalam kamus irfan, tidak ada yang namanya malamatiyah dan semisalnya. Sehingga mungkin pernah antum dengar prilaku para sok sufi (mutashawwifah) yang konon guru dan mursyid tasawuf namun suka duduk di diskotik, atau ungkapan para sok sufi lain yang mengatakan “jika sudah sampai ke tingkat hakekat buat apa lagi shalat. Melaksanakan shalat hanya buat kaum awam yang masih pada tingkatan syariat saja”. Itulah kebodohan mereka tentang tasawuf (Irfan). Padahal Abu Nasr as-Saraj at-Thusi seorang sufi dan pakar tasawuf yang meninggal tahun 378 Hijriyah dalam kitab “al-Luma’ fi at-Tasawuf”, setelah menjelaskan apa hakekat tasawuf dan siapakah sufi hakiki lantas beliau mengatakan: “Para sufi akan tetap memerlukan ulama zahir dalam hal hadis, fikih….”. sedang fikih dan hadis melarang orang melakukan apa yang diyakini kaum malamatiyah tadi. Atas dasar itu, dalam hadis imam-imam Syiah yang tercantu dalamkitab safinatul-bihar disebutkan beberapa hadis tentnag pelaknatan para imam suci Ahlul Bayt as terhadap kaum sufi, yang dimaksud adalah kaum mutasawwifah tadi. Sayang Irfan dan tasawuf hanya jadi obyek ketenaran saja. Kok khayal berirfan, berakhlak yang baik sesuai dengan ajaran ahli zahir (ahli syariat) saja belum mampu. Alhasil, kita tidak tidak membahas hal ini bukan karena tidak mampu secara keilmuan, namun malu secara moral…itu harus antum camkan. Al-ilmu bilaa ‘amal kassyajari bilaa tsamar (ilmu tanpa amal seperti pohon tak berbuah) atau berkaitan dengan hadis lain kallimuuhum bi qodri uquulihim (ajak bicara mereka sesuai kadar kemampuan akalnya). Dalam kasus ini saya tidak bermaksud menyinggung siappun. Saya hanya melihat realita. Dan kalau merasa ada yang tersinggung, berarti dia pelakunya atau pendukung pelakunya. Kalau bukan pelaku, kenapa mesti tersinggung? Saya jadi teringat ungkapan Abu Nasr as-Sarraj at-Thusi seorang pakar tasawuf dalam kitab al-Luma’. Dalam karyanya itu beliau mengatakan: “Saat ini, tasawuf hanya tinggal nama. Ajarannya hanya menjadi legenda…”. Dalam halaman lain beliau mengatakan: “Sekarang ini, harus diketahui dan dipisahkan antara para ahli tasawuf yang asli dan yang mengaku-ngaku sebagai sufi yang berjubah tasawuf”. Saya tidak segan-segan mengkritisi semacam ini karena tidak ada tendensi apa-apa. Dalam Syiah, tidak ada yang namanya “bukan kapasitas saya untuk mengkritisi ustadz”. Imam Ali mengajarkan “Ketahuilah kebenaran niscaya kalian tahu dimana kebenaran itu berada”. Jika siapapun yang dekat dekat kita –termasuk ustadz kita- salah, kenapa mesti diam. Toch kita sudah tahu tolok ukur kebenaran kok…mazhab Syiah mengajarkan kita kritis, kepada siapapun termasuk kritis kepada “sebagian” para sahabat Nabi yang dianggap telah menyimpang...apalagi yang namanya ustadz atau kyai. Tentu, kritisinya tetap dalam bingkai etika Islami dan tolok ukur kebenaran yang benar dan jelas (al-Quran, hadis Nabi dan Ahlul Bayt dan akal sehat). Jadi gak pilih-pilih dalam mengkritisi. Berani mengkritik ustadz fulan yang bukan ustadznya, dan tidak berani ustadz yang lain karenannya ustadznya.
Adapun kaitan fikih, akidah dan akhlak dengan konsep syariat, tarekat dan hakekat, maka saya kira sudah jelas dari penjelasan di atas tadi. Jika anda masih masuk kategori ahli zahir atau ahli syariat, maka amal dan ilmu anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak pun masih sebatas pemahaman zahir saja, tidak masuk sir (rahasia)-nya yang terangkum dalam tahapan tarekat, apalagi sirus-sir (puncak rahasia) yang masuk dalam tahapan hakekat. Begitu juga pemahaman anda berkaitan dengan fikih, akidah dan akhlak dalam tahapan tarekat, maupun hakekat sekalipun. Oleh karena itu, muatan akidah, akhlak dan fikih dalam tiga tahapan dan gradasi ilmu dan amal –yaitu syariat, tarekat dan hakekat- pun masih tetap ada dan tetap terjaga.
Banyak hal yang dapat didiskusikan dalam penjelasan tadi, dan masih abnyak masalah yang masih perlu disinggung. Di sela-sela diskusi nanti kita bisa terapkan. Cuman yang jelas, dari penjelasan tadi dapat diambil konklusi bahwa wacana “Dahulukan akhlak di atas fikih” sama sekali tidak dapat diterapkan disesuaikan dengan konsep gradasi ilmu dan amal dalam dunia Irfan (tasawuf) yang terangkum dalam istilah “syariat, tarekat dan hakekat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar