Sabtu, 27 Maret 2010

syamsuddin: Menghilangkan Aku Menghadirkan Tuhan

syamsuddin: Menghilangkan Aku Menghadirkan Tuhan

Menghilangkan Aku Menghadirkan Tuhan

Dalam kehidupan modern, sering dibedakan antara kebenaran Tuhan dengan kebenaran manusia. Sehingga teologi harus diturunkan pada level kemanusiaan (antropomorfisme). Ketuhanan baru berarti, jika mampu menyelesaikan dan berangkat dari paradigma kemanusiaan. Sampai-sampai sekularisme mensyaratkan “hilangnya Tuhan” demi kemajuan dunia.

Kita tentu bertanya, bagaimana bisa ciptaan terbebas dari pencipta? Bisa kata Newton, sebab alam seperti jam yang memiliki mesin sendiri. Jadi, setelah Tuhan mencipta “jam” itu, maka Dia dianggap nganggur. Manusia dengan akalnya telah mampu melihat dan bahkan menguasai mesin (hukum alam) yang membuat jam berdetak. Maka dimana lagi tersedia ruang bagi Tuhan?

Adalah Muhammad Bagir MA, dosen filsafat dan tasawuf pada Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, yang menjadi salah satu garda depan, dari pihak yang mengritik paradigma ini. Melalui filsafat perenial, sebuah disiplin keilmuan yang menggabungkan antara rasionalitas filosofis dengan dimensi irfani dari tasawuf, ia mencoba mengklarifikasi salah paham akal modern, yang menciptakan degradasi makna berpikir, dari intelek (akal batin), kepada reason (rasio). Baginya, pemisahan antara akal dan jiwa inilah yang membuat manusia modern, menjadi tuhan-tuhan kecil diatas bumi, yang sayangnya tak mampu melepaskan diri dari jerat samsara (kesengsaraan), akibat kedunguan spiritualitas, dan arogansi egoisme. Meminjam Lukacs, manusia modern tengah mengalami transcendental homelessness : hilangnya hubungan harmonis dan keterkaitan batiniyah dengan dunia. Orang tidak lagi menemukan makna dan tujuan hidup, justru ketika berbagai alat kemanusiaan telah dikuasai. Berikut ini wawancara Cahaya Sufi dengan dosen kelahiran Singapura dan lulusan Universitas Qum Teheran tersebut.

Menurut Mas Bagir, bagaimana tasawuf bisa menjelaskan, bahwa ketika berada di jalan Tuhan, maka kita bisa menyelesaikan masalah dunia (kemanusiaan)?

Kita lihat dalam Kristen dulu ya. Dalam Kristen, the word (kalimat) itu mendaging, meat, flesh. Antropomorfisme. Maknanya, Tuhan turun dalam form manusia. Ketika Tuhan turun dalam form manusia, sepertinya Tuhan merasakan kesengsaraan manusia. Dia mau menunjukkan, bahwa Aku dalam form manusia bisa menyelamatkan kalian dari kesengsaraan. Tuhan berkata, bahwa ketika manusia terhubung dengan Aku, mereka bisa selamat, salvation. Sementara dalam Islam kan teo-morfisme, bukan antropomorfisme. Tuhan tidak “mendaging” dalam manusia, tetapi manusia melangit. Jadi teo-morfisme merupakan tajalli Tuhan. Perbedaannya ada tapi tidak mencari mana yang benar mana yang salah. Disini manusia jadi tajalli-nya Tuhan. Berarti manusia jadi refleksi. Dan ketika manusia menjadi tajalli Tuhan, dirinya sendiri sudah tidak ada lagi. Jadi dalam Islam, manusia bisa menghilangkan individualisme untuk mencapai pada the divine (ketuhanan).

Apa kaitannya dengan individualisme?

Semua suffering, masalah dunia di hidup kita kan karena individualitas kita. Karena kita mengakui “aku”, dalam Buddhism kan gitu juga. Kalau aku-nya hilang, ya nggak akan ada masalah. Misalnya kalau kita bawa dalam preposisi: ada subjek ada predikat. Predikat bisa gembira, sedih, aku sedih, aku gembira, aku stress. Coba kalau subjek (aku) -nya hilang, nggak ada apa-apa lagi kan? Kita boleh saja sedih, sakit, tetapi karena “aku” tak ada, maka tak ada yang merasakan segala kesakitan itu.

Nah disini bedanya ilmu akhlak dan metafisik. Misalnya, akhlak takabur. Dalam ilmu akhlak dijelaskan, definisi takabur itu apa, efek yang akan merusak jiwa kita gimana? Jadi kita harus gantikan pada predikat yang positif. Disini ilmu akhlak lebih konsentrasi pada predikat. Tapi selagi ada subjek, tetap ada predikat kan? Sementara irfan dan tasawuf konsentrasi pada subjek. Hilangkan subjek dong. Ketika subjek hilang, Subjek dengan “S” besar muncul. Aku (Ana) yang besar, maka predikat-predikatnya muncul kan, Asmaul husna. Itu namanya tajalli. Dengan cara itu manusia selamat dari segala kesengsaraan dalam kehidupan individualisnya.

Bagaimana cara untuk menghilangkan “aku”?

Harus ada ilmu. Ilmu yang selama ini kita pelajari ada dua macam. Ada accumulatif knowledge, ada yang annihilatif knowledge. Accumulatif itu kan akumulasi. Kita semakin banyak mencari ilmu. Ketika terjadi akumulasi, maka harus ada subjek, dan subjek ini mengakumulasi knowledge. Aku ‘alim, aku mengetahui, aku lebih pintar. Tetapi annihilation, nihilasi (fana’), ilmu yang menghilangkan subjek. Misalnya, laa ilaahaillallah, tiada Tuhan selain Allah. Kenapa? Karena Dia mutlak. Sesuatu yang mutlak, jelas tidak terbatas. Sesuatu yang tidak terbatas, tidak mengizinkan dua realitas. Ketika dia terbatas, pasti ada yang lain. Jadi konsep tauhid juga berkata seperti itu. Tidak ada realitas, selain Dia menghilang semuanya. Kalau hilang subjek ya sudah. Kita akan melihat seluruh alam ini dengan kaca mata Dia, bukan kaca mata individualis lagi. Jadi kalau ada masalah, kita kan sering lari darinya, dan masuk masalah lain. Yang harus kita lakukan seharusnya beyond, melampaui. Apa yang bisa bawa kita keluar dari masalah.

Karena masyarakat modern kan, kalau ingin menyelesaikan masalah ekonomi ya dengan ekonomi, politik dengan politik, dsb. Nah kalau pendekatan spiritual, misalnya kalau kita menghadapi masalah politik, yang kita lakukan adalah “penghancuran kedalam” ya?

Ya, karena kalau sudah hancur aku-nya, yang muncul kan tajalli-nya Allah. Contoh, Banyak teman-teman yang tanya sama saya, “Saya takut mau suluk”. Kenapa? “Kalau saya suluk, mungkin saya akan tinggalkan dunia ini”. Seorang istri akan bimbang kalau suaminya tinggalkan dia, tidak perdulikan nafkah, anak-anak.

Seolah-olah Tuhan itu di barat, dan dunia di timur ya. Kalau ke barat ya harus ninggalin timur?

Makanya saya terus bilang, “Bu, kalau orang suluk, dia akan hilang egonya, individualnya, ananiyah-nya. Yang akan tajalli itu Tuhan. Ketika Tuhan tajalli, Tuhan al-’alim, Tuhan al-raziq, Tuhan arrahman. Lalu ibu akan berinteraksi dengan siapa? Jadi suami ibu nggak ada, yang ada hanya Yang Pengasih dan Penyayang. Pasti dia al-raziq. Ketika dia kerja, kasih uang, dia sebagai al-raziq, bukan sebagai manusia yang memberi nafkah pada isteri. Nah banyak orang melupakan hal ini. Ketika manusia menyatu dengan Tuhan, orang pikir kalau kita mau suluk, kita akan tinggalkan semuanya. Padahal dalam al-Qur’an Allah itu kan wahuwa ma’akum, Dia bersama dengan kalian, ainamaa kuntum, dimana saja kalian berada. Jadi kalau kita menjadi manifestasi Tuhan, kita bukan hanya dengan keluarga, kita bersama dengan semua manusia, pohon, alam, dsb. Contoh. Nabi Muhammad saw. sampai sekarang hadir bersama kita. Nabi Muhammad saw. bukan keberadaan temporal. Sampai sekarang ia bersama kita. Assalamu’alaika ayyuhan Nabi. Jadi bukan terputus dari kehidupan, justru semakin terkait dengan kehidupan.

Nah, ada juga problem Mas. Masyarakat kan sering memisahkan akal dengan hati. Artinya, mungkin bisa dijelaskan perbedaan fungsional antara reason (rasio) dengan intelek (qalbu)?

Kalau reason, kan berada di wilayah ilmu hushuli, konseptual. Padahal ilmu konseptual sebenarnya produksi manusia sendiri. Tapi kalau intelek itu ilmu hudhuri, dimana subjek dan objek tidak terpisah. Antara yang mengetahui dan yang diketahui tidak pernah terpisah. Dia menyatu. Seperti, saya sadar dengan diri saya sendiri. Aku tahu aku. Aku subjek, aku juga objek kan. Demikian juga, aku lapar. Lapar itu satu objek pengetahuan, kita tahu. Subjek ilmu, saya kan. Tapi lapar bukan berada diluar saya, tetapi didalam diri saya sendiri. Bukan identitas saya juga, tetapi sebagian dari aspek saya.

Kalau Maulana Rumi menceritakan perbedaan itu. Diceritakan ada kompetisi melukis, menggambar taman bunga. Satu group minta kanvas, kuas, dan cat yang paling bagus. Sementara group lain hanya minta cermin. Setelah jadi dilihat, oh ini lukisannya bagus, lukisan di kanvas, persis seperti taman, tapi cuma satu dimensi saja. Sementara cermin kan refleksi, oh ini persis sekali. Nah, kalau filsuf itu melukis realitas, dengan konsep, ide dan pemahamannya. Kalau seorang ‘arif, realitas dimasukkan dalam hatinya, cermin itu qalbu-nya. Realitasnya ada didalam cermin, jadi tidak terpisah dari dia. Makanya dalam hadist, “Bumi tidak bisa menempatkan Aku, langit juga tidak bisa, kecuali qalbu mu’min”. Nah dimana kita menempatkan Tuhan yang tidak terbatas? Dengan merefleksikan Dia tentunya.

Cermin itu didalam manusia?

Qalbu itu cermin. Allah ada disitu. Qalbu kan divine, bukan human. Gimana qalbu bisa menempatkan Tuhan yang tidak terbatas, kecuali kalau qalbu itu sendiri adalah Tuhan. Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, maksudnya ya Tuhan yang mengenal diri-Nya sendiri. Nggak mungkin manusia kenal Tuhan. Jadi Tuhan itu mengenal diri-Nya sendiri.

Intelek seperti itu. Kalau ilmu hushuli kan konsep, melukis realitas. Kalau ilmu hudhuri, kita masukkan realitas dalam hati. Kalau kita melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Nabi melihat politik dengan kaca mata Tuhan gimana? Jadi Nabi setiap ada permasalahan selalu bertanya kepada Allah, itu bahasa teologisnya. Tetapi sebenarnya, Aku adalah Dia. Jadi bukan politik humanis lagi, tapi politik divine. Disini filsafat perennial, tasawuf, atau irfan, mau menghidupkan divinity (ketuhanan) dalam diri manusia. Ketika Tuhan hadir, kan alaa bi dzikrillahi tathmainnul qulub. Salah satu nama Tuhanpun al-Mu’min, Yang Memberi Keamanan. Jadi ketika Dia hadir, Dia akan memberi keamanan pada semunya. Khan ada hadist, al-mu’min miratul mu’min (mukmin adalah cermin bagi mukmin). Disini yang bercermin bukan antara dua manusia mukmin, tetapi antara mukmin manusia dengan al-Mukmin (Tuhan).

Di Paramadina saya pernah ditanya, “Tuhan dengan manusia kan beda?” Saya jelaskan, dalam al-Qur’an ada ayat tentang Nabi Muhammad, innama ana basyarun mistlukum (Sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian). Saya bertanya pada Bapak itu, “Pak, disini jelas bahwa Muhammad itu seperti manusia, seperti kalian, mistlukum. Seperti, jadi sebenarnya bukan persis manusia. Lalu kalau begitu, Muhammad itu apa?”

Maksudnya?

Tuhan mau menyelamatkan manusia di bumi ini. Tetapi kalau Tuhan menurunkan manusia, sama kan, kualitas, kharakter. Jadi nggak bakal selamat. Maka yang harus membimbing manusia itu harus Aku, kata Tuhan. Makanya Aku akan jadikan manusia, khalifah: cermin Aku sendiri. Jadi Tuhan, mau membimbing manusia tanpa meninggalkan langit, caranya bagaimana? Bahasa simbolisnya kan. Kalau Tuhan turun, langit kosong dong. Khan di al-Qur’an, fi al-samaai Ilaahun fi al-ardli Ilaahun (di langit Tuhan, di bumi Tuhan). Satu cara untuk Tuhan turun ke bumi, tanpa meninggalkan langit itu, taruh cermin dibawah, namanya khalifatullah. Dia sendiri yang datang. Al-Haadi, Yang Memberi Petunjuk.

Cara atau metodologi dalam kedua ilmu yang berbeda itu seperti apa Mas? Al-Ghazali berkata, bahwa pencarian kebenaran tidak hanya melalui rasio, tetapi juga eksperimental ruhaniyah. Apakah seperti itu?

Mereka yang belum menyadari kehadiran intelek, paling tidak memiliki panca indera, dan rasio. Indera kita gunakan untuk melihat, afalaa tadabbarun, kamu lihat langit dan bumi, dan kamu kontemplasi. Rasio untuk berpikir. Sementara proses pemikiran kan berada dibawah bimbingan wahyu, dari Dia juga. Jadi tidak terputus dari Tuhan. Nah kita gunakan semua ini, untuk diarahkan pada kesadaran intelektus tadi. Ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.

Pertama, kita harus menempatkan diri kita dalam ruang agama. Tidak mungkin diluar agama. Sekarang di Barat ada yang nggak pakai agama, spiritual universal. Kata mereka, kalau sudah terikat oleh agama, maka tidak universal lagi. Padahal kalau kita terikat pada satu agama, kita makin universal. Karena tidak mungkin ada universal tanpa partikular. Contoh. Orang bilang kalau sudah ada batin, nggak butuh dhahir lagi. Bisa nggak saya bilang, saya kenal atas, tapi bawah saya nggak tahu? Nggak bisa kan. Kenal atas karena kenal bawah. Dhahir itu ada, karena ada batin kan, demikian sebaliknya. Nah, dalam agama ada jalan esoteris, jalan yang menghubungan manusia dengan al-Haq. Manusia harus ikut jalan itu. Itu syarat yang berada diluar diri manusia.

Kedua, cara yang ada dalam diri manusia. Yakni himmah (aspirasi yang tinggi). Kata Syeh Ahmad Mustafa al-Alawy, dalam buku Sufi Abad ke-20 (Mizan), syarat minimal jika manusia ingin menuju Tuhan adalah himmah, aspirasi yang tinggi untuk mendekatkan diri pada-Nya. Misal, dalam satu tempat yang gelap, maka satu lubang cahaya yang dikit saja, itu sudah cukup. Kalau nggak ada lubang, semua tertutup, kita nggak bisa melampaui ruang yang gelap.

Kata hadist Qudsy, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta”.

Ya. Ketika ada aspirasi baru ada respon, Jadi adzkuruunii adzkurukum, jika kau mengingat Aku, maka Aku pun mengingatmu. Setelah himmah, maka harus ada iman. Iman kepada agama. Agama terbentuk dari wahyu, dan wahyu sebenarnya manifestasi dari Dia, jadi iman kepada Dia sebenarnya. Ini yang subjektif, himmah dan iman. Sementara yang objektif tadi, agama dan jalan dalam agama. Seorang sufi berkata, “Dari Tuhan kepada manusia ada jalannya. Tapi dari manusia ke Tuhan, nggak ada jalannya”. Jadi kalau ada orang tenggelam, yang melempar tali itu siapa? Orang yang dikapal atau yang tenggelam? Jadi jalan dari kapal ke laut ada, tapi kalau sebaliknya tidak ada. Oleh karena itu syariat dari Tuhan, bukan manusia yang membuat syariat. Jalan thariqah pun harus dari Tuhan. Karena kita kan berada di luar, mau kedalam. Apa kita buat jalan sendiri? Nggak mungkin. Itu yang saya maksudkan, agama harus ada “jalan kedalam”, dari batin agama itu sendiri.

syamsuddin: KAJI FILSAFAT ETIKA, DUNIA IDEA DAN LOGIKA

syamsuddin: KAJI FILSAFAT ETIKA, DUNIA IDEA DAN LOGIKA

KAJI FILSAFAT ETIKA, DUNIA IDEA DAN LOGIKA

Tulisan ini memerikan / mendeskripsikan perkembangan pemikiran dari keprihatinan moral Socrates menuju gagasan Dunia Idea Plato dan bermuara kepada Logika Formal Aristoteles. Uraian ini cukup menarik mengingat ketiga tokoh filsuf Yunani ini berpengaruh besar terhadap pemikiran filosofis hingga sekarang.

Pengungkapan ini diharapkan menyadarkan kita bahwa pemikiran filosofis yang terlihat 'abstrak', besar dan 'melangit' sebetulnya merupakan hasil proses pergulatan dan pergumulan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Tidak ada logika Aristoteles tanpa Idea Plato dan tidak ada Idea Plato tanpa keprihatinan moral Socrates. Bisa dikatakan 'pemikiran langit' berpijak pada 'kehidupan bumi'.

Sekarang marilah kita lanjutkan pada pembahasan Logika Formal Aristoteles sebagai penutup seri pembahasan tentang perkembangan pemikiran filosofis Socrates, Plato dan Aristoteles.

LOGIKA FORMAL ARISTOTELES
Pedebatan adu argumentasi yang terjadi antara Socrates dan Plato dengan kaum Sofis yang relativistik menjadi kajian yang sangat menarik bagi Aristoteles untuk menganalisis penggunaan bahasa dan bentuk-bentuk pemikiran. Ditemukan oleh Aristoteles bahwa bahasa sangat terkait dengan penalaran manusia; bahwa bahasa adalah lambang pemikiran; bahwa terdapat kaidah-kaidah berpikir yang universal dan dapat menguji kesahihan bentuk-bentuk penalaran.

Mengenai bentuk penalaran, Aristoteles juga menemukan dua (2) alur atau cara berpikir, yaitu analitika dan dialektika. Analitika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesa menuju penyimpulan yang bersifat mungkin. Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang disebut logika. Oleh karena itu, Aristoteles boleh dipandang sebagai penemu logika yang memainkan peranan penting dalam sejarah intelektual umat manusia. Aristoteles sendiri tidak menyebutnya dengan logika melainkan analitika. Hal ini menunjukkan kecendrungan cara berpikir Aristoteles yang analitik yang dicirikan dengan keketatan dan jelasnya penggunaan term-term.

Menurut McKeon dalam Introduction to Aristotle (The Modern Library, New York, 1947), tulisan-tulisan logika Aristoteles terdapat pada enam buku yang kemudian secara tradisi dikelompokkan menjadi sebuah nama, Organon. Keenam buku asli Aristoteles yang membahas logika itu adalah Categories, On Interpretation, Prior Analytics, Posterior Analytics, Topics, dan On Sophistical Refutations. Buku yang disebut terakhir inilah, On Sophistical Refutations, membeberkan kesalahan-kesalahan penalaran (fallacious argument) yang dilakukan oleh kaum Sofisme. Dalam buku itu, Aristoteles tidak luput pula menyerang kaun Sofis dengan menyebutkan 13 tipe kesesatan dengan perincian: enam (6) kesesatan karena bahasa dan tujuh (7) kesesatan relevansi mengenai materi penalaran. Perincian kesesatan-kesesatan penalaran kaum Sofis tentunya tidak dibahas di sini.

Sesuai dengan maksud tulisan kali ini, kita tidak akan membahas panjang lebar hal ihwal logika Aristoteles. Yang perlu ditandaskan di sini, pernyataan tentang Aristoteles yang menemukan logika adalah dalam pengertian bahwa Aristoteles untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia yang menyusun secara sistematis kajian logika. Sebelum Aristoteles, Socrates dan Plato telah menggunakan prinsip-prinsip logika dalama rgumen-argumen mereka, bahkan, termasuk kaum Sofis, meski yang terakhir ini memakainya secara keliru untuk menyesatkan penalaran.

Seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan Socrates telah mengandung unsur-unsur logika. Misalnya, pernyataan Socrates: "Setiap kebajikan adalah kesalehan, tapi tidak setiap kesalehan adalah kebajikan", telah mempekenalkan pengertian genus (kesalehan) dan spesies (kebajikan), dua konsep/pengertian yang kerap dipakai dalam logika Aristoteles. Kalimat Socrates itu identik dengan pernyataan logika: "Setiap anjing adalah binatang, tapi tidak setiap binatang adalah anjing." Karena, binatang adalah genus, sedangkan anjing adalah spesies atau anggota dari genus binatang.

Upaya pencarian definisi umum pengertian-pengertian etis Socraes juga telah mengandung makna identitas dari masing-masing pengertian etis tersebut. Lalu, oleh Aristoteles pengertian-pengertian ini diperluas mencakup entitas-entitas lain, tidak terbatas pada etika.

Dengan menganalisis definisi, spesies, genus, muncullah istilah kategori yang didefinisikan sebagai 'ultimate concept', yaitu pengertian yang sifatnya paling umum sehingga tidak bisa diturunkan dari pengertian lain. Ada sepuluh (10) kategori menurut Aristoteles, yaitu substansi (contoh: manusia), kuantitas (contoh: dua), kualitas (bagus), relasi (separuh), tempat (di toko), waktu (sekarang), keadaan (berdiri), posesi (bersepatu), aksi (membakar), dan pasivitas (terbakar).

Selain substansi (ousia= ousia), sembilan ketegori lainnya termasuk ke dalam aksiden (pathos= pathos). Nah, kedua pengertian ini juga telah digunakan Socrates dalam dialognya dengan Euthyphro (lihat kolom Dari Etika ke Logika bagian 2). Masalah kategori ini dibahas khusus oleh Aristoteles dalam bukunya Categories.

Pengaruh ajaran Plato juga nampak dalam buku Aristoteles, Prior Analytics. Dalam buku itu termuat bahwa Aristoteles menemukan bentuka penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan silogisme (syllogismos=syllogismos). Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya; berangkat dari hal-hal umum menuju hal-hal khusus. Kesahihan deduksi tidak tergantung kepada pengalaman inderawi, tapi semata-mata kepada konsistesi rasio.

Oleh karena itu, kebenaran silogisme adalah termasuk kebenaran apriori. Hal ini mengingatkan kita kepada teori pengetahuan Plato yang mengklaim bahwa kebenaran berasal dari Dunia Idea-Idea; pengetahuan inilah yang disebut episteme (episteme), suatu istilah yang menjadi akar dari kata epistemologi yang terpakai sampai sekarang. Sedangkan pengalaman indrawi, menurut Plato, hanyalah menggingatkan kembali apa yang dulu telah diketahui di Dunia Idea, yang disebut dengan anamnesis.

Menurut David Ross dalam Aristotle (Methuen & Co. Ltd., London, 1960), istilah syllogismos sendiri berasal dari Plato ketika mengemukakan Dunia Universal, hanya saja Plato belum menggunakannya lebih jauh untuk menarik kesimpulan secara umum sebagaimana yang kemudian digunakan Aristoteles. Aristoteles sendiri menyebut silogisme Plato itu dengan istilah weak syllogism (silogisme lemah).

Dengan demikian, silogisme Aristoteles boleh dipandang sebagai perkembangan dari "silogisme lemah" Plato, dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah digunakan secara umum dan sistematis. Berikut disajikan perbandingan kedua jenis silogisme tersebut:

Silogisme lemah Plato:
Dunia Idea-Idea adalah universal
Keadilan mengandung Idea
________________________________
Keadilan mengandung (nilai) universal


Silogisme umum Aristoteles:
Semua manusia akan mati (Premis mayor)
Socrates adalah manusia (Premis minor)
_____________________
Socrates akan mati (Konklusi)


ETOS LOGIKA
Sesuai dengan tujuan tulisan ini, berikut akan kita paparkan sedikit etos atau semangat yang melatarbelakangi studi logika. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa logika lahir dari pergumulan filsuf untuk memperjuangkan nilai-nilai obyektivitas dan universalitas dalam berpikir dan bertindak. Socrates dan Plato tampil secara gigih melawan kaum Sofisme yang menganut paham relativisme, skeptisisme, subyektivisme dan, bahkan, nihilisme.

Kedua tokoh filsuf Yunai klasik ini berjuang keras untuk menunjukkan adanya nilai-nilai kebenaran yang obyektif, absolut dan universal; terutama dalam lapangan moralitas yang mereka geluti. Aristoteles lah kemudian yang merumuskan perjuangan moral Socrates dan Plato ke dalam aturan-aturan berpikir secara sistematis. Dengan kata lain, logika lahir sebagai kristalisasi dari perjuangan moral.

Kata logika (Inggris: logic, Yunani: logikos) berarti sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), akal budi yang teratur, konsisten, dan sistematis. Kata logika memiliki akar kata yang sama dengan kata logos berarti ucapan, kata, akal pikiran, studi tentang, pertimbangan tentang, ilmu tentang. Makna logos mengacu kepada sesuatu yang dapat dimengerti (reasonable), keteraturan akal budi, konsistensi penalaran, dan sistematika pemikiran. Secara ringkas dapat disebutkan beberapa padanan dari kata logos: utterance, statement, argument, account, definition, formula, ratio, language, reason, principle.

Kata logos sering dipakai sebagai lawan dari kata mitos. Dalam hal ini filsafat dikatakan sebagai upaya manusia untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu mitos dengan menggunakan logos. Penerjemahan kata logos menjadi logika ini kerapkali hanya dipahami dalam pengertian teknis, yaitu sejenis metode menalar yang tepat guna melahirkan cara berpikir yang benar, menarik kesimpulan yang tepat. Padahal jika kita menyingkap makna kata logos dalam arti yang lebih luas, maka terdapat yaitu etos atau semangat (geist), cara-pandang, sikap, dan paradigma yang terkandung dalam konsep logos itu. Dalam hal ini, logos juga menolak cara berpikir stigmatisasi atau stereotip. Stigmatisasi/stereotip adalah pelekatan suatu nilai yang dianggap dimiliki secara permanen oleh suatu kelompok atau komunitas tanpa melihat keragaman dan dinamika di antara anggota-anggotanya.

Semangat atau etos logos (logika) itu adalah pertanggungjawaban (account) rasio manusia yang dapat dikomunikasikan kepada sesama (proses saling memahami), transparansi maksud pikiran dan rencana; karena itu makna logos sebagai kata dimaksudkan sebagai pengungkapan pikiran yang dikomunikasikan melalui simbol bahasa yang dimengerti oleh penyampai gagasan dan penerima gagasan (pendengar). Hal ini secara seratus delapan puluh derajat berseberangan secara diametral dengan gejala skizofrenia, sofistik, relativistik.

Gejala skizofrenia yang dimaksud di sini bukanlah dalam artian medis atau sejenis patologi psikis, melainkan sebuah patologi sosial, budaya dan filosofis. Manusia skizofrenik menderita kehilangan kemampuan mengenal realitas obyektif di luar dirinya sehingga seakan-akan ia hidup di dunia ilusi dan khayalan dirinya sendiri. Ia tidak mampu membedakan antara khayalan subyektif dirinya dengan realitas obyektif di luar dirinya. Kaum skeptisisme, subyektivisme, relativisme dan nihilisme termasuk kaum yang mengidap skizofrenik.

Jadi, beberapa etos yang terkandung dalam konsep logos itu adalah : rasionalitas, eksplanasi (penjelasan), konsistensi, komunikasi, transparansi, pertanggungjawaban, dan keterarahan/sistematika berpikir, kejernihan berpikir, lebih mengandalkan rasio daripada emosi, keteraturan daripada anarki, dan ketepatan penggunaan istilah. Oleh karena itu, logika berperan menghilangkan kerancuan dan kesemena-menaan makna kata-kata melalui studi definisi, misalnya : perdebatan kontemporer tentang konstitusi, sistem presidensial, parlementer, dekrit presiden, oposisi, kebebasan, demokrasi, reformasi, teroris, jihad.

Salah satu implikasi makna logos itu adalah digunakannya kata logos pada setiap jenis ilmu pengetahuan (pengetahuan yang sistematis, metodis, dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, rasional), yaitu seperti : biologi, psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi, farmakologi, teologi.

PENUTUP: KESIMPULAN
Urain-uraian yang telah dipaparkan dalam empat tulisan berturut-turut membawa kita untuk menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

(1) Terdapat kesinambungan pemikiran Socrates, Plato dan Aristoteles meskipun di antara mereka, terutama Plato dan Aristoteles, memiliki perbedaan-perbedaan pandangan filosofis.

(2) Terjadi perkembangan yan sangat menarik bagaimana motivasi etis Socrates diformulasikan menjadi teori Idea Plato dan mengkristal dalam logika Aristoteles.

(3) Berkaitan dengan butir (2) di muka, dapat disebutkan pula bahwa telah terjadi lompatan wacana etika menjadi wacana logika; keprihatinan etis mengalami transformasi menjadi wawasan logos.

(4) Perkembangan filsafat Yunani klasik bermula dari pertanyaan-pertanyaan Socrates yang lalu dicoba dicari jawabannya oleh Plato dan kemudian disusun secara sistematis oleh Aristoteles.

(5) Dengan mengacu kepada sejarah pemikiran filosofis Yunani klasik ini kita dapat mengambil pelajaran bagaimana proses perumusan dan penyelesaian problem-problem filosofis. Inilah salah satu alasan mengapa ulasan sejarah filsafat masih sangat relevan dipelajari sekarang, sejauh diuraikan dengan cara apik, bernas dan sistematis sedemikian rupa sehingga dapat diambil nilai-nilai, pesan-pesan universal atau hikmah-hikmahnya.

RENUNGAN
Dapatkah pelbagai krisis multidimensional (moral, sosial politik, ekonomi, intelektual, spiritual) yang melanda bangsa kita sekarang secara kreatif kita transformasikan menjadi obor dan semangat untuk melakukan gerakan pencerahan pemikiran dalam masalah-masalah keagamaan, kemanusiaan, kemasyarakatan dan kebangsaan?
BAB I
PENDAHULUAN

Selayang Pandang Aliran Salafiyah
Salafiyah (Arab: سلفي ), (Indonesia: pendahulu atau generasi awal), adalah sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sebagai paham dasar.
Awal penggunaan istilah yang muncul di dalam kitab Al-Ansab karangan Abu Sa'd Abd al-Kareem al-Sama'ni, yang meninggal pada tahun 1166 (562 dari kalender Islam). Di bawah untuk masuk dalam pemikiran al-Salafi ujarnya, "Ini merupakan pemikiran ke salaf, atau pendahulu, dan mereka mengadopsi pengajaran pemikiran berdasarkan apa yang saya telah mendengar."
Salafis melihat tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dan dua generasi berikut setelah mereka, Tabi'in dan Taba 'at-Tabi'in, sebagai contoh bagaimana Islam harus dilakukan. Prinsip ini berasal dari aliran Sunni, hadits (tradisi) diberikan kepada Nabi Muhammad:















BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Salafiyah dan Istilah-Istilah Salafiyah
Salafiyah menurut Etimologi Bahasa Arab Kata "Salaf" adalah kependekan dari "Salaf al-Ṣāliḥ" (Arab: السلف الصالح), yang berarti "terdahulu". (Arab: سلفي ), (Indonesia: pendahulu atau generasi awal),.bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: adalah sebuah gerakan paham politik Islamisme yang mengambil leluhur (salaf) dari patristik masa awal Islam sebagai paham dasar Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in) Ketiga generasi ini dianggap sebagai contoh bagaimana Islam dipraktekkan.
Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban, untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).Di bawah untuk masuk dalam pemikiran al-Salafi ujarnya, "Ini merupakan pemikiran ke salaf, atau pendahulu, dan mereka mengadopsi pengajaran pemikiran berdasarkan apa yang saya telah mendengar." Salafis melihat tiga generasi pertama dari umat Islam, yaitu Muhammad dan sahabat-sahabatnya, dan dua generasi berikut setelah mereka, Tabi'in dan Taba 'at-Tabi'in, sebagai contoh bagaimana Islam harus dilakukan. Prinsip ini berasal dari aliran Sunni, hadits (tradisi) diberikan kepada Nabi Muhammad “Orang-orang dari generasi yang terbaik, maka orang-orang yang mengikuti mereka, kemudian mereka yang mengikuti kedua (yakni tiga generasi pertama dari umat Islam).”
B. Penggunaan Istilah Salaf Pada Masa Kini
Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang terkadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari Eropa," dan "mencoba menyingkirkan akar modernitas di dalam peradaban Muslim." Penggunaan "yang cukup berbeda" kedua yang lebih disenangi oleh para Salafi kontemporer secara sepihak, mendefinisikan seorang Salafi sebagai Muslim yang mengikuti "perintah kitab suci ... secara literal, tradisional" dan bukannya "penafsiran yang nampak tak berbatas" dari "salafi" awal. Para Salafi ini melihat ke Ibnu Taimiyah, bukan ke figur abad ke 19 Muhammad Abduh, Jamal al-Din, Rashid Rida.
C. Para Ulama yang Tergolong Salaf
Kelompok Ahli Hadist: Al Bukhary,Muslim,Abu Daud,Abu Hatim,Abu Zur'ah, At-Tirmidizy, An-Nasa'i.
Kelompok Ahli tasawuf: Ibnu Taimiyah da Ibnu Hambal.
D. Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?
Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk. Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).
Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7) Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” .
E. Pemikiran–Pemikiran Aliran Salafy Kategori Aqidah
Kiamat 2012" Mengguncang Aqidah
Kiamat 2012 mengguncang dunia, demikian headline di beberapa media massa akhir-akhir ini, ternyata isi beritanya tentang sambutan gegap gempita dari masyarakat dunia terhadap sebuah film yang bercerita tentang terjadinya kiamat pada tahun 2012 . Film ini diangkat dari ramalan bangsa Maya kuno paganis yang berasal dari Meksiko, bahwa “kiamat” yang dimaksud akan terjadi pada 21 Desember 2012.
Berbicara tentang ramalan kiamat sebenarnya bukan hal baru, banyak sekali paranormal dan tukang ramal sejak dulu telah menyesatkan masyarakat dengan ramalan waktu terjadinya kiamat, namun satu yang pasti: semua ramalan tersebut tidak pernah terbukti sama sekali. Anehnya masih banyak juga yang mau percaya, bahkan rela merogoh kocek hanya demi menonton film tersebut.
Meski kami tahu, alhamdulillah kaum muslimin pada umumnya tidak mudah terpengaruh untuk percaya dengan ramalan-ramalan tersebut, bahkan ada seorang muslim yang sangat awam mengatakan, “kiamat di tangan Allah bukan di tangan orang-orang Hollywood”.
Akan tetapi kewajiban kita sebagai muslim untuk saling menasihati, mengingatkan saudara-saudara kita, ternyata ada bahaya besar di balik film tersebut, yaitu bahaya atas aqidah seorang muslim.
Kapan terjadi kiamat termasuk ilmu ghaib, hanya Allah Tabaraka wa Ta’ala yang memiliki ilmunya
Tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan tentang waktu terjadinya kiamat adalah termasuk perkara ghaib, hanya Allah Ta’ala saja yang tahu kapan terjadinya kiamat, tidak ditampakkan kepada makhluk-Nya karena suatu hikmah. Allah Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Mereka bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.” (QS Al-A’raf: 187)
Bahkan malaikat yang paling mulia sekalipun, yaitu Jibril ‘alaihissalam dan Rasul yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga tidak mengetahui kapan terjadinya kiamat.
Sehingga ketika Jibril ‘alaihissalam datang dalam bentuk seorang laki-laki dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “kapan terjadinya kiamat”, sebuah pertanyaan untuk mengajarkan kepada para sahabat bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya kiamat kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, maka dijawab oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “Tidaklah orang yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya.” (sebagaimana dalam hadits yang panjang, yang dikenal dengan istilah hadits Jibril, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, lihat hadits Arba’in ke-2).
Demikian opini umum yang tersebar di tengah masyarakat dan media massa, terlepas dari benar tidaknya film tersebut bercerita tentang kiamat atau sekedar bencana alam. Sampai-sampai salah seorang paranormal terkenal di negeri ini sok mengatakan, “paranormal tidak bisa menembus tahun 2013” .
Maka untuk meluruskan kesalah pahaman sebagian saudara kami tentang tulisan ini maka kami tegaskan bahwa artikel ini bukan sebagai “resensi” ataupun “bantahan ilmiah” terhadap film tersebut, melainkan untuk meluruskan aqidah kaum muslimin (yaitu kesyirikan ramal-meramal) dan menutup celah penyimpangannya. Adapun tentang film itu sendiri sudah dimaklumi kalau berisi gambar bernyawa, menampakkan aurat, membuang-buang harta dan waktu dan kemungkaran-kemungkaran lainnya, sebagaimana film-film yang lain
Kesimpulan
Mempercayai ramalan terjadinya kiamat pada tahun 2012 termasuk kesyirikan dan kekafiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (terlepas dari benar tidaknya film tersebut berbicara tentang kiamat atau sekedar bencana alam). Lalu bagaimana mungkin seorang mukmin bisa terhibur dengan film, maupun acara-acara perdukunan seperti The Master dan lainnya yang berdasarkan pada sesuatu yang sangat dimurkai Allah!?
Padahal setiap mukmin tidak saja dituntut untuk menjauhi kekafiran, tapi juga dituntut untuk membenci kekafiran tersebut dan pelaku-pelakunya. Inilah satu permasalahan penting dalam aqidah seorang muslim yang dikenal dengan istilah al-wala’ wal bara’, kecintaan dan permusuhan. Bahwa cinta seorang mukmin kepada iman dan orang-orang yang beriman dan kebenciannya kepada kekafiran dan orang-orang kafir. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan teladan yang baik dalam hal ini:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
"Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
F. Pemikiran–Pemikiran Aliran Salafy Kategori Fiqih
a. Seputar Masalah Sholat (Syarat, Rukun dan Wajib Sholat)
Syarat-Syarat Shalat
Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya. Adapun syarat-syaratnya ada sembilan: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk), 4. Menghilangkan hadats, 5. Menghilangkan najis, 6. Menutup aurat, 7. Masuknya waktu, 8. Menghadap kiblat, 9. Niat.
Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan menghindari hal-hal yang membatalkannya,). Adapun yang dimaksud dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat tersebut.
Rukun-Rukun Shalat
Rukun-rukun shalat ada empat belas: 1. Berdiri bagi yang mampu, 2. Takbiiratul-Ihraam, 3. Membaca Al-Fatihah, 4. Ruku', 5. I'tidal setelah ruku', 6. Sujud dengan anggota tubuh yang tujuh, 7. Bangkit darinya, 8. Duduk di antara dua sujud, 9. Thuma'ninah (Tenang) dalam semua amalan, 10. Tertib rukun-rukunnya, 11. Tasyahhud Akhir, 12. Duduk untuk Tahiyyat Akhir, 13. Shalawat untuk Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, 14. Salam dua kali.
Wajib-Wajib Shalat
Setelah pada edisi yang lalu dijelaskan syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, sekarang akan dibahas hal-hal yang wajib dalam shalat atau dengan istilah lain wajib-wajib shalat, dan akan dibahas pula sunnah-sunnah dalam shalat.
Adapun wajib-wajib (hal-hal yang wajib dalam) shalat itu ada delapan:
1. Semua takbir, selain Takbiiratul Ihraam,2. Mengucapkan Sami'allaahu liman hamidah bagi imam dan yang shalat sendiri,3. Mengucapkan Rabbanaa walakal hamdu bagi semua
4. Mengucapkan Subhaana rabbiyal 'azhiim saat ruku'
5. Mengucapkan Subhaana rabbiyal a'laa saat sujud
6. Mengucapkan Rabbighfirlii antara dua sujud
7. Membaca Tasyahhud awal
8. Duduk untuk tasyahhud awal.
b. Seputar Sholat Tarawih Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam Masalah ini terdapat dua Pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf (2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (6/282). Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata: “Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia (shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan) sendirian…”.
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para shahabat mengikuti shalat beliau, kemudian pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin banyak (yang mengikuti shalat Nabi ), kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya seseorang apabila shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah)
3. Perbuatan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu 'anhum 'ajma'in . Ketika ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu ‘anhu sebagai imam.
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied.
5. Karena shalat berjamaah yang dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang shalat .
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin Tsabit z, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah .
Pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
Bahwasanya Nabi SAW memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah) . Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi . karena dengan wafatnya beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam:

إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْر
“Sesungguhnya Allah telah menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad, Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini sanadnya shahih”, sebagaimana dalam(Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Salamah bin ‘Abdurrahman,
Beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ...
“Tidaklah (Rasulullah n) melebihkan (jumlah rakaat) pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)
2. Dari Saaib bin Yazid Beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“’Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1) Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
2) كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
3) Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْر
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR. Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243
no. 798, dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
c. Hukum Rokok dalam Perspektif Salafiyah
Banyak orang yang tidak mengetahui atau tidak mau tahu tentang apa itu hukum dari rokok, sehingga banyak dari kita yang terjerumus ke dalamnya dan tanpa merasa malu lagi untuk menghisap rokok ini di depan umum.
Sesungguhnya apa hukum rokok itu???
Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk memakan dengan makanan yang halal dari rizki yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah berikan kepada hamba-Nya, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman yang artinya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaithon itu adalah musuh yang nyata bagimu”(QS. Al-Baqarah:168).
Maka jelaslah ayat di atas tersebut perintah dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kepada hamba-Nya untuk makan makanan yang halal juga yang baik yang tidak ada kemudharatan atau bahaya bagi badan atau menyakiti tetangga atau menyia-nyiakan harta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan kemudharatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Rasul menghalalkan yang baik bagi mereka dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk“. (QS. Al-A’raf:157)
Diantara kemudharatan pada zaman sekarang ini yang banyak dari kaum muslimin lalai dari padanya, baik dari kalangan pemuda ataupun yang dewasa yang kebanyakan dari mereka tidak mengetahui keburukan-keburukannya adalah apa yang terdapat pada rokok. Sehingga tidak sedikit dari meteka yang secara terang-terangan merokok di depan orang banyak tanpa mengenal rasa malu, mereka tidak menjaga kehormatan-kehormatan orang-orang yang berada di sekelilingnya, sehingga mereka menganggap ini merupakan suatu hal yang biasa. Padahal sudah jelas bahwasanya rokok merupakan sesuatu yang haram dan juga merupakan sesuatu yang buruk yang dapat mendatangkan bahaya bagi diri dia sendiri dan bagi orang lain. Dari Sa’id Al-Khudriy Radliallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اَضَـرَرَوَلاَضِـرَارَ
“Tidak boleh memberi mudharat (kepada orang lain) dan tidak boleh saling menimpakan mudharat satu sama lain” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni dll dan hadits hasan)
Keburukan-Keburukan Rokok
* Rokok dapat membunuh secara perlahan-lahan
* Rokok tidak dapat menghilangkan lapar dan dahaga
* Menyia-nyiakan harta
*Rokok terdapat bau busuk yang bisa menyakiti (mengganggu) tetangganya (sekitarnya)
* Merokok merupakan sebab-sebab tidak dikabulkannya doa .

G. Pemikiran Aliran Salafy kategori firqoh –firqoh
a. Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir
Siapa mereka ?Apa Itu Hizbut Tahrir?
Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1). Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)
Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan: “Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi Dakwah HT, hal. 40-41). Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul.
Allah Ta’ala menegaskan:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلاً أَنِ اُعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)
Tujuan dan Latar BelakangMewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hal. 2, 54 )
Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi? Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang didalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang didalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah. Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut .” Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah? Jawabannya adalah, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” .
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)
Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.
Al-Maududi juga berkata: “Kalau seseorang ingin membersihkan bumi ini dan menukar kejahatan dengan kebaikan… tidak cukup bagi mereka hanya dengan berdakwah mengajak manusia kepada kebaikan dan mengagungkan ketakwaan kepada Allah serta menyuruh mereka untuk berakhlak mulia. Tapi mereka harus mengumpulkan beberapa unsur (kekuatan) manusia yang shalih sebanyak mungkin, kemudian dibentuk (sebagai suatu kekuatan) untuk merebut kepemimpinan dunia dari orang-orang yang kini sedang memegangnya dan mengadakan revolusi.” (Al-Ususul Akhlaqiyah lil Harakah Al-Islamiyyah, hal. 17-18)
b. Sayyid Quthb. Pernyataan Sayyid Quthb dalam beberapa karyanya yang mengarahkan dan menggiring umat ini untuk menyikap lingkungan dan masyarakat serta pemerintahan muslim sebagai lingkungan, masyarakat, dan pemerintahan yang kafir dan jahiliyah. Pemikiran ini berujung kepada tindakan kudeta dan penggulingan kekuasaan sebagai bentuk metode penyelesaian problema umat demi terwujudnya Khilafah Islamiyyah.
Metode berpikir seperti tersebut di atas disuarakan pula oleh tokoh-tokoh mereka yang lainnya seperti Sa’id Hawwa, Abdullah ‘Azzam, Salman Al-‘Audah, DR. Safar Al-Hawali, dan lain-lain .
Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits Ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka. Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru). Demikian pula (Hizbut Tahrir, red) menolak hadits Ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin. Diantaranya adalah: keistimewaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam atas para nabi, syafaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari Kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-Shirath), Telaga (Al Haudh, red) dan Timbangan Amal di hari Kiamat (Al Mizan, red), munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di akhir zaman, dan lain sebagainya.
Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Diantaranya adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya . (Hizbut Tahrir Indonesia menolak hal ini mentah-mentah, padahal fatwa ini ma’ruf terkenal di luar Indonesia, hal ini tidak lain agar ummat yg sudah direngkuhnya tidak lari karenanya, red).
Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah
Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:
1. Mendirikan Partai Politik
Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai atau pendukung)
2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)
Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:
- Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap HT.
-Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya. Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” .
Betapa ironisnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka: “Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa. ”
- Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka. Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir .
- Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam.
b. Membongkar Kesesasatan (Dalil-dalil Manqul LDII)
Disini akan kami sebutkan dalil-dalil mereka dalam hal manqul dan akan kami jelaskan kedudukan dalil atau pemahaman dari dalil itu - Insya Allah - .
Diantara dalil mereka:
Pertama, Firman Allah Ta'ala:
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِه ِ(16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَه ُ(18) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ(19(
”Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya. [Al Qiyamah:16-19]

وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْءَانِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ ..
"Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu." [Thaha:114]
Kajian Ibnu Katsir mengatakan: firman Allah …ولا تعجل بالقرآن seperti firman Allah dalam surat (al Qiyamah) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ …لاتحرك به لسانك…terdapat riwayat dalam kitab Ash Shahih dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan: "Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengalami usaha yang payah dalam menghafal wahyu, sehingga beliau menggerak-gerakkan lidahnya (untuk menghafal-pent), maka Allah turunkan ayat ini. Yakni bahwa Nabi dulu, jika datang kepada beliau Malaikat Jibril dengan wahyu maka setiap kali Jibril mengucapkan satu ayat Nabi menirukannya karena semangatnya untuk menghafal, maka Allah bimbing kepada yang lebih mudah dan ringan supaya tidak berat baginya, sehingga Allah berfirman (yang artinya): "Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak secepat-cepatnya (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya" Yakni, Kami jadikan itu hafal di dadamu, lalu kamu (nanti) bacakan kepada umat manusia dan kamu tidak akan lupa sedikitpun. "Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan kamilah penjelasannya" .


DAFTAR PUSTAKA

Rozaq,Abdul dan Anwar, Rosihan,2009. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia.
Qardlawi, Yusuf.2005 Akidah Salaf dan Khalaf. Jakarta : Pustaka Alkautsar.
Asy’ary,dkk,2009. Studi Islam. Surabaya : IAIN SUPEL Press.
Abou El Fadhil,Kholid,2006. Selamatka Islam dari Islam Puritan. Jakarta : Serambi Imu Semesta.
Husni As siba’i, Musthofa.2002. Khazanah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Hartono, Djoko.2009. Pengembangan Ilmu Agama Islam. Surabaya : Media Qowiyyul Amin.
WWW.Salafiyah.Com.Wikipedia Indonesia.










KATA PENGANTAR


Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas “Salafiyah.”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah khawarij sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa yang mengikuti mata kuliah “Ilmu Kalam”

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,khususya bagi kami Penyusun dan umumnya bagi para pembaca.Amiin…ya Robbal Alamin…..





Surabaya, 16 Desember 2009
Penyusun


SALAFIYAH

Makalah
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ilmu Kalam”


















Oleh
Syamsuddin
B07209080
Ahmat.Fauzi
B07209054
M.Muarij Akbar
B07209058
Anik Rodifah
B07209062
Nafidhotul Khusnah
B07209072

Dosen Pembimbing :
Drs.Masduqi Affandi,M.Pd.I


PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS DAKWAH
INSTITURT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2009

SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST MASA PRA KODIFIKASI

BAB I
PENDAHULUAN

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmatnya sehingga kami dapat menyusun makalah tentang takhrij hadist.
Adapun tujuan penyusunan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah ulumul hadist.

Hadist adalah salah satu pedoman hidup umat islam dimana kedudukan hadist disini adalah sebagai sumber hukum islam yang ke-2 setelah al-qur’an. Didalam ilmu hadist pun terdapat pula sejarah dan perkembangan hadist pada masa prakodifikasi, yang mungkin belum diketahui oleh teman-teman. Oleh karena itu kami menyusun makalah ini dengan harapan memberi pengetahuan pada penyusun khusunya dan pada pembaca pada umumnya.

Tiada gading yang tak retak, begitulah pepatah mengatakan. Kami sadar bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan dalam penyusunan makalah-makalah selanjutnya.


A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan hadist sebagai salah satu sumber hukum dalam islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-14.

Perkembangan hadist pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadist. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash Al-Qur’an dengan hadist. Selain itu juga disebabkan fokus Nabi pada para Sahabat yang bisa menulis untuk menulis Al-Qur’an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa tabi’in besar. Bahkan dengan Khalifah yang lain. Periodesasi penulisan dan pembukuan hadist secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd Aziz (abad 2 H).

Terlepas dari naik turunnya perkembangan hadist, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadist memberikan pengaruh besar dalam sejarah peradaban islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembanagn hadist pada masa Rasulullah SAW ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Sahabat (Khulafa’ Al-Rasyidin) ?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa Tabi’in ?



BAB II
PEMBAHASAN

1)Hadist pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasul SAW berarti membicarakan hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul sebagai sumber hadist.

Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkannya hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.

Untuk lebih memahami kondisi/ keadaan hadist pada zaman Nabi SAW berikut ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan:

Cara Rasul Menyampaikan Hadist

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, pasar ketiks beliau dalam perjalanan (safar), dan ketika beliau mukim (berada dirumah).

Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah :

Pertama, melalui para jama’ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.

Kedua, dalam banyak kesempatan, Rasulullah SAW juga menyampaikan hadistnya melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Ketiga, melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan Futuh Makkah.

Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.

Keadaan para sahabat dalam meneriam dan menguasai hadist

Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:

* Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
* Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.
* Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.
* Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.


Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW mereka adalah:

* Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.
* Ummahat Al-Mu’minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
* Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.
* Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
* Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.


Pemeliharaan Hadist dalam Hafalan dan Tulisan.

1. Aktifitas menghafal hadist
Untuk memelihara kemurnian al-Qur’an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur’an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedang terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.
Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur’an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:

1. Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.
2. Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.
3. Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai derajat yang tinggi.
4. Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada orang lain.


Aktifitas menulis hadist

Keadaan Sunnah pada masa Nabi SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya:
لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.
” jangan menulis apa-apa selain Al-Qur’an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur’an hendaklah menghapusnya”. (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.
” tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak”.

Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:

1. Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur’an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur’an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.
2. Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.
3. Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya.


2) Hadist Pada Masa Sahabat Dan Tabi’in

A.Hadist pada masa sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

Sahabat dan Periwayatan Hadist

* Menjaga Pesan Rasul SAW

Pada masa menjelang kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :
تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه
”Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnahku (Al-Hadist) ” H.R Malik

Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.

* Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist.

Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur’an, ini terlihat bagaimana Al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi maisng-masing disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.

Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur’an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur’an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.

* Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.

Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatianny, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.

Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:
Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.

Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.

Abu Bakar

Untuk menghindari kebohongan itu, misalnya Abu Bakar meminta pengukuhan sahabat lain ketika seorang nenek datang padanya mengatakan ”saya mempunyai hak atas harta yang ditinggal oleh para anak laki-laki saya” kata Abu Bakar ” saya tidak melihat ketentuan seperti itu, baik dari Al-Qur’an maupun dari rasul” maka tampillah Muhammad Bin Maslamah sebagai saksi bahwa seoarang nenek seperti kasus tersebut mendapat bagian (1/6) harta peninggalan cucu dari anak laki-lakinya.

Kesimpulannya, benar bahwa Abu Bakar amat ketat dalam periwayatan hadist. Akan tetapi tidak perlu disalah pahami bahwa beliau tidak anti terhadap penulisan hadist. Bahkan, untuk kepentingan tertentu hadist nabi ditulisnya.

Umar bin Khattab

Ibn Qutaibah berkata, sebagai dikutip Ajjaj al_Khatib mengatakan Umar bin Al-Khatab adalah orang yang sangat keras menentang orang-orang yang menghambarkan riwayat hadist, atau orang yang membawa hadist (khabar) mengenai hukum tertentu tetapi tidak diperkuat dengan seorang saksi. Umar bin Khatab tidak senang dengan terhadap orang yang memperbanyak periwayatan hadist dengan terlalu mudah dan sembrono. Tentu agar kemurnian hadist nabi dapat terpelihara. Ini tidak berarti bahwa beliau anti periwayatan hadist, Umar r.A mengutus para ulama’ mengajarkan islam dan sunnah nabi pada penduduk negeri.

Sikap kehati-hatian kedua sahabat tersebut, juga diikuti oleh Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sebuah atsar disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak menerima hadist sebelum yang meriwayatkan itu disumpah. Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur’an, hal ini disebabkan karena:

1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.


B. Hadist pada masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa’ Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadist.

Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu, masa itu dikenal masa penyebaran periwayatan hadist.

Hadist-hadist yang diterima para tabi’in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.

Pada masa tabi’in ini muncul atau terjadi sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang Jamal dan perang Siffin yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij, Syiah, Muawiyah dan golongan minoritas yang tidak termasuk dalam ketiga kelompok tersebut.

Dari persoalan politik diatas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan hadist berikutnya. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif mendukung kepentingan politik masing-masing kelompok menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh yang berakibat positif adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.

BAB III
KESIMPULAN

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya.

I. Hadist pada masa Rasul SAW
Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:

* Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka, dan lain-lain.
* Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing sahabat.
* Pemeliharaan hadist melalui hafalan dan tulisan.


II. Hadist pada masa sahabat
Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :

1. Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur’an.
2. Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.
3. Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.


III. Hadist pada masa tabi’in
Pada masa ini juga terjadi kegiatan menghafal dan menulis hadist, dan ada bebrapa hal yang begitu berpengaruh dalam hal perkembangan hadist, diantara pengaruh positif yang ada adalah hadist sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.


DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002

Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-wa’I (Beirut: Al-Fikr)

Imam Malik, al-Muwatha’ juz 2. Hlm 56. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi, dan sa’ad ibn Majjah.

Rumtianing. Irma, Khusniatin Rofiah. pokok-pokok ilmu hadist . Ponorogo: STAIN Ponorogo press. 2005

Senin, 22 Maret 2010

peran para sarjana syari’ah dalam kancah penegakan hukum

Pendahuluan
Syari'ah merupakan salah satu bidang studi yang penting - bahkan mungkin yang terpenting - dalam tradisi keilmuan umat Islam, termasuk di IAIN. Hal ini bukan karena tradisi fikih yang sudah mengakar di kalangan Muslim Indonesia, tetapi karena syari'ah merupakan rujukan utama umat Islam dalam bertingkah laku. Kondisi obyektif ini seharusnya menjadikan studi hukum Islam sebagai bidang studi paling berkembang di IAIN, meskipun realitasnya tidak demikian. Inilah barangkali salah satu sebab mengapa ketika wacana pembaharuan dan gerakan kebangkitan kembali umat Islam bergema, hukum Islam dan para eksponennya tidak dianggap sebagai pelopor, malah disudutkan sebagai penganjur pemapanan dan penghalang kemajuan.

Apabila dilihat dalam konstelasi hukum positif di Indonesia secara umum, kondisi riil studi hukum Islam ini sangat terkait dengan situasi fluktuatif yang pernah dan sedang dialami oleh hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam pernah diakui sebagai hukum yang berlaku, baik formal maupun aktual, dalam berbagai kerajaan dan kesultanan di berbagai wilayah Nusantara. Belakangan, teori ini digeser oleh teori receptie, yang menyimpulkan bahwa penduduk pribumi Nusantara meskipun telah memeluk Islam tidak dengan sendirinya mengamalkan hukum Islam, tetapi baru mengikuti kaidah hukum Islam jika telah diterima sebagai bagian dari hukum Adat mereka, dan seterusnya.[2]
Realitas ini mau tidak mau berimbas pada peran para sarjana syari’ah dalam kancah penegakan hukum di Indonesia. Padahal diakui atau tidak perkembangan masa lalu menunjukkan betapa hukum Islam telah berperan penting dan memberi banyak kontribusi positif bagi terwujudnya sistem hukum nasional di negara yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia saat ini. Makalah ini akan mencoba memotret peran tersebut dari tinjauan normatif sekaligus mencoba membuat proyeksi peran tersebut pada masa yang akan datang.

Sejarah Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah
Ketika didirikan di Yogyakarta pada 1950, berdasarkan PP No. 34/1950, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) memiliki dua fakultas, salah satunya adalah Fakultas Syari'ah. Pada tanggal 24 Agustus 1960 melalui PP No. 11 tahun 1960 PTAIN beralih menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang memiliki dua fakultas Tarbiyah dan Syari’ah. Dalam paket yang sama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta juga berganti nama menjadi IAIN dengan dua fakultas; Fakultas Da’wah dan Ushuluddin.[3] Pada pertengahan tahun 1970-an IAIN telah berkembang menjadi 14 buah di seluruh penjuru Tanah Air. Tercatat dari 90 fakultas di 14 IAIN di seluruh Indonesia, 23 di antaranya (25,5%) adalah Fakultas Syari'ah.[4]
Rentetan perubahan itu tidak berpengaruh terhadap eksistensi Fakultas Syari'ah sebagai salah satu fakultas inti yang tetap dipertahankan dan dikembangkan. Keberadaan studi syari'ah juga terus berkembang dengan diresmikannya 32 fakultas cabang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) pada 1996. Signifikansi studi syari'ah juga terlihat dari dibukanya fakultas/program studi ini di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), bahkan sebagai bagian dari Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Meskipun tidak merupakan program studi tersendiri, hukum Islam merupakan mata kuliah wajib di seluruh Fakultas Hukum di Tanah Air.
Barangkali tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa fakultas ini Syari’ah merupakan bidang studi yang sangat dekat dengan tradisi pesantren, sehingga lebih bersifat kelanjutan dari institusi pendidikan tradisional tersebut. Seorang peneliti Belanda yang lama mengamati pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa dari segi topik dan isi pelajaran yang diberikan di IAIN, Fakultas Syari'ah memang yang paling mirip dengan tradisi pesantren, meskipun metode dan terkadang juga kesimpulannya mungkin berbeda (faculty of Islamic law shares the closest similiarities to the topics and content of the pesantren education, while the methods and sometimes the conclusions may show considerable differences).[5]
Sejarah fakultas Syari’ah juga diwarnai oleh variasi dan perubahan jurusannya. Pada awal berdirinya tahun 1950, fakultas Syari’ah terdiri dari jurusan Qadla’. Setelah sepuluh tahun, pada tahun 1960 seiring dengan berdirinya IAIN, fakultas Syari’ah dikembangkan dengan menambah jurusan menjadi Qadla’, Fiqh, Tafsir, dan Hadis.[6] Sejak saat itu jurusan Qadla’ menjadi favorit karena memiliki target yang jelas yaitu menyediakan tenaga hakim di Pengadilan Agama. Nama Qadla’ ini praktis digunakan secara seragam mulai 1960 sampai 1974. Sejak 1974 sampai 1997 istilah itu kemudian diinterpretasikan dan diimplementasikan secara beragam oleh berbagai IAIN di Indonesia. Misalnya sampai tahun 1990-an awal IAIN Sunan Ampel Surabaya masih memakai nama Qadla’, sedangkan pada saat yang sama IAIN Walisongo Semarang telah menggunakan nama Peradilan Agama. Bahkan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah menggunakan istilah Peradilan Agama sejak 1974 sampai 1997.
Pada tahun 1997 seiring dengan kemunculan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sebagai institusi cabang dari IAIN yang ‘dimerdekakan’, nama jurusan Qadla’ atau Peradilan Agama digantikan dengan nama baru yang katanya lebih merepresentasikan kategorisasi keilmuan Syari’ah. Maka muncullah nama Ahwal al-Syakhshiyyah, Jinayah-Siyasah, Muamalah, Perbandingan Madzhab dan Hukum, serta Keuangan Islam sebagai jurusan di Fakultas Syari’ah.
Potret sejarah Jurusan/Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah secara jelas menunjukkan hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara jurusan/program sudi ini dengan lembaga peradilan agama, baik secara profesional maupun emosional. Nama boleh berganti-ganti sesuai dengan keinginan yang sedang berkuasa tetapi arah dan target jurusan ini tidak pernah berubah, yakni untuk menyediakan tenaga ahli dalam bidang birokrasi pemerintahan yang menguasai hukum Islam yang memang sedang sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi jabatan hakim di jajaran peradilan agama dan jabatan lain dalam lingkup Departemen Agama. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar kalau peran dan posisi sarjana syari’ah dalam penegakan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan lembaga peradilan agama itu sendiri.

Perkembangan Peradilan Agama
Kemunculan lembaga peradilan agama bagi umat Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Semua kerajaan Islam di Nusantara, mulai dari Kerajaan Aceh sampai Ternate telah menjalankan peradilan agama yang menerapkan syari’at Islam. Bahkan pada waktu itu yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama tidak hanya terbatas pada perkara perdata, melainkan juga pidana seperti terjadi di Kerajaan Demak.
Selanjutnya, kiprah peradilan agama memudar atau menyurut, sejalan dengan memudarnya peradaban Islam di seluruh dunia. Pada sejumlah negara atau masyarakat, peradilan agama yang menerapkan Syari’at Islam sama sekali dihapuskan. Di Indonesia walaupun tidak dihapuskan, lingkup yurisdiksi atau wewenangnya sangat dibatasi yaitu pada perkara keperdataan tertentu. Bahkan suatu ketika peradilan agama di Indonesia hanya dikenal sebagai peradilan untuk nikah, talak dan rujuk.
Secara rinci penyebab kemunduran peradilan agama antara lain pertama ; hancurnya Kerajaan-kerajaan Islam karena berbagai penaklukan, kalah dalam mempertahankan kemerdekaan, dan menjadi koloni atau daerah jajahan Barat yang membawa dan memberlakukan tradisi dan sistem hukum negeri induknya, seperti BW di Indonesia. Kedua, proses sekularisasi, baik untuk kepentingan kolonial yang berusaha memisahkan rakyat dari agama, maupun untuk kepentingan lain bagi negara Barat. Ketiga, rendahnya perhatian pemerintah terhadap peradilan agama. Pada masa kolonial, rendahnya perhatian, merupakan bagian dari politik kolonial untuk mengecilkan peranan agama Islam. Hal ini muncul dalam bentuk pembatasan wewenang peradilan agama, ketidaksederajatan antara peradilan agama dan lingkungan peradilan lain.
Kemunduran peradilan agama juga disebabkan factor internal umat Islam, yakni pemahaman Islam yang semata-mata menekankan hubungan vertikal dengan Al Khalik, bukan sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”. Mencari keridhaan Allah hanya diartikan sebagai melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang berkaitan dengan hubungan langsung dengan Maha Pencipta belaka. Pemikiran yang dikembangkan adalah menjauhi kehidupan duniawi yang dipandang akan ‘mengotori’ hubungan suci dengan Allah. Akhlak agama semata-mata diartikan sebagai akhlak spritual yang harus dijauhkan dari akhlak sosial. Agama adalah kebutuhan spritual individual, bukan kebutuhan sosial.
Meskipun eksistensi peradilan agama berhasil dipertahankan, tetapi sampai tahun tujuh puluhan praktis tidak ada pembaharuan yang berarti. Pembaharuan dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 yang paling tidak, memuat dua prinsip pokok pembaharuan yaitu menetapkan peradilan agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan peradilan lainnya (peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara) dan penghapusan sistem “fiat eksekusi” oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sistem fiat eksekusi ini nyaris berlaku kembali dalam UU No,. 1 Tahun 1974 kalau saja PP No. 9 Tahun 1975 tidak menegaskan bahwa arti kewajiban tersebut sebagai bersifat administratife belaka. Untuk menghilangkan anomali tersebut UU No. 7 Tahun 1989 menegaskan akan kemandirian peradilan agama.
Walaupun UU No. 14 Tahun 1970 telah memberi dasar-dasar perkembangan peradilan agama, tetapi tidak ada perubahan yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama. Peradilan agama adalah peradilan nikah, talak dan rujuk. Perubahan yurisdiksi atau kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Perubahan lebih nyata dalam UU No. 7 Tahun 1989. Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989, menyebut enam kekuasaan peradilan agama (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat) yang diurai dalam penjelasan pasal tersebut menjadi 22 macam kewenangan. Dalam Undang-Undang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 yang telah disetujui DPR tanggal 21 Februari 2006 yang lalu, wewenang yang diatur dalam Pasal 49 diperluas menjadi sembilan macam (perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syari’ah). Tambahan baru adalah zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah. Selain rincian 22 macam yang diatur dalam penjelasan, diuraikan pula mengenai “ekonomi syari’ah” yang meliputi sebelas macam wewenang (bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah).
Dari berbagai perkembangan di atas, yang paling mendasar adalah pengaturan peradilan agama dan lingkungan peradilan lain dalam UUD (Perubahan Ketiga, 2001). Dengan demikian tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman kita. Peradilan agama adalah pranata konstitusional. Penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Menjalankan peradilan agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional. Melalui peradilan agama, negara memerintahkan, pelaksanaan Syari’at Islam untuk bidang-bidang hukum tertentu.Perkembangan lain yang tidak kalah penting adalah kehadiran peradilan syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan wewenang yang mencakup perkara keperdataan tertentu dan perkara pidana tertentu.

Kebijakan Satu Atap dan Peran Sarjana Syari’ah; Sebuah Optimisme Bersyarat
Sebelum kebijakan satu atap terdapat dualisme pembinaan terhadap peradilan agama; pertama Mahkamah Agung dalam hal pembinaan dan pengawasan jalannya peradilan (fungsi judisial) yang dijalankan pengadilan agama tingkat pertama dan banding. Kedua Departemen Agama dalam hal pembinaan keorganisasian, ketenagaan, dan keuangan. Setelah kebijakan satu atap, Mahkamah Agung menjadi pembina tunggal, baik untuk fungsi judisial maupun urusan keorganisasian, ketenagaan, dan keuangan. Semua lingkungan peradilan ada dibawah tanggungjawab Mahkamah Agung.
Kebijakan satu atap ini selain ditujukan untuk menciptakan kekuasaan yang independen dan lepas dari kekuasaan lainnya, juga memiliki impilkasi khusus terhadap peradilan agama. Pertama, hal-hal yang menyangkut pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan telah beralih dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Kedua, perubahan kedudukan Direktorat Peradilan Agama menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Agama. Perubahan kedudukan ini akan memberi berbagai keleluasaan yang lebih besar dalam membangun dan mengembangkan peradilan agama. Ketiga, perubahan sistem penerimaan calon hakim. Selama ini, calon-calon hakim agama berasal dari mereka yang sudah menjadi pegawai di pengadilan agama seperti Panitera atau Panitera Pengganti, atau pegawai Departemen Agama. Setelah kebijakan satu atap, rekrutmen calon-calon hakim agama disamakan dengan rekrutmen calon hakim di lingkungan peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara. Dengan sistem penerimaan baru ini, peluang sarjana syari’ah lebih besar karena kompetisi terjadi antar sesama sarjana yang belum memiliki pengalaman menangani perkara dan tanpa memperhitungkan pesaing lain dari pegawai.
Paparan di atas menggambarkan betapa perjuangan peradilan agama untuk menjadi sebuah lembaga peradilan yang setara dengan lembaga peradilan lainnya merupakan langkah “tadarruj” yang masih berlangsung. Sebagaimana prinsip bertahap yang selalu mewarnai penerapan hukum Islam, proses tadarruj yang sedang dialami peradilan agama membutuhkan waktu, modal dan perjuangan yang serius. Apapun hasil dari proses ini pasti akan berimbas kepada peran sarjana syari’ah secara umum. Semakin kuatnya posisi peradilan agama dalam konstelasi hokum nasional akan memperkuat peran sarjana syari’ah, dan sebaliknya semakin lemah posisi peradilan agama juga akan memperlemah peran sarjana syari’ah.
Perjuangan untuk memasukkan sarjana syari’ah sebagai sarjana yang dapat diangkat sebagai advokat dapat dijadikan contoh. Namun demikian, perjuangan yang berhasil memasukkan sarjana syari’ah dalam pasal 2 (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 ini ternyata belum disikapi positif oleh para alumni sendiri. Masih sangat sedikit alumni yang tertarik dan memanfaatkan peluang advokat ini. Boleh jadi realitas ini disebabkan oleh faktor internal umat Islam sendiri, yakni masih kuatnya pemikiran dan keyakinan bahwa profesi yang paling mulia di hadapan Allah adalah guru/dosen/ustadz/kiyai. Sedangkan pilihan profesi menjadi hakim dan pengacara hanya akan mengantarkan kepada neraka. Wallah a’lam bi al-shawab.


REFERENSI

Basyar, Syarifuddin, “Alumni Fakkultas Syariah dan Tantangan Pembinaan Keilmuan”, dalam Suyitno, dkk. (eds.), Paradigma Ilmu Syariah: Reformasi Program Studi, Kurikulum, dan Kompetensi Alumni, Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang dan Gama Media, Yogyakarta, 2004.
Direktorat PTAI Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam, 2000.
Khusen, Moh., “Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia (Analisis terhadap Teori Berlakunya Hukum Islam)”, Ijtihad, Nomor 1 Tahun VI / Januari - Juni 2006.
Lubis, Nur A. Fadhil, "Perguruan Tinggi Islam dan Penyediaan Tenaga Pengacara di Peradilan Agama: Pengalaman dan Pengembangan Fakultas Syari'ah" yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Kepengacaraan di Peradilan Agama dan Syari'ah," IAIN-SU bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara bertempat di Convention Hall Garuda Plaza Hotel Medan, 22 Juli 1996.
Meuleman, Johan, "IAIN di Persimpangan Jalan," PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), vol. 1, no. 1 (September 1997).
Steenbrink, Karel, "Recapturing the Past: Historcal Studies by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, Arizona State University, Tempel, 1996.

[1] Disampaikan pada forum Seminar dan Musyawarah Nasional “Penguatan Peran Sarjana Syari’ah dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh FK-MASI HMJ Syari’ah STAIN Salatiga di Kampus I STAIN Salatiga, 28 Pebruari 2008.
[2] Pembahasan lebih detil tentang perkembangan hokum Islam di Indonesia, baca Moh. Khusen, “Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia (Analisis terhadap Teori Berlakunya Hukum Islam)”, Ijtihad, Nomor 1 Tahun VI / Januari - Juni 2006.
[3] Direktorat PTAI Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam, 2000, hlm. 156.
[4] Nur A. Fadhil Lubis, "Perguruan Tinggi Islam dan Penyediaan Tenaga Pengacara di Peradilan Agama: Pengalaman dan Pengembangan Fakultas Syari'ah" yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Kepengacaraan di Peradilan Agama dan Syari'ah," IAIN-SU bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara bertempat di Convention Hall Garuda Plaza Hotel Medan, 22 Juli 1996.
[5] Karel Steenbrink, "Recapturing the Past: Historcal Studies by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward (ed). Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, Arizona State University, Tempel, 1996, hlm. 160.
[6] Syarifuddin Basyar, “Alumni Fakkultas Syariah dan Tantangan Pembinaan Keilmuan”, dalam Suyitno, dkk. (eds.), Paradigma Ilmu Syariah: Reformasi Program Studi, Kurikulum, dan Kompetensi Alumni, Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang dan Gama Media, Yogyakarta, 2004, hlm. 17