Senin, 22 Maret 2010

peran para sarjana syari’ah dalam kancah penegakan hukum

Pendahuluan
Syari'ah merupakan salah satu bidang studi yang penting - bahkan mungkin yang terpenting - dalam tradisi keilmuan umat Islam, termasuk di IAIN. Hal ini bukan karena tradisi fikih yang sudah mengakar di kalangan Muslim Indonesia, tetapi karena syari'ah merupakan rujukan utama umat Islam dalam bertingkah laku. Kondisi obyektif ini seharusnya menjadikan studi hukum Islam sebagai bidang studi paling berkembang di IAIN, meskipun realitasnya tidak demikian. Inilah barangkali salah satu sebab mengapa ketika wacana pembaharuan dan gerakan kebangkitan kembali umat Islam bergema, hukum Islam dan para eksponennya tidak dianggap sebagai pelopor, malah disudutkan sebagai penganjur pemapanan dan penghalang kemajuan.

Apabila dilihat dalam konstelasi hukum positif di Indonesia secara umum, kondisi riil studi hukum Islam ini sangat terkait dengan situasi fluktuatif yang pernah dan sedang dialami oleh hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam pernah diakui sebagai hukum yang berlaku, baik formal maupun aktual, dalam berbagai kerajaan dan kesultanan di berbagai wilayah Nusantara. Belakangan, teori ini digeser oleh teori receptie, yang menyimpulkan bahwa penduduk pribumi Nusantara meskipun telah memeluk Islam tidak dengan sendirinya mengamalkan hukum Islam, tetapi baru mengikuti kaidah hukum Islam jika telah diterima sebagai bagian dari hukum Adat mereka, dan seterusnya.[2]
Realitas ini mau tidak mau berimbas pada peran para sarjana syari’ah dalam kancah penegakan hukum di Indonesia. Padahal diakui atau tidak perkembangan masa lalu menunjukkan betapa hukum Islam telah berperan penting dan memberi banyak kontribusi positif bagi terwujudnya sistem hukum nasional di negara yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia saat ini. Makalah ini akan mencoba memotret peran tersebut dari tinjauan normatif sekaligus mencoba membuat proyeksi peran tersebut pada masa yang akan datang.

Sejarah Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah
Ketika didirikan di Yogyakarta pada 1950, berdasarkan PP No. 34/1950, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) memiliki dua fakultas, salah satunya adalah Fakultas Syari'ah. Pada tanggal 24 Agustus 1960 melalui PP No. 11 tahun 1960 PTAIN beralih menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang memiliki dua fakultas Tarbiyah dan Syari’ah. Dalam paket yang sama Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta juga berganti nama menjadi IAIN dengan dua fakultas; Fakultas Da’wah dan Ushuluddin.[3] Pada pertengahan tahun 1970-an IAIN telah berkembang menjadi 14 buah di seluruh penjuru Tanah Air. Tercatat dari 90 fakultas di 14 IAIN di seluruh Indonesia, 23 di antaranya (25,5%) adalah Fakultas Syari'ah.[4]
Rentetan perubahan itu tidak berpengaruh terhadap eksistensi Fakultas Syari'ah sebagai salah satu fakultas inti yang tetap dipertahankan dan dikembangkan. Keberadaan studi syari'ah juga terus berkembang dengan diresmikannya 32 fakultas cabang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) pada 1996. Signifikansi studi syari'ah juga terlihat dari dibukanya fakultas/program studi ini di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), bahkan sebagai bagian dari Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Meskipun tidak merupakan program studi tersendiri, hukum Islam merupakan mata kuliah wajib di seluruh Fakultas Hukum di Tanah Air.
Barangkali tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa fakultas ini Syari’ah merupakan bidang studi yang sangat dekat dengan tradisi pesantren, sehingga lebih bersifat kelanjutan dari institusi pendidikan tradisional tersebut. Seorang peneliti Belanda yang lama mengamati pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa dari segi topik dan isi pelajaran yang diberikan di IAIN, Fakultas Syari'ah memang yang paling mirip dengan tradisi pesantren, meskipun metode dan terkadang juga kesimpulannya mungkin berbeda (faculty of Islamic law shares the closest similiarities to the topics and content of the pesantren education, while the methods and sometimes the conclusions may show considerable differences).[5]
Sejarah fakultas Syari’ah juga diwarnai oleh variasi dan perubahan jurusannya. Pada awal berdirinya tahun 1950, fakultas Syari’ah terdiri dari jurusan Qadla’. Setelah sepuluh tahun, pada tahun 1960 seiring dengan berdirinya IAIN, fakultas Syari’ah dikembangkan dengan menambah jurusan menjadi Qadla’, Fiqh, Tafsir, dan Hadis.[6] Sejak saat itu jurusan Qadla’ menjadi favorit karena memiliki target yang jelas yaitu menyediakan tenaga hakim di Pengadilan Agama. Nama Qadla’ ini praktis digunakan secara seragam mulai 1960 sampai 1974. Sejak 1974 sampai 1997 istilah itu kemudian diinterpretasikan dan diimplementasikan secara beragam oleh berbagai IAIN di Indonesia. Misalnya sampai tahun 1990-an awal IAIN Sunan Ampel Surabaya masih memakai nama Qadla’, sedangkan pada saat yang sama IAIN Walisongo Semarang telah menggunakan nama Peradilan Agama. Bahkan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah menggunakan istilah Peradilan Agama sejak 1974 sampai 1997.
Pada tahun 1997 seiring dengan kemunculan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sebagai institusi cabang dari IAIN yang ‘dimerdekakan’, nama jurusan Qadla’ atau Peradilan Agama digantikan dengan nama baru yang katanya lebih merepresentasikan kategorisasi keilmuan Syari’ah. Maka muncullah nama Ahwal al-Syakhshiyyah, Jinayah-Siyasah, Muamalah, Perbandingan Madzhab dan Hukum, serta Keuangan Islam sebagai jurusan di Fakultas Syari’ah.
Potret sejarah Jurusan/Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah secara jelas menunjukkan hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara jurusan/program sudi ini dengan lembaga peradilan agama, baik secara profesional maupun emosional. Nama boleh berganti-ganti sesuai dengan keinginan yang sedang berkuasa tetapi arah dan target jurusan ini tidak pernah berubah, yakni untuk menyediakan tenaga ahli dalam bidang birokrasi pemerintahan yang menguasai hukum Islam yang memang sedang sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi jabatan hakim di jajaran peradilan agama dan jabatan lain dalam lingkup Departemen Agama. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar kalau peran dan posisi sarjana syari’ah dalam penegakan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan lembaga peradilan agama itu sendiri.

Perkembangan Peradilan Agama
Kemunculan lembaga peradilan agama bagi umat Islam sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Semua kerajaan Islam di Nusantara, mulai dari Kerajaan Aceh sampai Ternate telah menjalankan peradilan agama yang menerapkan syari’at Islam. Bahkan pada waktu itu yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama tidak hanya terbatas pada perkara perdata, melainkan juga pidana seperti terjadi di Kerajaan Demak.
Selanjutnya, kiprah peradilan agama memudar atau menyurut, sejalan dengan memudarnya peradaban Islam di seluruh dunia. Pada sejumlah negara atau masyarakat, peradilan agama yang menerapkan Syari’at Islam sama sekali dihapuskan. Di Indonesia walaupun tidak dihapuskan, lingkup yurisdiksi atau wewenangnya sangat dibatasi yaitu pada perkara keperdataan tertentu. Bahkan suatu ketika peradilan agama di Indonesia hanya dikenal sebagai peradilan untuk nikah, talak dan rujuk.
Secara rinci penyebab kemunduran peradilan agama antara lain pertama ; hancurnya Kerajaan-kerajaan Islam karena berbagai penaklukan, kalah dalam mempertahankan kemerdekaan, dan menjadi koloni atau daerah jajahan Barat yang membawa dan memberlakukan tradisi dan sistem hukum negeri induknya, seperti BW di Indonesia. Kedua, proses sekularisasi, baik untuk kepentingan kolonial yang berusaha memisahkan rakyat dari agama, maupun untuk kepentingan lain bagi negara Barat. Ketiga, rendahnya perhatian pemerintah terhadap peradilan agama. Pada masa kolonial, rendahnya perhatian, merupakan bagian dari politik kolonial untuk mengecilkan peranan agama Islam. Hal ini muncul dalam bentuk pembatasan wewenang peradilan agama, ketidaksederajatan antara peradilan agama dan lingkungan peradilan lain.
Kemunduran peradilan agama juga disebabkan factor internal umat Islam, yakni pemahaman Islam yang semata-mata menekankan hubungan vertikal dengan Al Khalik, bukan sebagai agama yang “rahmatan lil alamin”. Mencari keridhaan Allah hanya diartikan sebagai melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang berkaitan dengan hubungan langsung dengan Maha Pencipta belaka. Pemikiran yang dikembangkan adalah menjauhi kehidupan duniawi yang dipandang akan ‘mengotori’ hubungan suci dengan Allah. Akhlak agama semata-mata diartikan sebagai akhlak spritual yang harus dijauhkan dari akhlak sosial. Agama adalah kebutuhan spritual individual, bukan kebutuhan sosial.
Meskipun eksistensi peradilan agama berhasil dipertahankan, tetapi sampai tahun tujuh puluhan praktis tidak ada pembaharuan yang berarti. Pembaharuan dimulai sejak ditetapkan UU No. 14 Tahun 1970 yang paling tidak, memuat dua prinsip pokok pembaharuan yaitu menetapkan peradilan agama sebagai salah satu lingkungan badan peradilan negara disamping tiga badan peradilan lainnya (peradilan umum, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara) dan penghapusan sistem “fiat eksekusi” oleh peradilan umum atas putusan peradilan agama. Sistem fiat eksekusi ini nyaris berlaku kembali dalam UU No,. 1 Tahun 1974 kalau saja PP No. 9 Tahun 1975 tidak menegaskan bahwa arti kewajiban tersebut sebagai bersifat administratife belaka. Untuk menghilangkan anomali tersebut UU No. 7 Tahun 1989 menegaskan akan kemandirian peradilan agama.
Walaupun UU No. 14 Tahun 1970 telah memberi dasar-dasar perkembangan peradilan agama, tetapi tidak ada perubahan yurisdiksi atau kompetensi peradilan agama. Peradilan agama adalah peradilan nikah, talak dan rujuk. Perubahan yurisdiksi atau kompetensi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah. Perubahan lebih nyata dalam UU No. 7 Tahun 1989. Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989, menyebut enam kekuasaan peradilan agama (perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat) yang diurai dalam penjelasan pasal tersebut menjadi 22 macam kewenangan. Dalam Undang-Undang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 yang telah disetujui DPR tanggal 21 Februari 2006 yang lalu, wewenang yang diatur dalam Pasal 49 diperluas menjadi sembilan macam (perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syari’ah). Tambahan baru adalah zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah. Selain rincian 22 macam yang diatur dalam penjelasan, diuraikan pula mengenai “ekonomi syari’ah” yang meliputi sebelas macam wewenang (bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksa dana syari’ah, obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, bisnis syari’ah).
Dari berbagai perkembangan di atas, yang paling mendasar adalah pengaturan peradilan agama dan lingkungan peradilan lain dalam UUD (Perubahan Ketiga, 2001). Dengan demikian tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadiran peradilan agama dalam sistem kekuasaan kehakiman kita. Peradilan agama adalah pranata konstitusional. Penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Menjalankan peradilan agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional. Melalui peradilan agama, negara memerintahkan, pelaksanaan Syari’at Islam untuk bidang-bidang hukum tertentu.Perkembangan lain yang tidak kalah penting adalah kehadiran peradilan syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam, dengan wewenang yang mencakup perkara keperdataan tertentu dan perkara pidana tertentu.

Kebijakan Satu Atap dan Peran Sarjana Syari’ah; Sebuah Optimisme Bersyarat
Sebelum kebijakan satu atap terdapat dualisme pembinaan terhadap peradilan agama; pertama Mahkamah Agung dalam hal pembinaan dan pengawasan jalannya peradilan (fungsi judisial) yang dijalankan pengadilan agama tingkat pertama dan banding. Kedua Departemen Agama dalam hal pembinaan keorganisasian, ketenagaan, dan keuangan. Setelah kebijakan satu atap, Mahkamah Agung menjadi pembina tunggal, baik untuk fungsi judisial maupun urusan keorganisasian, ketenagaan, dan keuangan. Semua lingkungan peradilan ada dibawah tanggungjawab Mahkamah Agung.
Kebijakan satu atap ini selain ditujukan untuk menciptakan kekuasaan yang independen dan lepas dari kekuasaan lainnya, juga memiliki impilkasi khusus terhadap peradilan agama. Pertama, hal-hal yang menyangkut pengelolaan organisasi, administrasi, dan keuangan telah beralih dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Kedua, perubahan kedudukan Direktorat Peradilan Agama menjadi Direktorat Jenderal Peradilan Agama. Perubahan kedudukan ini akan memberi berbagai keleluasaan yang lebih besar dalam membangun dan mengembangkan peradilan agama. Ketiga, perubahan sistem penerimaan calon hakim. Selama ini, calon-calon hakim agama berasal dari mereka yang sudah menjadi pegawai di pengadilan agama seperti Panitera atau Panitera Pengganti, atau pegawai Departemen Agama. Setelah kebijakan satu atap, rekrutmen calon-calon hakim agama disamakan dengan rekrutmen calon hakim di lingkungan peradilan umum, dan peradilan tata usaha negara. Dengan sistem penerimaan baru ini, peluang sarjana syari’ah lebih besar karena kompetisi terjadi antar sesama sarjana yang belum memiliki pengalaman menangani perkara dan tanpa memperhitungkan pesaing lain dari pegawai.
Paparan di atas menggambarkan betapa perjuangan peradilan agama untuk menjadi sebuah lembaga peradilan yang setara dengan lembaga peradilan lainnya merupakan langkah “tadarruj” yang masih berlangsung. Sebagaimana prinsip bertahap yang selalu mewarnai penerapan hukum Islam, proses tadarruj yang sedang dialami peradilan agama membutuhkan waktu, modal dan perjuangan yang serius. Apapun hasil dari proses ini pasti akan berimbas kepada peran sarjana syari’ah secara umum. Semakin kuatnya posisi peradilan agama dalam konstelasi hokum nasional akan memperkuat peran sarjana syari’ah, dan sebaliknya semakin lemah posisi peradilan agama juga akan memperlemah peran sarjana syari’ah.
Perjuangan untuk memasukkan sarjana syari’ah sebagai sarjana yang dapat diangkat sebagai advokat dapat dijadikan contoh. Namun demikian, perjuangan yang berhasil memasukkan sarjana syari’ah dalam pasal 2 (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 ini ternyata belum disikapi positif oleh para alumni sendiri. Masih sangat sedikit alumni yang tertarik dan memanfaatkan peluang advokat ini. Boleh jadi realitas ini disebabkan oleh faktor internal umat Islam sendiri, yakni masih kuatnya pemikiran dan keyakinan bahwa profesi yang paling mulia di hadapan Allah adalah guru/dosen/ustadz/kiyai. Sedangkan pilihan profesi menjadi hakim dan pengacara hanya akan mengantarkan kepada neraka. Wallah a’lam bi al-shawab.


REFERENSI

Basyar, Syarifuddin, “Alumni Fakkultas Syariah dan Tantangan Pembinaan Keilmuan”, dalam Suyitno, dkk. (eds.), Paradigma Ilmu Syariah: Reformasi Program Studi, Kurikulum, dan Kompetensi Alumni, Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang dan Gama Media, Yogyakarta, 2004.
Direktorat PTAI Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam, 2000.
Khusen, Moh., “Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia (Analisis terhadap Teori Berlakunya Hukum Islam)”, Ijtihad, Nomor 1 Tahun VI / Januari - Juni 2006.
Lubis, Nur A. Fadhil, "Perguruan Tinggi Islam dan Penyediaan Tenaga Pengacara di Peradilan Agama: Pengalaman dan Pengembangan Fakultas Syari'ah" yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Kepengacaraan di Peradilan Agama dan Syari'ah," IAIN-SU bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara bertempat di Convention Hall Garuda Plaza Hotel Medan, 22 Juli 1996.
Meuleman, Johan, "IAIN di Persimpangan Jalan," PERTA: Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen Agama), vol. 1, no. 1 (September 1997).
Steenbrink, Karel, "Recapturing the Past: Historcal Studies by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward (ed.), Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, Arizona State University, Tempel, 1996.

[1] Disampaikan pada forum Seminar dan Musyawarah Nasional “Penguatan Peran Sarjana Syari’ah dalam Penegakan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh FK-MASI HMJ Syari’ah STAIN Salatiga di Kampus I STAIN Salatiga, 28 Pebruari 2008.
[2] Pembahasan lebih detil tentang perkembangan hokum Islam di Indonesia, baca Moh. Khusen, “Sejarah Politik Hukum Islam di Indonesia (Analisis terhadap Teori Berlakunya Hukum Islam)”, Ijtihad, Nomor 1 Tahun VI / Januari - Juni 2006.
[3] Direktorat PTAI Dirjen Bimbaga Islam Depag RI, Problem & Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Islam, 2000, hlm. 156.
[4] Nur A. Fadhil Lubis, "Perguruan Tinggi Islam dan Penyediaan Tenaga Pengacara di Peradilan Agama: Pengalaman dan Pengembangan Fakultas Syari'ah" yang disampaikan dalam Seminar Nasional "Kepengacaraan di Peradilan Agama dan Syari'ah," IAIN-SU bekerjasama dengan Pengadilan Tinggi Agama Sumatera Utara bertempat di Convention Hall Garuda Plaza Hotel Medan, 22 Juli 1996.
[5] Karel Steenbrink, "Recapturing the Past: Historcal Studies by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward (ed). Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, Arizona State University, Tempel, 1996, hlm. 160.
[6] Syarifuddin Basyar, “Alumni Fakkultas Syariah dan Tantangan Pembinaan Keilmuan”, dalam Suyitno, dkk. (eds.), Paradigma Ilmu Syariah: Reformasi Program Studi, Kurikulum, dan Kompetensi Alumni, Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang dan Gama Media, Yogyakarta, 2004, hlm. 17

Tidak ada komentar: