Senin, 18 Januari 2010

Teori kepribadian menurut Carl Gustav Jung

Hasil observasi Kepribadian yang saya lakukan kepada si X saat ini :
X termasuk orang yang memiliki kepribadian ekstrovet/ekstraves, cuek, emosional, dan suka mengingat masa lalu atau bayang-bayang yang dahulu telah terjadi.
 Ekstrovet/ekstraves: karena X tipe orang yang mudah bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang ada di sekitar. X juga memiliki sifat yang selalu ceria.

 Cuek : X tipe orang yang cuek karena menurut saya jika X mempunyai suatu masalah maka X lebih baik untuk menyelesaikannya dengan cara yang praktis dan sesuai dengan pemikirannya. X tidak suka berbelit-belit dan berbicara apa adanya, misalkan jika X tidak menyukai pendapat dari teman atau orang lain maka X mengatakan tidak. Dan kebalikannya jika X menyukai pendapat tersebut maka X mengatakan iya. Dan X lebih senang menjadi dirinya sendiri (be your self).

 Emosional : X mempunyai kelemahan dari dalam diri X saat ini yaitu X lebih sering bersifat tidak sabaran atau emosional. Mungkin karena faktor intern dari dalam diri X yang masih belum terselesaikan di masa lalu. Jadi terbawa hingga kini.

 Bayang-bayang : saat ini X sering sekali mengingat masa lalunya yang telah terjadi. Dan itu sering terjadi diluar ketidaksadaran dari alam pemikiran.

Pembahasan

 Sikap atau keadaan jiwa menurut Carl Gustav Jung adalah arah dari pada energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat keluar atau kedalam, dan demikian pula arah orientasi manusia terhadap dunianya.
 Tiap orang mengadakan orientasi terhadap dunia sekitarnya, namun dalam caranya mengadakan orientasi itu orang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Jadi, berdasarkan atas sikap jiwanya manusia dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu manusia yang bersifat ekstrovet/ekstraves dan manusia yang bersifat introvert/introves.
 Dan X termasuk kedalam manusia yang bersifat ekstrovet/ekstroves karena orang ekstrovet lebih dipengaruhi oleh dunia obyektif, yaitu dunia diluar dirinya.orientasinya terutama tertuju keluar, pikiran,perasaan,serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya. dan mempunyai sikap positif yang mudah bergaul dan hubungannya dengan orang lain lancar.
 X lebih senang bersikap cuek karena menurut Carl Gustav Jung sikap cuek atau memiliki pendirian yang menjadi diri sendiri.
 Emosional X saat ini sering terjadi karena menurut Carl Gustav Jung sikap emosional adalah sikap yang ada di setiap diri individu dan bersikap spontan dalam bereaksi terhadap sesuatu yang ada.
 Di dalam kepribadian terdapat pula bayang-bayang dari kehidupan X karena X setiap saat selalu kepikiran akan masa lalu dan sulit rasanya untuk melupakan/menghilangkan masa lalu. Bayang-bayang yaitu segi lain atau bagian gelap dari pada kepribadian, kekurangan yang tak di sadari. Bayang-bayang ini terbentuk dari fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior, karena sikap atau pertimbangan-pertimbangan moral atau pertimbangan jiwa lainnya di masukkan ke dalam ketidaksadaran.

Teori Karen Horney

Menurut pandangan Karen Horney, manusia mengawali hidupnya dengan perasaan tidak berdaya menghadapi kekuatan dunia yang secara potensial penuh permusuhan (potentially hostile world) sehingga anak sepenuhnya bergantung pada orangtua agar dapat bertahan. Secara alami, anak mengalami kecemasan (anxiety), ketidakberdayaan (helpless) dan kerentanan (vulnerability) sehingga tanpa bimbingan dari orangtua dalam membantu anak belajar mengatasi ancaman dari luar dirinya, maka anak akan mengembangkan basic anxiety yang menjadi dasar dari tumbulnya konflik-konflik di masa mendatang.

Basic anxiety adalah konsep utama Horney, yang mengacu pada perasaan terisolasi dan tidak berdaya seorang anak dalam potentially hostile world. Secara umum, Horney menyatakan bahwa segala sesuatu yang menggangu rasa aman dalam hubungan anak dengan orangtuanya akan menghasilkan basic anxiety. Kecemasan dasar (basic anxiety) berasal dari rasa takut; suatu peningkatan yang berbahaya dari perasaan tak berteman dan tak berdaya dalam dunia penuh ancaman. Kecemasan ini membuat individu yang mengalaminya yakin bahwa dirinya harus dijaga untuk melindungi keamanannya. Kecemasan ini juga cenderung direpres, atau dikeluarkan dari kesadaran, karena menunjukkan rasa takut bisa membuka kelemahan diri, dan menunjukkan rasa marah berisiko dihukum dan kehilangan cinta dan keamanan. Individu kemudian mengalami proses melingkar, yang oleh Horney dinamakan lingkaran setan (vicious circle). Dimulai sejak lahir, individu membutuhkan kehangatan dan kasih sayang untuk dapat menghadapi tekanan lingkungan. Apabila kehangatan dan kasih sayang tidak cukup diperoleh, maka individu menjadi marah dan muncul perasaan permusuhan karena diperlakukan secara salah. Tetapi kemarahan harus direpres agar perolehan cinta dan rasa aman yang tidak cukup itu tidak hilang sama sekali. Hal ini membuat perasaan menjadi kacau, maka munculah kecemasan dasar dan kemarahan dasar, yang semakin meningkatkan kebutuhan kasih sayang dan cinta. Hal ini kemudian juga meningkatkan kemungkinan akan semakin banyaknya kebutuhan kasih sayang yang tidak terpenuhi, sehingga semakin kuat pula perasaan marah yang timbul. Yang kemudian terjadi adalah perasaan permusuhan menjadi semakin kuat, dan represi harus semakin kuat dilakukan agar perolehan kasih sayang yang hanya sedikit itu tidak hilang. Tegangan perasaan kacau, marah, dan gusar semakin kuat, yang kemudian kembali menguatkan kecemasan dan kemarahan dasar, dan akan semakin parah apabila lingkaran tersebut terus menerus terjadi. Teori Horney tentang neurosis didasarkan pada konsep gangguan psikis yang membuat orang terkunci dalam lingkaran yang membuat tingkah laku tertekan dan tidak produktif terus menerus semakin parah.

Terdapat banyak faktor dalam lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya rasa tidak aman pada seorang anak, yaitu yang disebut oleh Horney sebagai basic evil, yang meliputi dominasi langsung maupun tidak langsung, pengabaian, penolakan, kurangnya perhatian terhadap kebutuhan anak, kurangnya bimbingan, penghinaan, pujian yang berlebihan atau tidak adanya pujian sama sekali, kurangnya kehangatan, terlalu banyak atau tidak adanya tuntutan tanggung jawab, perlindungan yang berlebihan, diskriminasi, dan lain sebagainya. Rasa tidak aman (insecure) membuat anak mengembangkan berbagai strategi untuk mengatasi perasaan-perasaan isolasi dan tak berdayanya. Ia bisa menjadi bermusuhan dan ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang menolaknya atau berbuat sewenang-wenang terhadap dirinya. Anak juga bisa menjadi sangat patuh supaya mendapatkan kembali cinta yang dirasakannya telah hilang. Strategi lain adalah anak mengembangkan gambaran diri yang tidak realistik, yang diidealisasikan, sebagai kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferioritasnya.

Menurut Horney, terdapat sepuluh strategi yang merupakan konsekuensi pencarian solusi bagi hubungan yang terganggu antara anak dan orang tua yang disebut neurotic trends atau neurotic needs, yaitu:

1. Kebutuhan neurotik akan afeksi dan pengakuan.

2. Kebutuhan neurotik akan pasangan yang dapat mengurusi dirinya.

3. Kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya secara sempit.

4. Kebutuhan neurotik akan kekuasaan.

5. Kebutuhan neurotik untuk mengeksploitasi orang lain.

6. Kebutuhan neurotik akan prestise.

7. Kebutuhan neurotik untuk dikagumi.

8. Kebutuhan neurotik untuk ambisi dan berprestasi.

9. Kebutuhan neurotik akan self-sufficiency dan kemandirian serta

10. Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketaktercelaan.

Selanjutnya, Horney mengklasifikasikan sepuluh kebutuhan tersebut menjadi tiga orientasi menghadapi dunia, yaitu:

1. moving toward people (kebutuhan nomor: 1,2,3)

2. moving against people (kebutuhan nomor: 4,5,6,7,8)

3. moving away from people (kebutuhan nomor: 9,10)

Orang-orang yang berorientasi moving toward people memiliki ciri-ciri seperti menganggap orang lain mempunyai arti yang sangat penting dalam hidupnya, mempunyai sikap tergantung pada orang lain, ingin disenangi, dicintai dan diterima, bersikap intrapunitif (suka menghukum/ menyalahkan diri sendiri) serta mengorbankan diri sendiri dan tidak individualistis. Bagi orang yang berorientasi moving against people mempunyai ciri-ciri seperti bersikap agresif, oposisional (bertentangan dengan orang lain), ingin menguasai dan menindas orang lain, tidak pernah memperlihatkan rasa takut maupun rasa belas kasihan serta menjalin hubungan dengan orang lain berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Sementara untuk orang yang memiliki orientasi moving away from people, mempunyai ciri-ciri seperti menjauh atau lari dari realitas, tidak mau mengadakan keterlibatan emosi dengan orang lain baik dengan mencintai, berkelahi atau berkompetisi dan individu ini selalu berusaha agar bisa hidup tanpa orang lain dan benar-benar tidak ingin tergantung pada orang lain. Ketiga orientasi di atas ada dalam diri tiap orang karena ketiga sikap ini ada dalam lingkungan sosial atau masyarakat dimana sikap itu berkembang. Pada orang-orang yang normal, ketiga orientasi tersebut dapat berjalan secara seimbang dan fleksibel dimana ketiga orientasi ini dapat saling mengisi satu sama lain dan dapat menjadi sesuatu yang harmonis. Sementara pada orang-orang neurotik, ketiga orientasi ini berjalan secara kaku dimana mereka hanya menggunakan salah satu orientasi sehingga tidak produktif dan menghambat orang tersebut memenuhi potensi-potensinya.

Horney tidak mengabaikan faktor intrapsikis dalam perkembangan kepribadian. Menurutnya, proses intrapsikis semula berasal dari pengalaman hubungan antar pribadi, yang sesudah menjadi bagian dari sistem keyakinan, proses intrapsikis itu mengembangkan eksistensi dirinya terpisah dari konflik interpersonal. Untuk dapat memahami konflik intrapsikis yang sarat dengan dinamika diri, Horney memaparkan empat macam konsep diri, yaitu diri rendah (despised real self), diri nyata (real self), diri ideal (ideal self), dan diri aktual (actual self). Konflik intrapsikis yang yang terpenting adalah antara gambaran diri ideal dengan diri yang dipandang rendah. Membangun diri-ideal adalah usaha untuk memecahkan konflik dengan membuat gambaran bagus mengenai diri sendiri. Diri rendah adalah kecenderungan yang kuat dan irasional untuk merusak gambaran nyata diri. Ketika individu membangun gambaran diri ideal, gambaran diri nyata dibuang jauh-jauh. Ini menimbulkan keterpisahan yang semakin jauh antara diri nyata dengan diri ideal, dan mengakibatkan pengidap neurotik membenci dan merusak diri aktualnya, karena gambaran diri aktual itu tidak bisa disejajarkan dengan kebanggaan gambaran diri ideal. Kebanggaan neurotik adalah kebanggaan yang semu, bukan didasarkan akan pandangan diri yang realistis, tetapi didasarkan pada gambaran palsu dari diri ideal. Kebanggaan neurotik didasarkan pada gambaran diri ideal dan biasanya diumumkan keras-keras dalam rangka melindungi dan mendukung pandangan kebanggaan akan diri sendiri. Orang neurotik memandang dirinya sebagai orang yang mulia, hebat dan sempurna, sehingga kalau orang lain tidak memperlakukan mereka dengan pertimbangan khusus, orang itu menjadi sedih.

Teori Mimpi Dalam Perspektif Psikologi Sufi Ibn Arabi Dan Psikoanalisis Sigmund Freud

Nama : Abu bakar Bin Ali Muhyiddin Alhatimi Attha`i (Ibn Arabi)
Lahir : 17 Agustus 1165 Murcia, Tenggara Spanyol
Wafat : Nopember 1240
L-B. Pendidikan : Filsafat dan Tasawuf
Ajaran : Tasawuf Falsafi
Metodologi : Ilham Intuitif
Karyanya : Futuhat al-Makkiyah, Fusus Al-hikam, Tarjuman al-aswaq, Rasa`il Ibn al-Arabi, dll.

Nama : Sigmund Freud
Lahir : 6 mei 1856, Moravia-Austria
Wafat : 23 September 1939 London
L.B. Pendidikan : Kedokteran (Neurolog)
Ajaran : Psikoanalisis
Metodologi : Subyektif Spekulatif
Karyanya : The Interpretation of dream, Studies in histeria, Civilazation and its contents, The future of an Illusion, General introduction to psikoanalisis, dll.

Pendahuluan
Hampir sepertiga bahkan lebih dari kehidupan manusia pada umumnya dihabiskan untuk tidur. Jika usia rata-rata manusia 60 tahun, maka selama 20 tahun diisi dengan tidur. Waktu yang tidak sedikit bukan? Namun dengan tidur, tidak berarti manusia melewati masa sia-sia karena tidur menjaga metabolisme tubuh agar tetap stabil. Menurut hasil penelitian, setelah 72 jam tidak tidur, akan menyebabkan gangguan psikotik.
Dengan tidur pula, kita dapat mengakses dunia yang memperantarai dua alam (fenomena dan abstrak) melalui mimpi. Mimpi juga memiliki manfaat, pertama; sebagai pemenuhan keinginan terlarang (Freud) misalnya: menonjok jidat pejabat negara yang kita benci tanpa dipidanakan, dan jika beruntung, kita dapat “berhubungan seksual” dengan artis idola dunia yang cantik atau ganteng. Kedua; sebagai sumber ilmu maupun risalah kenabian (Ibn Arabi).
Sadruddin Qunawi, murid Ibn Arabi mengatakan bahwa “Syeikh kita Ibn Arabi memiliki kemampuan bertemu dengan ruh nabi atau wali yang telah meninggal dunia, baik dengan cara membuatnya turun ke taraf dunia ini dan merenungkannya di dalam tubuh penampakan (surah mitsaliyah) yang serupa dengan bentuk indrawi orangnya atau dengan membuatnya muncul dalam mimpi, atau dengan melepaskan diri dari tubuh materiil supaya menemui sang ruh.2
Dalam karya pertama yang sangat monumental, Interpretation of Dream, Freud menjadikan mimpi sebagai obyek riset psikoanalisis untuk mengatasi gangguan-gangguan neurosis pada pasiennya. Dengan karyanya ini, Freud mulai diperhitungkan perannya dalam dunia psikologi. Tidak sedikit yang dipengaruhinya, diantaranya C.G. Jung, Alfred Adler yang kemudian bergabung dibawah naungan psikoanalisis Freud, meski tidak berlangsung lama. Bahkan, banyak ahli psikoterapi yang menekankan pentingnya analisa mimpi.
Kalau kita lacak lebih jauh, sekitar 600 tahun sebelum teori ini muncul, Ibn Arabi (filosof sekaligus sufi dari Spanyol) sebenarnya pun sudah banyak membahas tentang mimpi. Banyak kelebihan teori mimpinya yang tidak dimiliki oleh Freud, begitu juga sebaliknya. Oleh karenanya tulisan ini tidak bermaksud untuk menonjolkan kelebihan satu tokoh diantarannya, namun lebih menekankan pada titik temu sekaligus perbedaannya untuk mencari sinergi bagi lahirnya sebuah teori tentang mimpi yang lebih utuh untuk pengembangan psikoterapi di masa mendatang.

Definisi Mimpi
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur.3 Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga.4 Jika Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon, maka Ibn Arabi mengidentifikasinya sebagai bagian dari imajinasi.
Bagi Ibnu Arabi, karena mimpi adalah bagian dari imajinasi, maka untuk memahami terminologi mimpi dalam khazanah pemikirannya, terlebih dahulu mengacu pada makna imajinasi itu sendiri. Baginya, imajinasi adalah tempat penampakan wujud-wujud spiritual, para malaikat dan roh, tempat mereka memperoleh bentuk dan figur-figur “rupa penampakan” mereka, dan karena disana konsep-konsep murni (ma`ani) dan data indera (mahsusat) bertemu dan memekar menjadi figur-figur personal yang dipersiapkan untuk menghadapi drama event rohani.5
Ia juga menambahkan, bahwa kecakapan imajinasi itu selalu aktif baik sedang dalam keadaan bangun maupun dalam keadaan tidur. Selama jam-jam bangun kecakapan ini juga disimpangkan oleh kesan-kesan indera (sense impression) untuk melakukan pekerjaannya secara wajar, tapi dalam keadan tidur, ketika indera-indera dan kecakapan lainya sedang istirahat, imajinasi terbangun semua.6

Hakikat Mimpi
Pada dasarnya hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk mrengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam keinginan itu dalam bentuk mimpi.7
Sementara dalam teori Ibn Arabi lebih bersifat komplementer, setidaknya dalam hal ini, disamping memiliki substansi sebagai pemenuhan keinginan, Ibn Arabi juga memandang situasi penciptaan sebagai pernyataan tidur, dimana kosmos (semesta-pen) yang tercipta terlihat sebagai mimpi Ilahi. Pengalaman manusia merupakan citra mikrokosmik. Oleh karena itu, seluruh situasi penciptaan yang memerlukan alam “yang lain” untuk mempengaruhi tujuannya, dapat dipandang sebagai semacam lamunan Ilahi, dimana ilusi sesuatu yang “bukan Aku” diperkenalkan pada kesadaran Ilahi sebagai refleksi posibilitasnya.8

Jenis dan Manfaat Mimpi
Freud mengenalkan satu jenis mimpi yaitu mimpi kanak-kanak, dimana pada tahun-tahun berikutnya akan ditemukan mimpi yang bertipe sama, bahkan pada orang dewasa, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang valid serta dapat digeneralisasi pada tahapan berikutnya. Tekhnik tersebut lazim dilakukan oleh Freud, sebagaimana acuan tahapan-tahapan psikoseksual dalam teori kepribadiannya. Berbeda dengan Jung, rekan sekaligus muridnya, yang membagi mimpi menjadi dua; mimpi retrospektif dan mimpi introspektif.
Sedangkan Ibn Arabi membagi mimpi menjadi tiga, Pertama; mimpi atau kesan-kesan yang berhubungan dengan kejadian sehari-hari dari orang itu dan mengirimkannya ke ”mata batin” dari hati yang merefleksikan dan membesarkan mereka seperti layaknya sebuah cermin. Dengan cara inilah, mimpi biasa muncul sebagai asosiasi-asosiasi dari pikiran-pikiran (ideas) dan kesan-kesan (images) yang menghubungkan diri mereka sendiri dengan beberapa obyek syahwat.9
Jika kita cermati, melihat manfaat jenis mimpi Ibnu Arabi tersebut ada kemiripan dengan teori Freud, meski ia tidak mengkategorikannya sebagai bagian jenis mimpi. Freud menyebutnya sebagai pemenuhan atau refleksi keinginan seseorang, baik berupa kesenangan, maupun sesuatu yang mengerikan (mimpi buruk) sekalipun. Baginya, hal itu terjadi karena adanya mimpi yang terdistorsi yang tidak memperlihatkan adanya pemenuhan keinginan yang jelas sehingga harus dicari terlebih dahulu dan diinterpretasikan. Kita juga mengetahui bahwa keinginan yang mendasari mimpi yang terdistorsi adalah keinginan-keinginan yang dilarang dan ditolak oleh penyensoran, sehingga eksistensi mereka menjadi penyebab distorsi dan merupakan motif campur tangan penyensoran.10
Kedua: semacam arus yang mengalir namun tetap bersih, dimana dipancarkan obyek-obyek segala gambaran (mimpi simbolis-pen). Ibn Arabi menyatakan bahwa walaupun mimpi-mimpi semacam itu dapat dipercaya, namun itu harus ditafsirkan karena hanya berupa simbol-simbol saja. Imajinasilah yang mensuplai simbol-simbol itu. Dan kita tidak harus mengambil simbol-simbol itu secara realitas. Ketika Nabi melihat susu di dalam mimpinya, ia hanya melihat simbol saja, kualitas di balakang air susu itu adalah “pengetahuan”.11
Freud mengatakan bahwa simbolisme merupakan bagian paling mengagumkan dalam teorinya. Karena dalam beberapa kondisi, simbol memungkinkan kita menginterpretasikan mimpi tanpa harus mengajukan pertanyaan pada orang yang mengalami mimpi yang kadang-kadang malah tidak bisa memberitahukan apa-apa tentang simbol-simbol itu. Disini Freud juga mencoba menyimpulkan beberapa hal mengenai simbolisme dalam mimpi. Pertama; kita menentang pendapat bahwa orang yang bermimpi merasa tidak mengetahui bahwa simbol-simbol berhubungan dengan kehidupan dalam kondisi bangun. Kedua; hubungan simbolik bukan sesuatu yang khas bagi orang yang bermimpi, tapi ruang lingkup simbolisme sangat luas. Simbolisme mimpi hanya bagian kecil saja. Ini berbeda dengan simbolisme pada mitos, dongeng dan sebagainya. Ketiga; simbolisme yang muncul di bidang lain ternyata berhubungan dengan tema-tema seksual seperti dalam mimpi simbol-simbol yang sama juga melambangkan obyek dan hubungan seksual, misalnya: simbol phallic (alat kelamin) yang diinterpretasikan Jung sebagai unsur arketipe “mana” (spiritual).
Tapi bagi Freud dianggap sebagai alat kelamin yang sebenarnya. Intinya, Freud seringkali mengkait-kaitkan simbolisme dalam mimpi sebagai organ atau aktivitas seksual seperti; sepatu, sandal, dataran, kebun serta bunga sebagai perlambang vagina, sementara dasi diartikan sebagai penis, dan bahan dasi (linen) adalah lambang milik wanita. Sedangkan baju dan seragam melambangkan ketelanjangan. Keempat: simbolisme adalah faktor kedua dan faktor independen dalam distorsi mimpi yang hidup berdampingan dengan penyensoran.12
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari jenis mimpi ini adalah berupa; pengetahuan. Pemenang nobel, Loevi, memimpikan sebuah eksperimen selama 3 malam. Pada malam pertama, ia membuat catatan tapi tidak bisa menguraikannya kembali dan pada malam ketiga ia terbangun melakukan eksperimen dan memecahkan penemuannya.13
Ketiga: mimpi spiritual non simbolik, yaitu; mimpi-mimpi yang dapat dipercaya yang tidak ada simbolnya. Disini imajinasi tidak campur tangan. “Hati” langsung merefleksikan kesan-kesan spiritual (ma`ani ghaibiyah). Sebelum imajinasi dapat membaca makna simbolik apapun. Mimpi-mimpi jenis ini tidak memerlukan penafsiran, mereka adalah wahyu-wayu dari yang riil itu sendiri. Dan mimpi-mimpi berhubungan dalam tiap rinci dengan segala sesuatu yang dilihat (kemudian) di dalam dunia luar. Dalam mimpi golongan ini terdapat wahyu (revelation) dan ilham, inspirasi yang keluar langsung dari jiwa individual.14 Karakteristik serta manfaat dari mimpi jenis ini hanya dapat diperoleh oleh jiwa-jiwa yang telah menjalani penyucian hati hingga mencapai tarafnya para wali atau para nabi.
Kategori mimpi ketiga inilah yang sama sekali tidak disinggung oleh Sigmund Freud dalam teorinya, bahkan tidak mampu dijamah oleh C.G.Jung dalam klasifikasi teori mimpinya.

Interpretasi Mimpi
Mengenai interpretasi tentang mimpi , Ibn Arabi mengatakan bahwa segala sesuatu datang dalam alam imajinasi karena mereka tafsirkan. Ini berarti bahwa sesuatu itu sendiri memiliki bentuk tertentu yang muncul dalam bentuk lain sehingga sang penafsir mendapatkan sesuatu dari bentuk yang dilihat oleh si pemimpi kepada sesuatu itu sendiri. Jika dia berasil, seperti munculnya pengetahuan dalam bentuk susu kepada bentuk pengetahuan, sehingga mengubah makna sesungguhnya dari keduanya- dari satu bidang ke bidang lainnya, yang merupakan perubahan yang tepat dari bentuk susu menjadi bentuk pengetahuan.
Ketika Yusuf as berkata “Aku melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, yang kulihat semuanya sujud padaku”. Yusuf melihat saudara-saudaranya dalam bentuk bintang-bintang dan melihat ayah dan bibinya sebagai matahari dan bulan, ini sudut pandang Yusuf. Tetapi, dilihat dari sudut pandang siapapun juga, perwujudan saudara-saudara sebagai bintang, dan ayah serta bibinya sebagai matahari dan bulan dikaitkan dengan harapan dan doa mereka. Jadi, selama mereka tidak ada pengetahuan atas apa yang dilihat Yusuf mengenai apa yang ia lihat, berperan melalui kemampuan imajinatifnya sendiri. Ketika Yusuf memberitahu Ya`qub tentang pandangannya ini, Ya`qub memahami situasi ini dan bersabda, “ Anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada sudara-saudaramu, kalau tidak, mereka akan membuat makar (untuk membinasakanmu)”. Kemudian Ya`qub mulai membebaskan putranya dari makar dan menempatkan itu di pintu syetan yang sangat mahir dalam soal makar, sambil mengatakan, “sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”, yang secara lahiriah memang begitu.
Lebih jauh lagi, Yusuf berkata, “inilah arti mimpiku yang dahulu itu, sesungguhya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan”, yaitu Tuhan menjadikannya terwujud pada pikiran sehat, yang sebelumnya terbentuk dari imajinasi. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad bersabda, “manusia tidur”, sedangkan Yusuf berkata, Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”. Karena berkenaan dengan apa yang dikatakan sang Nabi, ia berada dalam posisi seseorang yang bermimpi sehingga beliau telah terbangun dari sebuah mimpi dan kemudian menafsirkannya. Orang seperti ini tidak mengetahui bahwa dia masih tertidur dan bermimpi, tetapi saat terbangun, dia berkata,”Aku telah melihat begini dan begitu, yang, dengan bermimpi bahwa aku telah bangun, aku tafsirkan.” Sama seperti inilah situasi Yusuf. 15
Ungkapan Ibn Arabi mengenai pengetahuan pemimpi atas makna mimpinya, hampir senada dengan apa yang dikemukakan oleh Freud, bahwa “dalam kasus mimpi, orang yang bermimpi selalu mengatakan tidak tahu apa makna mimpinya. Sedangkan kita juga tidak mempunyai apapun untuk memberi penjelasan kepadanya. Tapi saya akan meyakinkan anda bahwa masih ada kemungkinan, bahkan cukup besar, karena orang yang bermimpi itu sebenarnya mengetahui apa makna mimpinya, Hanya saja dia tidak tahu bahwa dia mengetahuinya sehingga dia mengira dirinya tidak tahu apa-apa.16
Seperti pembahasan mengenai simbolisme, dalam interpretasinya, Freud lebih mengaitkan dengan tema-tema seksual dengan melambangkan simbol-simbol tersebut dengan obyek maupun aktivitas seksual. Demikian pula halnya dengan Ibn Arabi, Ia hanya memberikan ruang untuk penafsiran pada jenis mimpi simbolis. Tentu interpretasinya tidak hanya sebatas penekanan pada obyek-obyek seksual. Perbedaan definisi, hakikat, jenis mimpi, manfaat serta interpretasi mimpi antara teori Ibn Arabi dengan Freud yang telah kami jelaskan diatas dapat dirumuskan sebagai berikut:

Mungkin pandangan Freud lebih lengkap dari Ibnu Arabi mengenai cara kerja, sensor mimpi serta teknik-teknik interpretasi secara detail. Hal ini bisa jadi karena masih terbatasnya karya-karya Ibn Arabi yang dapat diakses atau memang rumitnya pemahaman atas konsepnya, sebagaimana yang diilustrasikan oleh A.J. Arberry bahwa “Ibn Arabi bisa dibandingkan dengan sebuah puncak gunung yang belum dieksplor, banyak wilayah pada sisi yang sudah dikenal, tetapi masih harus ditentukan dengan tepat bagaimana arah menuju puncaknya, atau dengan ketinggian apa air mancur itu meluapi dengan baik pada sungai yang kuat dari semua pemikiran mistik selanjutnya, baik muslim maupun Kristen17

PSIKOANALISIS DAN PSIKOLOGI ANALISIS ADLER

I.PENDAHULUAN

Psikoanalisis dan psikologianalisis sangat dipengaruhi oleh pandangan positivisme yang mendasari fisiko dan biologi pada abad ke-19. Manusia dipikirkan sebagai sistem kompleks energi yang memelihara diri dengan tujuan mempertahankan diri dan mempertahankan jenis menurut hukum evolusi, berbagai proses psikologis terjadi untuk mencapai tujuan ini.

Di samping fikiran seperti yang digambarkan di atas itu, pada akhir abad 19, juga terdapat arah pikiran yang lain, yang terutama dipengaruhi oleh sosiologi dan antropologi yang sedang berkembang pesat pada dewasa itu. Menurut ilmu-ilmu sosial ini, manusia adalah terlebih-lebih hasil masyarakat di mana ia hidup, manusia adalah terutama makhluk sosial dari pada makhluk biologis, sedikit demi sedikit pandangan ini makin meresap ke dalam psikologi dan mendewasakan psikologi dan akhirnya mempengaruhi kepribadian. Salah satu teori kepribadian yang memakai cara pendekatan psikologi sosial adalah individual psikologi yang didirikan oleh Adler.

II. PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Adler

Alfred Adler lahir di Wina pada tahun 1870. Dia menyelesaikan studinya dalam lapangan kedokteran pada Universitas Wina pada tahun 1895. Mula-mula ia mengambil spesialisasi dalam Ophthalmology, dan kemudian dalam lapangan psikiatri. Mula-mula bekerja sama dengan Freud dan menjadi anggota, yang akhirnya menjadi Presiden “Masyarakat Psikoanalisis Wina”, namun dia segera mengembangkan pendapatnya yang menyimpang dari Freud, yang akhirnya ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden serta dari keanggotaan “Masyarakat Psikoanalisis Wina”, dan mendirikan aliran baru yang diberi nama individual psychologic (pada tahun 1911).

Sejak tahun 1935 Adler menetap di Amerika Serikat, di sama ia melanjutkan prakteknya sebagai ahli penyakit syaraf dan juga menjadi guru besar dalam psikologi media di Long Island College of Medicine. Dia meninggal di Scotland pada tahun 1937.

B. Pokok-pokok Teori Adler

Teori Adler dapat difahami lewat pengertian pokok yang dipergunakannya untuk membahas kepribadian. Adapun teori-teori Adler adalah sebagai berikut :

1. Individualitas sub Pokok Persoalan

Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas kepribadian yaitu individualitas kebulatan seta sifat-sifat pribadi manusia, menurutnya setiap orang adalah suatu konfigurasi motif-motif, serta nilai-nilai yang khas. Tiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak khas gaya kehidupannya yang bersifat individual.

2. Pandangan Teologis Finalisme Semu

Sehabis memisahkan dari Freud, Adler lalu dipengaruhi oleh filsafat “seakan-akan” yang dirumuskan oleh Hans. Vai Hinger dalam bukunya Diet Philosophic des Als-Ob; Hans mengemukakan bahwa manusia hidup dengan berbagai macam cita-cita / fikiran yang semata-mata bersifat semu, yang tidak ada buktinya dalam realitas. Gambaran-gambaran yang semu demikian itu misalnya “semua manusia ditakdirkan sama” “kejujuran adalah politik yang paling baik”, tujuan mengesahkan alat dan sebagainya.

3. Dua Dorongan Pokok

Di dalam diri manusia terdapat 2 dorongan pokok, yang mendorong serta melatarbelakangi, segala tingkah laku yaitu :

a. Dorongan kemasyarakatan yang mendorong manusia bertindak, yang mengabdi kepada masyarakat

b. Dorongan keakuan yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri

4. Rasa Rendah Diri dan Kompensasi

Sejak dia menjadi dokter, Adler telah menaruh perhatian terhadap fungsi-fungsi jasmani yang kurang sempurna, hal ini dirumuskan dalam organ minder word light at the psycho compensational. Mula-mula ia menyelidiki tentang kenapakah orang sakit menderita di daerah-daerah tertentu pada tubuhnya.

5. Dorongan Kemasyarakatan

Pada mulanya Adler mementingkan dorongan keakuan masalah rendah diri dan usaha menjadi superior, karena itu ia mendapat banyak kecaman dan akhirnya meluas pendapatnya dan mencakup juga dorongan kemasyarakatan dalam bentuk konkritnya, dorongan ini misalnya : berwujud kooperasi, hubungan sosial, hubungan antar pribadi, mengikatkan diri dengan kelompok dan sebagainya.

6. Gaya Hidup Littleneck

Gaya hidup adalah pengertian yang sentral dalam teori Adler, tetapi juga pengertian yang paling sukar dijelaskan. Gaya hidup ini adalah prinsip yang dipakai landasan untuk memahami tingkah laku seseorang tiap orang punya gaya hidup masing-masing, tiap orang mempunyai tujuan yang sama, yaitu mencapai superioritas, tapi caranya beda-beda.

C. Arti Psikologi Individual

Psikologi individual mempunyai arti yang penting, sebab cara untuk memahami tingkah laku manusia, pengertian seperti gambaran semu, rasa rendah diri, kompensasi, gaya hidup, diri yang kreatif, memberi pedoman untuk memahami semua manusia. Aliran ini tidak memberikan susunan yang teliti mengenai struktur, dinamika, serta perkembangan kepribadian, tetapi memalingkan perumusan petunjuk, praktis untuk memahami sesama manusia. Karena itulah justru dalam teori Adler ini punya arti yang sangat penting, karena hal-hal berikut ini:

1. Penentuan-penentuan tujuan yang susila seperti

- ­Keharusan memikul tanggung jawab

- keberanian menghadapi kesukaran hidup

- mengikis dorongan keakuan dan mengembangkan dorongan ke masyarakat.

2. Optimismenya dalam bidang pendidikan, lain dari hal tersebut, pendekatannya secara psikologi sosial berarti membuka halaman baru dalam bidang psikologi kepribadian.

Cara kemudian ini, kemudian banyak ditempuh oleh ahli-ahli lain seperti Erick Fromm (1941), Karen Homey, Henry Stack Sullivan (1953) dan lain-lain.

D. Pengaruh Adler

Telah dikemukakan bahwa di Amerika Serikat pengaruh Adler itu meluas berkat adanya “The American Society of Individual Psychology”, di Eropa sendiri murid-murid serta pengikutnya cukup banyak, salah satunya adalah Fritz Kunkel, dengan karya utamanya Wintering in dic Characterkunde. Kunkel berpegang teguh kepada dasar fikiran Adler, pendapatnya yang bersifat memperkaya individual psychologic juga dapat diikuti melalui pengertian pokok yang digunakannya, secara ringkas pendapat Kunkel itu adalah seperti yang dikemukakan berikut ini :

Dua dorongan pokok

Seperti Adler, Kunkel berpendapat bahwa kehidupan jiwa adalah dinamis dan dinamika ini dikarenakan oleh adanya dua dorongan yang saling bertentangan, yaitu :

1. Dorongan ke-aku-an (dorongan untuk mengabdi kepada aku / diri sendiri

2. Dorongan ke-kita-an (dorongan untuk mengabdi kepada kita umum / masyarakat)

Kedua dorongan tersebut ada dalam diri orang berbanding terbalik sesamanya, artinya makin besar ke-aku-an berarti makin kecil ke-kita-an dan sebaliknya. Orang yang bersifat ke-aku-an akan menilai segala sesuatu atas dasar sejauhmana hal yang dihadapi itu berguna bagi usahanya untuk mengejar idealnya / kepentingan ke-aku-an. Sedangkan orang yang bersifat ke-kita-an akan meninjaunya dari segi kemajuan kemanusiaan (sesama manusia).

III. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Adler sangat berpengaruh dalam masyarakat di Amerika Serikat, khususnya masalah psikologi individual. Adler juga dikenal oleh masyarakat Wina sebagai presiden “Masyarakat Psikoanalisis”. Adapun teori-teori Adler yang berpengaruh adalah sebagai berikut :

1. Individualitas sebagai pokok persoalan

2. Pandangan teknolog finalisme semu

3. Dua dorongan pokok

4. Rasa rendah diri dan kompensasi

5. Dorongan kemasyarakatan

DAFTAR PUSTAKA

Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, CV. Rajawali, Jakarta, 1986.

Drs. Agus Sujanto, dkk., Psikologi Kepribadian, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2001.

Riwayat hidup Sigmund Freud

Sigmund Freud adalah tokoh yang sangat kreatif dan produktif dalam menulis karya-karyanya. Salah satu karya yang terkenal adalah teori tentang Psikoanalisis. Dalam teori ini, Freud menyatakan beberapa konsep kunci: 1) Persepsi tentang perilaku manusia. Freud menyatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan irasional yang tidak sadar motivasi dan motivasi biologis dari naluri seksual psikologis tertentu pada enam tahun pertama kehidupan; 2) struktur kepribadian manusia terdiri atas ide, ego dan superego; 3) kesadaran dan ketidaksadaran; 4) kekhawatiran; 5) mekanisme bagaimana mempertahankan ego; dan 6) pengembangan individualitas. Artikel ini mencoba melihat konsep-konsep kunci enam di atas dan penerapannya untuk konseling

Riwayat hidup Sigmund Freud

Sigmund Freud yang terkenal dengan Teori Psikoanalisis dilahirkan di Morovia, pada tanggal 6 Mei 1856 dan meninggal di London pada tanggal 23 September 1939. Gerald Corey dalam “Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy” menjelaskan bahwa Sigmund Freud adalah anak sulung dari keluarga Viena yang terdiri dari tiga laki-laki dan lima orang wanita. Dalam hidupnya ia ditempa oleh seorang ayah yang sangat otoriter dan dengan uang yang sangat terbatas, sehingga keluarganya terpaksa hidup berdesakan di sebuah aparterment yang sempit, namun demikian orang tuanya tetap berusaha untuk memberikan motivasi terhadap kapasitas intelektual yang tampak jelas dimiliki oleh anak-anaknya.[2]

Sebahagian besar hidup Freud diabdikan untuk memformulasikan dan mengembangkan tentang teori psikoanalisisnya. Uniknya, saat ia sedang mengalami problema emosional yang sangat berat adalah saat kreativitasnya muncul. Pada umur paruh pertama empat puluhan ia banyak mengalami bermacam psikomatik, juga rasa nyeri akan datangnya maut dan fobi-fobi lain. Dengan mengeksplorasi makna mimpi-mimpinya sendiri ia mendapat pemahaman tentang dinamika perkembangan kepribadian seseorang.

Sigmund Freud dikenal juga sebagai tokoh yang kreatif dan produktif. Ia sering menghabiskan waktunya 18 jam sehari untuk menulis karya-karyanya, dan karya tersebut terkumpul sampai 24 jilid. Bahkan ia tetap produktif pada usia senja. Karena karya dan produktifitasnya itu, Freud dikenal bukan hanya sebagai pencetus psikoanalisis yang mencuatkan namanya sebagai intelektual, tapi juga telah meletakkan teknik baru untuk bisa memahami perilaku manusia. Hasil usahanya itu adalah sebuah teori kepribadian dan psikoterapi yang sangat komprehenshif dibandingkan dengan teori serupa yang pernah dikembangkan.

Psikoanalisa dianggap sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah konsepsi baru tentang manusia. Hipotesis pokok psikoanalisa menyatakan bahwa tingkah laku manusia sebahagian besar ditentukan oleh motif-motif tak sadar, sehingga Freud dijuluki sebagai bapak penjelajah dan pembuat peta ketidaksadaran manusia.

Lima karya Freud yang sangat terkenal dari beberapa karyanya adalah: (1) The Interpretation of dreams (1900), (2) The Psichopathology of Everiday Life (1901), (3) General Introductory Lectures on Psichoanalysis (1917), (4) New Introductory Lectures on Psichoanalysis (1933) dan (5) An Outline of Psichoanalysis (1940).[3]

Dalam dunia pendidikan pada masa itu, Sigmund Freud belum seberapa populer. Menurut A. Supratika, nama Freud baru dikenal pertama kalinya dalam kalangan psikologi akademis pada tahun 1909, ketika ia diundang oleh G. Stanley Hall, seorang sarjana psikologi Amerika, untuk memberikan serangkaian kuliah di universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Pengaruh Freud di lingkungan psikologi baru terasa sekitar tahun 1930-an. Akan tetapi Asosiasi Psikoanalisis Internasional sudah terbentuk tahun 1910, begitu juga dengan lembaga pendidikan psikoanalisis sudah didirikan di banyak negara.[4]

Persepsi tentang sifat manusia

Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama dalam kehidupannya. Pandangan ini menunjukkan bahwa aliran teori Freud tentang sifat manusia pada dasarnya adalah deterministik. Namun demikian menurut Gerald Corey yang mengutip perkataan Kovel, bahwa dengan tertumpu pada dialektika antara sadar dan tidak sadar, determinisme yang telah dinyatakan pada aliran Freud luluh. Lebih jauh Kovel menyatakan bahwa jalan pikiran itu adalah ditentukan, tetapi tidak linier. Ajaran psikoanalisis menyatakan bahwa perilaku seseorang itu lebih rumit dari pada apa yang dibayangkan pada orang tersebut.

Di sini, Freud memberikan indikasi bahwa tantangan terbesar yang dihadapi manusia adalah bagaimana mengendalikan dorongan agresif itu. Bagi Sigmund Freud, rasa resah dan cemas seseorang itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka tahu umat manusia itu akan punah.

Struktur Kepribadian

Dalam teori psikoanalitik, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, dimana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, dimana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.

Gerald Corey menyatakan dalam perspektif aliran Freud ortodoks, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian itu terdiri dari cara-cara untuk mendistribusikan energi psikis kepada id, ego dan super ego, tetapi energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya, jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.[5]

Menurut Calvil S. Hall dan Lindzey, dalam psikodinamika masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id dan instink-instink lainnya mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.[6]

Menurut S. Hall dan Lindzey, dalam Sumadi Suryabarata, cara kerja masing-masing struktur dalam pembentukan kepribadian adalah: (1) apabila rasa id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengubar impuls-impuls primitifnya, (2) apabila rasa ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan (3) apabila rasa super ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.[7]

Jadi untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Seperti yang ditegaskan oleh A. Supratika, bahwa aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer.[8]

Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya id, super- ego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja ego. Sedangkan yang ketiga, superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.

Kesadaran dan ketidaksadaran

Pemahaman tentang kesadaran dan ketidaksadaran manusia merupakan salah satu sumbangan terbesar dari pemikiran Freud. Menurutnya, kunci untuk memahami perilaku dan problema kepribadian bermula dari hal tersebut. Ketidakasadaran itu tidak dapat dikaji langsung, karena perilaku yang muncul itu merupakan konsekuensi logisnya. Menurut Gerald Corey, bukti klinis untuk membenarkan alam ketidaksadaran manusia dapat dilihat dari hal-hal berikut, seperti: (1) mimpi; hal ini merupakan pantulan dari kebutuhan, keinginan dan konflik yang terjadi dalam diri, (2) salah ucap sesuatu; misalnya nama yang sudah dikenal sebelumnya, (3) sugesti pasca hipnotik, (4) materi yang berasal dari teknik asosiasi bebas, dan (5) materi yang berasal dari teknik proyeksi, serta isi simbolik dari simptom psikotik.[9]

Sedangkan kesadaran itu merupakan suatu bagian terkecil atau tipis dari keseluruhan pikiran manusia. Hal ini dapat diibaratkan seperti gunung es yang ada di bawah permukaan laut, dimana bongkahan es itu lebih besar di dalam ketimbang yang terlihat di permukaan. Demikianlah juga halnya dengan kepribadian manusia, semua pengalaman dan memori yang tertekan akan dihimpun dalam alam ketidaksadaran.

Kecemasan

Bagian yang tidak kalah penting dari teori Freud adalah tentang kecemasan. Gerald Corey mengartikan kecemasan itu adalah sebagai suatu keadaan tegang yang memaksa kita untuk berbuat sesuatu. Kecemasan ini menurutnya berkembang dari konflik antara sistem id, ego dan superego tentang sistem kontrol atas energi psikis yang ada. Fungsinya adalah mengingatkan adanya bahaya yang datang.[10]

Sedangkan menurut Calvin S. Hall dan Lindzey, kecemasan itu ada tiga: kecemasan realita, neurotik dan moral. (1) kecemasan realita adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari dunia luar dan derajat kecemasan semacam itu sangat tergantung kepada ancaman nyata. (2) kecemasan neurotik adalah rasa takut kalau-kalau instink akan keluar jalur dan menyebabkan sesorang berbuat sesuatu yang dapat mebuatnya terhukum, dan (3) kecemasan moral adalah rasa takut terhadap hati nuraninya sendiri. Orang yang hati nuraninya cukup berkembang cenderung merasa bersalah apabila berbuat sesuatu yang bertentangan dengan norma moral.

Mekanisme pertahanan ego

Untuk menghadapi tekanan kecemasan yang berlebihan, sistem ego terpaksa mengambil tindakan ekstrim untuk menghilangkan tekanan itu. Tindakan yang demikian itu, disebut mekanisme pertahanan, sebab tujuannya adalah untuk mempertahankan ego terhadap tekanan kecemasan. Dalam teori Freud, bentuk-bentuk mekanisme pertahanan yang penting adalah: (1) represi; ini merupakan sarana pertahanan yang bisa mengusir pikiran serta perasaan yang menyakitkan dan mengancam keluar dari kesadaran, (2) memungkiri; ini adalah cara mengacaukan apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dilihat seseorang dalam situasi traumatik, (3) pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, (4) proyeksi; ini berarti memantulkan sesuatu yang sebenarnya terdapat dalam diri kita sendiri ke dunia luar, (5) penggeseran; merupakan suatu cara untuk menangani kecemasan dengan menyalurkan perasaan atau impuls dengan jalan menggeser dari objek yang mengancam ke “sasaran yang lebih aman”, (6) rasionalisasi; ini cara beberapa orang menciptakan alasan yang “masuk akal” untuk menjelaskan disingkirnya ego yang babak belur, (7) sublimasi; ini suatu cara untuk mengalihkan energi seksual kesaluran lain, yang secara sosial umumnya bisa diterima, bahkan ada yang dikagumi, (8) regresi; yaitu berbalik kembali kepada prilaku yang dulu pernah mereka alami, (9) introjeksi; yaitu mekanisme untuk mengundang serta “menelaah” sistem nilai atau standar orang lain, (10) identifikasi, (11) konpensasi, dan (12) ritual dan penghapusan.[11]


Perkembangan kepribadian
Perkembangan manusia dalam psikoanalitik merupakan suatu gambaran yang sangat teliti dari proses perkembangan psikososial dan psikoseksual, mulai dari lahir sampai dewasa. Dalam teori Freud setiap manusia harus melewati serangkaian tahap perkembangan dalam proses menjadi dewasa. Tahap-tahap ini sangat penting bagi pembentukan sifat-sifat kepribadian yang bersifat menetap.

Menurut Freud, kepribadian orang terbentuk pada usia sekitar 5-6 tahun (dalam A.Supratika), yaitu: (1) tahap oral, (2) tahap anal: 1-3 tahun, (3) tahap palus: 3-6 tahun, (4) tahap laten: 6-12 tahun, (5) tahap genetal: 12-18 tahun, (6) tahap dewasa, yang terbagi dewasa awal, usia setengah baya dan usia senja.[12]
Aplikasi Teori Sigmund Freud Dalam Bimbingan
Apabila menyimak konsep kunci dari teori kepribadian Sigmund Freud, maka ada beberapa teorinya yang dapat aplikasikan dalam bimbingan, yaitu: Pertama, konsep kunci bahwa ”manusia adalah makhluk yang memiliki kebutuhan dan keinginan”. Konsep ini dapat dikembangkan dalam proses bimbingan, dengan melihat hakikatnya manusia itu memiliki kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan dasar. Dengan demikian konselor dalam memberikan bimbingan harus selalu berpedoman kepada apa yang dibutuhkan dan yang diinginkan oleh konseli, sehingga bimbingan yang dilakukan benar-benar efektif. Hal ini sesuai dengan fungsi bimbingan itu sendiri. Mortensen (dalam Yusuf Gunawan) membagi fungsi bimbingan kepada tiga yaitu: (1) memahami individu (understanding-individu), (2) preventif dan pengembangan individual, dan (3) membantu individu untuk menyempurnakannya.[13]

Memahami individu. Seorang guru dan pembimbing dapat memberikan bantuan yang efektif jika mereka dapat memahami dan mengerti persoalan, sifat, kebutuhan, minat, dan kemampuan anak didiknya. Karena itu bimbingan yang efektif menuntut secara mutlak pemahaman diri anak secara keseluruhan. Karena tujuan bimbingan dan pendidikan dapat dicapai jika programnya didasarkan atas pemahaman diri anak didiknya. Sebaliknya bimbingan tidak dapat berfungsi efektif jika konselor kurang pengetahuan dan pengertian mengenai motif dan tingkah laku konseli, sehingga usaha preventif dan treatment tidak dapat berhasil baik.

Preventif dan pengembangan individual. Preventif dan pengembangan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Preventif berusaha mencegah kemorosotan perkembangan anak dan minimal dapat memelihara apa yang telah dicapai dalam perkembangan anak melalui pemberian pengaruh-pengaruh yang positif, memberikan bantuan untuk mengembangkan sikap dan pola perilaku yang dapat membantu setiap individu untuk mengembangkan dirinya secara optimal.

Membantu individu untuk menyempurnakan. Setiap manusia pada saat tertentu membutuhkan pertolongan dalam menghadapi situasi lingkungannya. Pertolongan setiap individu tidak sama. Perbedaan umumnya lebih pada tingkatannya dari pada macamnya, jadi sangat tergantung apa yang menjadi kebutuhan dan potensi yang ia meliki. Bimbingan dapat memberikan pertolongan pada anak untuk mengadakan pilihan yang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Jadi dalam konsep yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa teori Freud dapat dijadikan pertimbangan dalam melakukan proses bantuan kepada konseli, sehingga metode dan materi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan individu.

Kedua, konsep kunci tentang “kecemasan” yang dimiliki manusia dapat digunakan sebagai wahana pencapaian tujuan bimbingan, yakni membantu individu supaya mengerti dirinya dan lingkungannya; mampu memilih, memutuskan dan merencanakan hidup secara bijaksana; mampu mengembangkan kemampuan dan kesanggupan, memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupannya; mampu mengelola aktivitasnya sehari-hari dengan baik dan bijaksana; mampu memahami dan bertindak sesuai dengan norma agama, sosial dalam masyarakatnya.

Dengan demikian kecemasan yang dirasakan akibat ketidakmampuannya dapat diatasi dengan baik dan bijaksana. Karena menurut Freud setiap manusia akan selalu hidup dalam kecemasan, kecemasan karena manusia akan punah, kecemasan karena tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan dan banyak lagi kecemasan-kecemasan lain yang dialami manusia, jadi untuk itu maka bimbingan ini dapat merupakan wadah dalam rangka mengatasi kecemasan.

Ketiga, konsep psikolanalisis yang menekankan pengaruh masa lalu (masa kecil) terhadap perjalanan manusia. Walaupun banyak para ahli yang mengkritik, namun dalam beberapa hal konsep ini sesuai dengan konsep pembinaan dini bagi anak-anak dalam pembentukan moral individual. Dalam sistem pemebinaan akhlak individual, Islam menganjurkan agar keluarga dapat melatih dan membiasakan anak-anaknya agar dapat tumbuh berkembang sesuai dengan norma agama dan sosial. Norma-norma ini tidak bisa datang sendiri, akan tetapi melalui proses interaksi yang panjang dari dalam lingkungannya. Bila sebuah keluarga mampu memberikan bimbingan yang baik, maka kelak anak itu diharapkan akan tumbuh menjadi manusia yang baik.

Dalam hal ini sebuah hadis Nabi menyatakan bahwa “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, hingga lisannya fasih. Kedua orangtuanyalah yang ikut mewarnainya sampai dewasa.” Selain itu seorang penyair menyatakan bahwa “Tumbuhnya generasi muda kita seperti yang dibiasakan oleh ayah-ibunya”.[14]

Hadis dan syair tersebut di atas sejalan dengan konsep Freud tentang kepribadian manusia yang disimpulkannya sangat tergantung pada apa yang diterimanya ketika ia masih kecil. Namun tentu saja terdapat sisi-sisi yang tidak begitu dapat diaplikasikan, karena pada hakikatnya manusia itu juga bersifat baharu.

Keempat, teori Freud tentang “tahapan perkembangan kepribadian individu” dapat digunakan dalam proses bimbingan, baik sebagai materi maupun pendekatan. Konsep ini memberi arti bahwa materi, metode dan pola bimbingan harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kepribadian individu, karena pada setiap tahapan itu memiliki karakter dan sifat yang berbeda. Oleh karena itu konselor yang melakukan bimbingan haruslah selalu melihat tahapan-tahapan perkembangan ini, bila ingin bimbingannya menjadi efektif.

Kelima, konsep Freud tentang “ketidaksadaran” dapat digunakan dalam proses bimbingan yang dilakukan pada individu dengan harapan dapat mengurangi impuls-impuls dorongan Id yang bersifat irrasional sehingga berubah menjadi rasional.



[1] Peneliti Aceh Institute, staf pengajar pada IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

[2] Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psichotherapy,(terjemahan Mulyarto),IKIP Semarang Press, Semarang 1995 hal 138.

[3] Calvia S. Hall dan Gardner Lindzey, terjemahan Yustinus tahun 1995 hl 63.

[4] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Theories of Personality ( terjemahan A. Supratika), penerbit Kanisius, Yogyakarta, tahun 1993 hal.51.

[5] Ibid

[6] Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Op Cit.

[7] Sumadi Suryabarata, Psikologi Kepribadian, UGM Yokyakarta 1982:170.

[8] A. Supratika, Pokok dan Tokoh Psikologi Modern, IKIP Yokyakarta, tahun 1984 hal.52.

[9] Gerald Corey, Op Cit: hal. 142.

[10] Ibid, hal. 143

[11] Gerald Corey, Op Cit, hal 145-147.

[12] A. Supratika, Op Cit, hal. 56.

[13] Yusuf Gunawan, Pengantar Bimbingan dan Konseling: buku panduan mahasiswa, PT Prehalindo Jakarta, tahun 2001 hlm 42-46

[14]. Syaikh M. Jamaluddin Mahfuzh, Psikologi Anak dan Remaja Muslim, Pustaka Al- Kautsar, Tahun 2001 hal. 91

Senin, 11 Januari 2010

Sejarah Penulisan Al Qur'an

BAB I. PENDAHULUAN
1. Sejarah Penulisan Al Qur'an
Pertama: Penulisan Al Qur'an di masa Rasulullah saw.
Atas perintah Nabi saw., Al Qur'an ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushaf. Di samping itu ada beberapa sahabat yang menulis sendiri beberapa juz dan surat yang mereka hafal dari Rasulullah saw.

Kedua: Penulisan Al Qur'an di masa Abu Bakar As Shiddiq.
Atas anjuran Umar ra., Abu Bakar ra. memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu menjadi satu mushaf.

Ketiga: Penulisan Al Qur'an di masa Usman bin 'Affan.
Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris.
Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.

Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase;
Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (ikrab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.

2. Sejarah Tafsir Dan Metodenya
Penulis tidak membagi pembahasan tentang sejarah tafsir menjadi dua bagian yaitu sejarah metode tafsir dan sejarah pembukuan tafsir, ini karena terbatasnya makalah yang ingin ditulis.

2.1 Definisi Tafsir
Tafsir Secara etimologi berarti: (??????? ???????) penjelasan1 Adapun secara terminologi terdapat banyak sekali definisi tentang tafsir, namun penulis membawa dua definisi saja. Menurut Azzarkasyi tafsir adalah ilmu untuk memahami Al-Qur’an beserta maknanya, hukum dan hikmahnya 2

Namun Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya 3. Kebanyakan ulama membedakan antara tafsir dan takwil namun ada juga yang berpendapat keduanya memiliki maksud yang sama sebagai mana pendapat Ibnu Al'arabi4.

Takwil menurut Ibnu Al-jauzi adalah menukar maksud asli lafadz tersebut dengan maksud yang lain karena ada hal yang menunjukkan ke arah tersebut 5.

Para ulama tidak menganggap terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa asing termasuk bagian dari penafsiran Al-Qur’an, karena maksud dari terjemahan Al-Qur’an adalah memindahkan lafadz Al-Qur’an ke dalam bahasa selain bahasa Arab dengan pengertian yang sama tanpa ada tambahan atau pengurangan.

2.2 Metode Tafsir
metode tafsir merupakan cara-cara penafsiran Al Qur'an dengan tujuan agar mudah difahami maksudnya. Metode ini terus menerus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al Qur'an dapat bermakna bagi umat Islam di segala waktu dan segala tempat.

BAB II Sejarah Tafsir
1.1 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Nabi Muhammad Saw.
Metode penafsiran Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah penjelasan secara langsung oleh beliau sendiri, sebab orang yang paling memahami Al-Qur’an adalah Rasulullah, beliau selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya. Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir Al-juhani berkata :

“Saya mendengar Rasulullah berkhutbah di atas mimbar membaca firman Allah: siapkan kekuatan segenap kemampuanmu untuk menghadapi musuhmu lalu beliau bersabda: “Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”. (HR Abu Dawud, no 2516)
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori (4966) Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadanya (nanti) di surga.

1.2 Tafsir Dan Metodenya Pada Masa Shahabat.
Metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah melalui tiga macam cara; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, dengan kemampuan ijtihad dan cerita Israiliyat.

2.1 Tafsir Al-Qur’an Dengan Al-Qur’an
Cara penafsirannya adalah melalui metode mujmal ditafsirkan oleh mubaiyin, muthlaq ditafsirkan oleh muqaiyad, Al-Am di tafsirkan oleh Al-Khas dan sebahagian qira-at ditafsirkan oleh qiara-at yang lain.

2.2 Tafsir Al-Qur’an Dengan Sunnah Rasulullah
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa metode, antaranya:
Hadits berfungsi sebagai menyatakan yang mujmal dalam Al-qur'an, taudhihil musykil, takhsihsul Am dan taqyidul Muthlaq.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan makna lafadh atau yang berkaitan ayat dengan ayat dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan hukum tersendiri yang belum tersebut dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan nasakh ayat tertentu dalam Al-Qur’an.
Hadits berfungsi sebagai menyatakan penguatan ayat dalam Al-Qur’an

2.3 Tafsir Al-Qur’an Dengan Kemampuan Ijtihad.
Cara penafsirannya adalah melalui beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1.Mengetahui kedudukan bahasa Arab dan rahasianya
2.Mengetahui adat orang Arab
3.Mengetahui kondisi kaum Yahudi dan Nashrani di kepulauan Arab pada waktu turun Al-Qur’an.
4.Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar6.
2.4 Tafsir Al-Qur’an dengan cerita Israiliyat.
Cara penafsirannya adalah melalui berita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nashrani. Rasulullah pernah bersabda "jika dikisahkan padamu tentang Ahlul kitab maka janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta". Maksudnya ialah supaya kaum muslimin menyelidiki dahulu kebenaran hal tersebut, setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.

Di antara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas7.

1.3 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jabr, Said bin Jabir, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thawus Al-Yamany dan ‘Atha’ bin Abi Rabah.
2.Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Quradli.
3.Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qamah bin Qais, Hasan Al-Basry dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabi’in bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan di antara mereka maka pendapat tersebut tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya8.

1.4 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman tabi' tabi'in
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 3 Hijriah atau zaman sesudah zaman Tabi'in. di zaman inilah munculnya para imam-imam mazhab dalam fiqh. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini mulai mencantumkan nama guru tempat mereka mengambil hadits yang sanadnya sampai ke Rasulullah Saw. Penulis tafsir yang terkenal di zaman ini antaranya Al-Waqidi (wafat 207), sesudah itu ibnu Jarir Ath-thabarri (wafat 310)9.

1.5 Tafsir Dan Metodenya Pada Abad 4 H – 12 H
Ahli sejarah berpendapat zaman ini sekitar abad ke 4 Hijriah atau zaman sesudah zaman salaf. Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in saja tetapi telah mulai bekerja menyelidiki dan membuat perbandingan penafsiran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, di mana logika dan ilmu filsafat telah dipelajari. Buku tafsir di periode awal seperti nik wal 'uyun oleh Al-mawardi, bahrul ulum oleh samrqandi, tafsir al-bughawi dan lain-lain. Pada zaman ini banyak sekali melahirkan buku tafsir dengan berbagai gaya penafsiran seperti gaya sastra bahasa, gaya kisah-kisah, gaya filsafat, gaya teologi, gaya penafsiran ilmiah, gaya fiqih atau hukum, gaya tasawuf dan lain-lain.

1.6 Tafsir Dan Metodenya Pada Zaman Modern (12 H – 14 H)
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini sastra budaya kemasyarakatan yang mencakup berbagai hal kemasyarakatan seperti unsur kesehatan dan kejiwaan. Kebanyakan tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar10. Di antara tokoh di zaman ini Syaikh Muhammad 'Abduh, Abu A'la Al-Maududi, Sayid Qutb dan lain-lain.

BAB III Tafsir Ke dalam Bahasa Indonesia
Usaha penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia pertama kali oleh A.Hasyim cs tahun 1936 namun tidak lengkap. Tafsir pertama yang paling lengkap dalam bahasa Indonesia oleh Pro. T.M. Hasbi Ash Shidieqy dari Aceh tahun 195611.

BAB IV Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Asing
Setelah umat Islam tersebar di berbagai pelosok dunia maka keinginan untuk mengetahui Al-Qur’an dengan bahasanya sendiri semakin meningkat maka timbullah usaha untuk menterjemahkan Al-Qur’an ke berbagai bahasa dunia.

4.1 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Barat
Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Eropa terjadi pada tahun 1135 M untuk keperluan biara Clugny, kemudian menyusul dalam bahasa Jerman oleh Boysen tahun 1773. adapun terjemahan dalam bahasa Inggris pertama kali oleh A. Ross yang merupakan terjemahan dari bahasa Perancis tahun 1647. terjemahan Al-Qur'an yang paling terkenal di dunia Barat dan Timur ialah Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur'an Text tahun 1934.

4.2 Terjemahan Al-Qur'an Ke Dalam Bahasa Indonesia
Seiring perjalanan waktu, Al-Qur'an telah diterjemahkan hampir dalam seluruh bahasa dunia, tidak terkecuali bahasa Indonesia. Al-Qur'an diterjemah ke dalam bahasa Melayu Indonesia pertama kali pada pertengahan abad 17 M oleh Abdul Rauf Fansury, seorang ulama dari singkel Aceh12.

BAB V KESIMPULAN
Demikian perkembangan penafsiran Al-Qur’an dari segi sejarah dan metodenya secara singkat mulai dari masa Rasulullah hingga saat ini, maka dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran ada yang di buat berdasarkan riwayat atau bil maksur atau berdasarkan akal dengan kata lain birrakyi.

Adapun upaya-upaya penafsiran lebih dalam dan mengupas makna untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses yang sangat panjang dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafadz dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

3Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Bairut 1980.
4Manna’ Al-Qattan, Mabaahits fi Ulumi al-Qur’an, Bairut 1982.
5Azzarkasyi, Alburhan Fi Ulumil Qur'an, Dar Ihya Qutub Al'arabiyah:1957
6Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun, Kuwait: Daar al-Dakwah: 1995.
7Ibnu Al-Arabi, Tahzhibul Lughah, Lubnan: 1995.
8Ibnu Al-jauzi, Nuzhahatu A'yuninnawadhir Fi Ilmil Wujuh Wan Nadhair, Bairut: 1990.
9Sunan Abu Dawud, Bairut: 1990.
10Shaheh Bukhari, Bairut: 1990.
11Masa'id Thaiyar, Mafhum At-Tafsir, Lubnan: 1993.
12Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Bairut: 1987.
13Mukaddimah Terjemahan Al-Qur'an Arab Saudi, Saudi Arabia
14Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996.